Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 36 - Part 36-Perjalanan Terakhir

Chapter 36 - Part 36-Perjalanan Terakhir

Persiapan mudik ke Tasik membuat Nazifa begitu senang. Afnan merasa bahagia ketika melihat ada keceriaan di wajah istrinya. Apa lagi yang bisa lebih membahagiakan baginya selain melihat Nazifa terus tersenyum ceria.

Afnan duduk di tepi kasur, memperhatikan Nazifa yang sedang sibuk.

"Mas, kita mau di Tasik berapa lama?" tanya Nazifa sambil melipat baju dan memasukkannya ke dalam koper.

"Kamu maunya berapa lama?" Afnan balik bertanya.

"Ehm ...." Nazifa menjeda ucapannya. "Terserah Mas aja, deh. Kalau kelamaan juga khawatir sama pekerjaan Mas. Yang penting Zee udah ketemu bapak-ibu,"

Afnan tersenyum.

"Makasih, ya. Aku sangat bersyukur memiliki istri pengertian seperti kamu," puji Afnan.

"Aku juga bersyukur punya suami sebaik kamu, Mas," ucap Nazifa tersenyum bahagia.

Afnan menarik lengan Nazifa yang membuat dirinya terjatuh ke dalam pangkuan. Ia terkesiap karena Afnan tiba-tiba langsung menciumnya. Ada yang aneh dengan Afnan. Nazifa merasa ada yang berbeda dari sentuhan dan ciuman suaminya itu. Seolah sedang menyalurkan segala kerinduan yang begitu dalam. Seolah ini ciuman terakhir baginya.

"Mas," panggil Nazifa dengan nafas tersengal saat berhasil lepas dari tautan bibir Afnan.

Afnan tersenyum. Keduanya saling menempelkan kening dan tertawa kecil.

"Aku mencintaimu Nazifa. Cinta pertama dan terakhirku. Aku mencintaimu dunia akhirat," ucap Afnan lembut.

Nazifa begitu terharu mendengar ucapan suaminya itu. Hingga tak terasa air mata telah menetes di pipinya. Afnan mengusap lembut bulir bening itu dengan jari. Mengecup singkat kedua mata Nazifa.

"Teruslah tersenyum. Jangan pernah meneteskan air mata lagi."

Afnan memeluk erat Nazifa. Nazifa pun membalas pelukan suaminya itu. Entah kenapa Nazifa merasa perasaanya begitu sedih.

Bukankah harusnya hari ini dia bahagia? Sebentar lagi rasa rindu pada Orangtuanya akan terobati.

"Bang." Bara mengetuk pintu kamar. "Jadi berangkat nggak nih?"

Afnan melepas pelukannya. "Iya. Ini mau turun," jawab Afnan.

Afnan dan Nazifa saling memandang. Keduanya tertawa bersama.

"Kamu udah siap?" tanya Afnan.

Nazifa tersenyum dan mengangguk.

"Ayo." Afnan mengulurkan tangannya.

Nazifa menerima uluran tangan suaminya. Keduanya saling mengenggam erat. Berjalan perlahan menuruni tiap anak tangga.

"Akhirnya nongol juga," celetuk Bara. "Ngapain dulu sih, lama banget," ketusnya.

"Kepo!" sahut Afnan.

Bara mengerlingkan mata malas mendengar jawaban Afnan.

"Ayolah jalan. Nggak sabar pengen nyangkul di kampungnya, Nazi," canda Bara.

Mereka semua tertawa terkecuali Nazifa. Ia hanya tersenyum tipis. Ada yang aneh dengan perasaannya. Tapi entah apa penyebabnya.

"Ma, kita berangkat dulu, ya," Afnan mencium tangan Mamanya lalu memeluknya erat dan lama. "Afnan bakal kengen sama Mama," ucap Afnan.

Mamanya melepas pelukan itu.

"Kamu kayak orang mau pergi lama aja sih, Nak. Orang cuma liburan sebentar aja kok," ujar Mama yang ditanggapi dengan senyuman oleh Afnan.

"Zee pamit dulu, Ma. Mama jaga kesehatan, ya. Jangan telat makan." Nazifa mencium tangan Mama.

"Iya, sayang. Nanti tolong salamin sama bapak-ibu, ya," ucap Mama.

"Iya, Ma," jawab Nazifa.

"Bara juga pamit ya, Mamaku tercinta." Bara memeluk erat Mamanya. "Bara sayang sama Mama." Bara mencium kening Mamanya.

"Mama juga sayang kamu." Mama mencubit gemas pipi Bara.

"Sakit." Bara merengek. Mamanya tertawa melihat ekspresi anak bungsunya.

"Kalian jangan lama-lama ya, di sana. Mama kesepian," pinta Mama.

"Iya, Ma." Jawab ketiganya kompak yang disambut tawa dari mereka semua.

"Assalamu'alaikum," ucap mereka serempak lalu mulai melangkah pergi.

"Ma!" teriak Bara dari pintu. "Jangan kangen sama Bara, ya. Berat. Mama nggak akan kuat. Biar aku aja," celoteh Bara.

Mama tertawa dan menggeleng. Begitupun dengan Nazifa dan Afnan yang sudah berada di luar. Keduanya ikut tertawa dengan celotehan Bara.

Afnan memasukkan koper ke dalam bagasi. Sedangkan Bara sudah lebih dulu naik ke mobil. Afnan membukakan pintu mobil untuk Nazifa.

"Silahkan naik yang mulia ratu," ucap Afnan menggoda Nazifa.

Namun Nazifa diam tak merespon. Tangan kanannya memegang dada.

"Zee," panggil Afnan saat melihatnya masih berdiri mematung.

"Mas ... kita ... batalin aja ya, rencana hari ini," ucap Nazifa tiba-tiba dengan raut wajah cemas.

Afnan mengernyitkan dahi tak mengerti. "Kenapa, sayang?"

Bara membuka kaca jendela belakang. Ia melongokkan wajah, memperhatikan keduanya.

"Aku ... perasaan aku nggak enak, Mas." Nazifa masih memegang dadanya.

"Itu cuma perasaanmu aja, sayang. InsyaAllah, semuanya baik-baik aja," ucap Afnan meyakinkan.

Nazifa menoleh ke belakang menatap Bara. "Menurutmu gimana, Bara?"

Bara tersenyum. "Aku ikut aja. Terserah kamu sama Bang Afnan."

"Ayo, Zee. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan bareng. Hm?" bujuk Afnan.

Nazifa terlihat menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.

Tak lupa ia memasang persenjataanya, masker.

Nazifa merasa begitu sesak. Bukan hanya karena ia di dalam mobil. Tapi ada perasaan yang mengganjal di hatinya.

"Bang, nanti gantian aja nyetirnya kalau capek," usul Bara.

"Iya."

Afnan menoleh ke arah Nazifa yang terlihat gelisah. Jari jemarinya saling meremas.

"Tenang, Zee. Berdoa, ya." Afnan menggenggam lembut tangan Nazifa. Nazifa mencoba tersenyum.

"Bismillah," ucap Afnan sebelum akhirnya mulai melajukan mobilnya.

🌸🌸🌸

Dalam perjalanan, Nazifa tak henti merapalkan doa-doa. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, masih ada perasaan tak nyaman dalam hatinya itu. Duduk pun tidak tenang, gusar. Bara menyadari hal itu.

"Bang ...." Bara sedikit mencondongkan badannya ke depan. "Apa nggak sebaiknya kita batalin aja? Mumpung baru setengah jalan, bisa puter balik. Nazi kayaknya nggak nyaman," usulnya.

Afnan diam melirik Nazifa.

"Apa kamu yakin Zee, mau batalin rencana ini? Soalnya udah setengah jalan," tanya Afnan memastikan.

Nazifa menggigit bibir bawahnya, berpikir sejenak.

"Ya udah, Mas. Kita lanjut aja," jawab Nazifa.

Afnan tersenyum lalu kembali fokus menyetir. Ponsel Bara berdering. Nama Andre tertera di layar ponselnya.

"Halo," sapa Bara.

[...]

"Hari ini gue nggak ke kantor."

[...]

"Jangan. Loe ke rumah gue juga percuma."

[...]

"Gue lagi di jalan. Mau ke Tasik."

[...]

"Nggak. Gue ikut Bang Afnan sama Nazi. Liburan di kampung Nazi dulu."

[...]

"Bodo! Suka-suka gue." Bara mengakhiri telfonnya.

"Siapa?" tanya Afnan.

"Biasa, Bang. Siapa lagi kalau bukan si kuncir kuda," jawab Bara santai.

Afnan tertawa kecil mendengar Bara menyebut temannya dengan panggilan seperti itu.

"Siapa kuncir kuda, Mas?" Nazifa penasaran.

"Andre."

"Ooh," jawab Nazifa datar.

Tepat waktu adzan dzuhur, mereka memutuskan untuk berhenti di rest area km 88. Menunaikan kewajiban mereka sebagai muslim setelah itu baru mengisi perut untuk makan siang. Nazifa tidak ikut makan siang. Hanya Afnan dan Bara yang terlihat menikmati makanannya.

"Kamu serius nggak mau makan, Zee?" tanya Afnan.

Nazifa menggeleng. "Nggak, Mas. Aku cukup minum teh hangat ini aja."

"Apa kamu mau makan bakso aja? Ada tadi yang jual di luar," saran Bara.

"Nggak, Bar. Aku nggak mau makan apa-apa. Pengen cepet sampe rumah. Coba aja ya, bisa dengan sekali ngedip langsung nyampe rumah."

Afnan dan Bara tertawa mendengar khayalan Nazifa.

"Nggak sekalian aja naek piring terbang," ledek Bara disela tawanya.

Nazifa langsung mendelik seraya mengerucutkan bibir.

"Nyebelin," ketus Nazifa.

Selesai menyantap makan siang, mereka kembali melanjutkan perjalanannya.

"Sini kuncinya, Bang. Gantian aku yang nyetir," pinta Bara.

Afnan mengangguk dan melempar kunci ke arah Bara. Bara menangkapnya dengan sigap. Nazifa hendak berpindah posisi ke belakang, namun Afnan mencegahnya.

"Kamu di depan aja. Nanti kalau di belakang malah tambah pusing," ucap Afnan lembut.

"Tapi, Mas ... a–" ucapannya terpotong Afnan.

"Sstt ... ayo masuk," perintahnya lembut.

Nazifa tak membantah lagi. Ia kembali duduk di depan. Selama sisa perjalanan, ketiganya lebih banyak diam. Hanya terdengar suara lagu religi dari dvd mobil yang diputar Bara. Afnan tertidur lelap di belakang. Sedangkan Nazifa, walau pusing terasa berat di kepala, namun ia tak bisa memejamkan matanya. Gelisah. Kini mereka telah sampai di jalan nagreg. Butuh sekitar kurang lebih 2 jam lagi untuk tiba di rumah Nazifa.

"Kamu nggak tidur?" tanya Bara.

Nazifa hanya menggeleng.

"Nazi," panggilnya lembut.

"Hm?" Nazifa bergumam.

"Boleh ... aku mengatakan sesuatu padamu?" tanya Bara ragu.

Nazifa menoleh dan mengangguk. "Ngomong aja, Bara."

Bara terdiam sejenak. Matanya melirik Afnan yang masih tertidur dari kaca spion dalam mobil.

"Aku ...." Bara ragu untuk mengatakannya.

Nazifa mengerutkan kening tak mengerti saat Bara terlihat ragu untuk melanjutkan.

"Aku apa, Bara? Ngomong aja langsung. Biasanya juga langsung nyeletuk," ledek Nazifa.

Bara menghela nafas panjang lalu melirik Nazifa sekilas.

"Nazi sebenarnya aku ... aku sudah lama men ...."

"Bara awas!" Jeritan Nazifa menghentikan ucapannya.

Bara menoleh dan terkejut saat melihat sebuah truk dari arah berlawanan keluar jalur dan hampir menabraknya. Ia membanting setir. Berusaha mengendalikan mobilnya tapi gagal. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan langsung terguling. Asap keluar dari kap mobil.

Nazifa merasakan sakit yang begitu hebat di kepalanya. Bahkan sekujur tubuhnya terasa ngilu. Perlahan ia mencoba membuka matanya. Dadanya kembang kempis. Nafasnya pun terasa sesak. Ia menggerakan kepalanya perlahan menatap Bara yang berada di sampingnya.

"Astaghfirullahaladzim," lirih Nazifa hampir tak terdengar.

Air mata menetes membanjiri pipinya. Seluruh tubuhnya gemetar. Lemas tak bertenaga. Bahkan ia pun tak mampu untuk melepas sabuk pengaman yang masih menempel. Pusing begitu terasa di kepalanya karena posisi yang terbalik.

"Bara ... bangun Bara," panggil Nazifa dengan derai air mata sembari menggoyang pelan tubuh Bara.

Namun Bara bergeming. Darah mengucur dari kepalanya. Derai air mata semakin deras mengalir di pipi Nazifa.

Ya Allah! batinnya.

"Mas ... Mas Afnan." Nazifa mencoba memanggil suaminya. "Bangun, Mas," panggilnya lirih.

Namun tak ada jawaban dari Afnan. Nazifa menangis tanpa suara. Hanya air mata yang begitu deras mengalir membanjiri pipinya. Tak ada lagi tenaga ditubuhnya. Pandangan matanya pun semakin kabur. perlahan matanya mulai menutup, hingga akhirnya ...

Gelap!

Tamat.

★★★

Terima kasih sudah menjadi pembaca setia cerbung ini 😊😉.

Mungkinkah ketiganya meninggal dunia? Atau ...

---------------------------------------------------

Perlu nggak ya, dilanjutkan season 2? Tinggalkan komentar kalian ya 😁.