Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 41 - Part 41-Perasaan yang Terlupakan

Chapter 41 - Part 41-Perasaan yang Terlupakan

Apa yang terjadi denganku? Kenapa darahku berdesir saat tanganku tak sengaja bersentuhan dengannya? Bukankah dia itu kakak iparku? Tapi kenapa aku tidak mengingatnya sama sekali? batin Bara.

🌸🌸🌸

Bara mulai melangkahkan kakinya ke kamar meninggalkan dapur. Ia langsung menghempaskan kasar tubuhnya ke kasur. Memejamkan mata dengan sebelah lengan diletakkan di atas kening. Bayangan kejadian saat tangannya tak sengaja bersentuhan dengan Nazifa, kembali melintas dalam pikirannya. Desiran dalam hatinya bisa ia rasakan lagi hanya dengan mengingat hal itu.

"Apa yang terjadi padaku?" gumamnya.

Bara membuka matanya. Pandangannya menerawang menatap langit-langit kamar.

Apa jangan-jangan ... aku menaruh rasa pada kakak iparku sendiri? batinnya.

"Nggak ... nggak mungkin. Mana mungkin aku mencintai istri dari kakakku sendiri." Bara menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bara menghembuskan kasar nafasnya.

"Ya Allah, kenapa aku nggak bisa mengingatnya sama sekali?" keluh Bara.

Bara memijat pelipisnya. Semakin ia berusaha mengingatnya, kepalanya malah semakin terasa sakit.

🌸🌸🌸

Keesokan paginya, Nazifa langsung kembali lagi ke kamar setelah selesai sarapan bersama. Ia terlihat sedang melipat pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper. Tak lama mama menyusulnya ke kamar.

"Zee, mama boleh masuk?" Mama melongok dari pintu yang setengah terbuka.

"Boleh, Ma," jawab Nazifa.

Mama berjalan perlahan memasuki kamar Afnan. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Kini tatapannya terpaku pada foto pernikahan Afnan yang terpajang di tembok atas kepala ranjang. Hatinya berdenyut saat melihat foto itu. Mama menitikkan air mata. Ia tak pernah membayangkan kalau Afnan akan pergi meninggalkannya secepat ini. Pernikahan putra sulungnya pun hanya berjalan beberapa bulan saja.

Mama menatap punggung Nazifa yang tengah melipat pakaiannya ke dalam koper. Air mata mengalir deras di pipi mama. Ia sungguh tak tega melihat Nazifa. Di usianya yang masih muda, ia sudah menjadi seorang janda. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Hal itu sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa.

"Biar mama bantu, ya," ucap mama seraya mengambil pakaian dari lemari.

"Nggak usah, Ma, makasih. Biar Zee aja. Ini juga udah mau selesai kok." Nazifa tersenyum mengambil pakaian dari tangan mama.

"Ya sudah," jawab mama sembari mengambil posisi duduk di tepi ranjang.

Mama tahu kalau Nazifa tadi menangis. Terlihat dari matanya yang masih memerah, juga masih ada bekas air mata di pipinya.

"Zee," panggil mama.

"Apa kamu yakin, mau pergi dari sini?" tanya mama dengan suara bergetar.

Nazifa menatap mama kemudian menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Tangan mama terulur meraih sebuah foto yang terpajang di nakas. Ia mengusap pelan foto tersebut. Foto selfie Afnan bersama Nazifa. Tergambar jelas ada raut kebahagiaan di wajah Afnan dalam foto. Ia memeluk Nazifa erat dari belakang seraya mencium pipinya. Sedangkan Nazifa tersenyum malu-malu ke arah kamera.

Nazifa ikut duduk di samping mama. Ia menggigit bibir bawah yang bergetar menahan tangis. Mencoba menahan bulir bening yang menggenang di pelupuk mata namun pada akhirnya tetep luruh juga. Nazifa mengambil foto itu saat mama mengulurkannya. Ia menatap dan mengusap foto itu lalu mendekapnya di dada. Bahu Nazifa berguncang karena tangisan.

Sakit Ya Allah ... sakit sekali, lirih Nazifa dalam hati.

Mama memeluk Nazifa erat. Keduanya sama-sama menangisi orang yang begitu berarti dalam hidup.

"Terima kasih, Zee. Terima kasih sudah memberikan kebahagian buat Afnan," ucap mama tulus seraya mencium kening Nazifa.

Nazifa hanya mengangguk sebagai jawaban. Mama mengusap lembut air mata Nazifa dengan jarinya.

"Kita turun, ya. Ibu sama bapak udah nungguin kamu," ajak mama seraya berjalan keluar.

"I–i–iya, Ma," ucap Nazifa masih terisak.

Nazifa memasukkan foto itu ke dalam koper dan mulai berjalan meninggalkan kamar.

Langkah kakinya terhenti saat mencapai pintu. Ia menoleh  menatap ruangan kamar itu sekali lagi. Kamar yang dipenuhi kenangan manis bersama Afnan.

"Selamat tinggal ... Mas Afnan," ucap Nazifa pelan seraya menutup pintu kamar perlahan.

Nazifa berjalan menuruni tiap anak tangga dengan pelan. Terkadang sesekali langkahnya terhenti untuk memandang ke sekeliling rumah. Begitu banyak kenangannya di rumah ini.

Semuanya telah menunggu Nazifa di sofa ruang keluarga. Ibu-bapak langsung berdiri saat melihat Nazifa berjalan mendekat.

"Sini, biar aku yangbawain," ucap Bara sembari mengambil alih koper di tangan Nazifa.

"Makasih."

Mama memutuskan untuk mengantar Nazifa dan kedua Orangtuanya sampai ke terminal, sebelum ia membawa Bara ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan dokter.

"Biar saya aja yang nyetir," pinta Bara pada Pak Supri.

Pak Supri mengangguk kemudian memberikan kunci mobil pada Bara.

"Kamu yakin Bara? Mau nyetir sendiri?" tanya mama yang duduk di sebelahnya.

"Yakin, Ma."

Bara mulai melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah menuju terminal. Nazifa tak berbicara sepatah katapun. Hanya ibu dan mama yang terdengar mengobrol sesekali.

Nazifa memejamkan mata sembari bersandar. Masker terpasang rapi menutup mulutnya. Sesekali terlihat jarinya menyeka bulir bening yang menetes di sudut matanya yang terpejam. Bara beberapa kali mencuri pandang ke arah Nazifa dari spion depan.

Tak lama kemudian, akhirnya mereka tiba di terminal. Ibu dan bapak langsung naik ke bus setelah berpamitan dengan mama dan Bara. Mama masih menangis memeluk Nazifa.

"Zee ... jangan lupain mama, ya. Sering-sering telfon dan main ke sini. Mama akan nunggu kamu," ucap mama lirih.

"Iya, Ma. Maafin, Zee." Nazifa melepas pelukan mama lalu mencium punggung tangannya.

Mama menghapus air mata Nazifa lalu mencium kedua pipinya.

"Hati-hati, ya," ucap mama.

Nazifa mengangguk. Ia menoleh menatap Bara yang berdiri di samping mama.

"Aku pergi, ya. Makasih," ucap Nazifa tersenyum tipis.

Bara mengangguk pelan dan tersenyum.

Meskipun Nazifa merasa canggung karena Bara tak mengingatnya, tapi ia tetap harus berpamitan. Tak masalah jika Bara melupakannya, tapi Nazifa tetap mengingatnya sebagai teman juga adik iparnya.

"Assalamu'alaikum," ucap Nazifa lalu melangkah masuk ke dalam bus.

"Wa'alaikumsalam," jawab keduanya serempak.

Nazifa yang mengambil posisi duduk di dekat jendela, menatap ke arah mama dan Bara yang masih berdiri mematung memandangnya. Bara memejamkan mata seraya mengerutkan keningnya.

Sepintas muncul bayangan di kepalanya kalau ia pernah melakukan hal yang sama, mengantar Nazifa ke terminal. Tapi bayangan itu belum jelas.

Benarkah bayangan itu memang Nazifa? pikir Bara.

Ia berusaha mengingatnya, tapi tidak bisa. Semakin ia memaksa untuk mengingatnya, malah semakin menambah rasa sakit di kepalanya.

"Sshh." Bara meringis memegang kepalanya.

"Kamu kenapa, Bara?" tanya mama khawatir.

"Nggak, Ma. Nggak apa-apa."

Mobil bus yang ditumpangi Nazifa mulai melaju keluar terminal. Mama melambaikan tangan pada Nazifa. Nazifa tersenyum lalu membalas melambaikan tangannya. Mama menangis saat melihat bus itu telah pergi menjauh.

"Udah, Ma. Jangan nangis lagi. Ayo." Bara merangkul bahu mamanya, membawanya kembali ke mobil.

🌸🌸🌸

Saat di rumah sakit, mama kembali mengkonsultasikan pada dokter perihal masalah Bara yang tidak bisa mengingat Nazifa. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa Bara mengalami Amnesia Disosiatif. Sifatnya hanya sementara. Memori yang hilang tersebut dapat kembali muncul dengan sendirinya atau setelah dipicu oleh sesuatu yang ada di sekitarnya.

Mama dan Bara menghela nafas lega setelah mendengarkan penjelasan dari dokter. Setidaknya Bara bersyukur, dia tidak akan kehilangan ingatan untuk selamanya.

"Terima kasih, Dokter. Kami permisi dulu," ucap mama seraya menyalami dokter.

"Sama-sama," jawab dokter ramah.

Mama terlebih dulu pergi ke mobil saat Bara pergi ke apotik untuk menebus obat yang diresepkan dokter. Ketika ia berbalik badan hendak pergi, terdengar seseorang memanggil namanya.

"Bara!"

Bara menoleh menatap ke arah suara itu.

"Nancy?" gumamnya.

Nancy berlari menghampiri Bara.

"Kamu ke mana aja? Kok nggak pernah keliatan ke kampus?"

"Nggak ke mana-mana. Aku habis kecelakaan dan kakakku meninggal," jawab Bara.

"Innalillahi. Maaf ya, Bara. Aku baru tahu. Soalnya 2 hari ini aku juga baru balik dari solo," sesal Nancy.

"Iya. Nggak apa-apa," jawab Bara.

"Pantesan aja waktu aku coba hubungi nomer kamu, tapi nomer kamu nggak aktif. Oh ya, aku boleh minta nomer barumu, kan?"

"Maaf, Si. Aku harus pergi dulu. Kasian mamaku udah nungguin. Bye." Bara berlalu meninggalkan Nancy.

Nancy menghembuskan nafas dengan kasar.

"Selalu aja begitu," keluh Nancy.

Bara tak menoleh sama sekali ke arah Nancy yang masih berdiri menatapnya. Ia terus berjalan menjauh ke arah parkiran.

"Kok lama, Bara?" tanya mama saat Bara masuk ke mobil.

"Maaf, Ma. Tadi nggak sengaja ketemu temen kampus, terus ngobrol sebentar."

"Ooh."

"Kira-kira, Zee nyampe sana jam berapa ya?" tanya mama.

"Mungkin ashar, Ma."

"Mama sebenernya nggak mau kalau Zee pergi. Tapi, mama nggak bisa berbuat apa-apa. Orangtuanya lebih berhak atas Zee." Mama menghela nafas panjang.

"Sabar ya, Ma."

"Apa kamu beneran nggak inget sama sekali sama Zee, Bara?"

"Nggak, Ma." Bara menggeleng.

🌸🌸🌸

Selesai makan malam, mama duduk santai di ruang keluarga. Ponselnya tak lepas dari genggaman. Ia menunggu telfon dari Nazifa. Mama sudah berusaha menghubunginya duluan, namun nomernya tidak aktif. Beberapa menit kemudian, akhirnya poselnya berdering. Tertera nama Nazifa di layar. Wajah mama langsung sumringah.

[Assalamu'alaikum] sapa Nazifa dari telfon.

"Wa'alaikumsalam. Zee, mama nungguin telfon kamu dari tadi. Mama coba hubungin nomer kamu tapi malah nggak aktif," keluh mama.

[Iya, Ma. Zee minta maaf. Tadi pas sampe rumah, Zee langsung ketiduran. Pusing. Hape Zee juga lowbet. Maafin Zee ya, Ma. Udah buat mama khawatir.]

"Iya, Zee. Nggak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik aja. Nyampe jam berapa tadi, Zee?"

[Jam 3, Ma.]

"Ya udah, kamu istirahat, ya. Mama lega udah dapet kabar dari kamu. Jaga kesehatan kamu di sana."

[Iya, Ma. Assalamu'alaikum.]

"Wa'alaikumsalam."

Mama menghela nafas lega setelah menerima telfon dari Nazifa. Andre muncul dari pintu saat baru saja mama hendak beranjak ke kamar.

"Assalamu'alaikum," sapa Andre.

"Wa'alaikumsalam," jawab mama Bara  seraya menoleh ke arah Andre.

"Tante." Andre mencium tangannya.

"Tadi jam 10 pagi Andre ke sini tapi nggak ada siapa-siapa. Kata Pak Supri, tante lagi ke rumah sakit lagi."

"Iya, Ndre. Tante habis bawa Bara buat kontrol."

"Memangnya Bara kenapa lagi, Tante?"

"Bara nggak ingat sama sekali sama Nazifa."

Andre membelalakkan mata saat mendengarnya.

"Maksud Tante, Bara lupa ingatan? Tapi ... dia inget kok sama Andre, Tante?"

"Iya. Dokter bilang, Bara mengalami Amnesia Disosiatif. Ingatannya bisa muncul kembali dengan sendirinya atau dipicu oleh sesuatu yang ada di sekitarnya," jelas mama.

Andre termenung sejenak.

"Ndre," panggil mamanya Bara.

Andre bergeming.

"Andre." Mama Bara menepuk pundaknya yang membuat Andre tersadar dari lamunannya.

"Kamu kok malah bengong," ucap mamanya Bara heran.

"Ah iya, Tante. Maaf. Biasa, masalah kerjaan bikin pusing," jawabnya asal.

"Ehmm ... Nazifa nggak keliatan, Tante. Keadaannya gimana?" tanya Andre.

"Alhamdulillah, Zee baik-baik aja." Mamanya Bara tersenyum.

"Tadi pagi tante habis nganterin Zee ke terminal. Zee udah dibawa pulang Orangtuanya ke Tasik," ujar mama dengan raut sedih.

"Dibawa ke Tasik?" tanya Andre tak percaya.

Mama mengangguk.

Shit! umpat Andre dalam hati.

"Andre pamit pulang dulu ya, Tante," ucap Andre seraya beranjak dari sofa.

"Lho, nggak jadi nemuin Bara?" tanya mamanya Bara heran.

"Nanti aja, Tan. Besok-besok Andre ke sini lagi. Ada hal yang harus Andre selesaikan dulu. Salam aja buat Bara." Andre mencium tangan mama Bara.

"Ya sudah. Hati-hati, ya."

"Assalamu'alaikum," ucap Andre seraya berjalan cepat keluar.

"Wa'alaikumsalam," jawab mama dengan raut wajah heran.

Andre terlihat sedang mencoba menghubungi seseorang saat sudah masuk ke dalam mobilnya.

"Halo."

[...]

"Ini gue, Andre. Loe di mana?"

[...]

"Gue punya tugas baru buat loe."

[...]

"Tar gue jelasin. Loe tunggu aja di situ. Gue on the way ke tempat loe."

[...]

Setelah menutup telfonnya, Andre langsung menancap gas menuju ke tempat pertemuan.

★★★