Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 40 - Part 40-Rasa apa ini?

Chapter 40 - Part 40-Rasa apa ini?

Tiba-tiba kehilangan seseorang yang begitu kita cintai, memang bisa membuat hati seolah mati bahkan hidup kita terasa tak berarti lagi. Seperti itulah yang dirasakan Nazifa saat ini. Tak ada semangat, tak ada gairah, tak ada lagi senyuman di wajahnya.

7 hari setelah kepergian Afnan, Nazifa hanya menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar. Ia keluar hanya saat akan mengikuti acara tahlilan, lalu setelah itu kembali lagi menyendiri. Bahkan untuk makan pun, ibu-bapaknya harus memaksanya. Orangtuanya merasa khawatir dengan keadaan Nazifa. Mereka takut terjadi sesuatu pada putrinya itu.

"Pak," panggil ibu sembari membantu Mbok Tini menyiapkan makan siang.

"Kenapa, Bu?" jawab bapak yang sedang menikmati kopi.

"Ibu khawatir sama keadaan anak kita, Pak."

Bapak menghela nafas panjang.

"Bapak juga khawatir, Bu. Bapak takut Zee ngelakuin sesuatu di luar akal sehatnya. Tidak pernah bapak lihat Zee seperti ini. Bahkan saat kita memaksanya menikah, dia tak separah ini."

"Kita harus ngelakuin sesuatu, Pak. Ibu nggak mau Zee kenapa-napa," ucap ibu seraya menyeka bulir bening di sudut mata.

"Ngelakuin apa, Bu? Bapak juga bingung," jawab bapak memijat keningnya.

Ibu Nazifa terlihat sedang mencoba memikirkan sesuatu.

"Pak," panggil ibu.

Bapak menoleh menatap ibu.

"Gimana kalau kita bawa Zee pulang ke Tasik, Pak? Hari ini tepat 7 hari meninggalnya Afnan. Ibu rasa, Bu Sherli juga nggak akan keberatan kalau besok Zee kita bawa pulang. Mungkin dengan cara itu, Zee bisa sedikit melupakan kesedihannya," usul ibu.

"Apa Ibu yakin? Bagaimana kalau Bu Sherli menolak?" tanya bapak.

"Ibu yakin, Pak. Di sini itu terlalu banyak kenangan Zee bersama Afnan. Sudah jelas hal itu akan terus menyiksa batinnya. Lagipula, ibu rasa sudah tidak ada alasan lagi untuk Zee tetap di sini. Bagaimana kalau menurut Mbok?" Ibu menanyakan pendapat Mbok Tini.

"Kalau saya setuju dengan usulan ibu. Kasian Neng Zifa. Saya juga nggak tega liatnya. Neng Zifa makin kurus. Pasti Neng Zifa keinget terus sama Den Afnan. Saya aja ngebayanginnya ikut sedih," ucap Mbok Tini seraya menyeka air mata.

"Den Afnan bener-bener mencintai Neng Zifa. Dia suami yang sempurna. Tapi sayang, takdir berkata lain," tambah Mbok Tini.

"Apa benar Afnan seperti itu Mbok?" tanya ibu.

"Bener, Bu. Bahkan Neng Zifa itu, wanita pertama dan satu-satunya yang Den Afnan cintai. Selama saya bekerja di sini, tidak pernah saya melihat atau mendengar Den Afnan dekat dengan wanita. Makanya, saya sedikit terkejut pas denger Den Afnan mau nikah," tutur Mbok Tini panjang lebar.

"Sungguh beruntung putri kita ya, Pak. Mendapatkan suami sebaik Nak Afnan. Tapi mau bagaimana lagi, ternyata Allah SWT lebih menyayangi Afnan. Ia memanggilnya saat mereka baru beberapa bulan menikah." Ibu menangis.

"Sabar, Bu. Kita berdoa saja, semoga Zee bisa kuat dan tabah, ya." Bapak mengusap-usap punggung untuk menenangkan ibu.

"Nanti kita obrolin dulu rencana kita ini sama Bu Sherli, ya," ujar bapak.

"Iya, Pak." Ibu kembali melanjutkan memasaknya.

🌸🌸🌸

Mama Bara sedang mengurus administrasi untuk kepulangan Bara dari rumah sakit. Bara sengaja memejamkan mata untuk menahan rasa sakit di kepalanya. Sedetik kemudian, Andre yang baru datang, langsung masuk menghampirinya.

"Bara, Bara. Loe belum siuman juga ternyata."

Andre tidak mengetahui kalau Bara tidak benar-benar tidur.

"Gue ikut sedih atas kepergian Bang Afnan, Bar. Dia pria yang baik. Bahkan menurut gue ... terlalu baik. Tapi gue juga seneng. Gue jadi nggak perlu nyakitin dia buat dapetin yang gue mau," ucapnya penuh percaya diri.

Bara yang terkejut mendengar perkataan temannya itu, langsung membuka mata dan menoleh.

"Maksud loe apa ngomong gitu?" tanya Bara bingung.

Andre terlihat terkejut saat mengetahui ternyata Bara telah siuman. Tapi sedetik kemudian, ia kembali memasang raut wajah santai.

"Santai, Bro. Loe belum sembuh total. Jangan banyak pikiran dulu," ujar Andre.

"Terus, maksud dari kata-kata terakhir loe tadi apa?" tanya Bara sedikit emosi.

Andre hanya terkekeh. Ia maju lalu sedikit membungkukan badannya ke samping Bara.

"Nanti juga loe bakal tau," bisik Andre.

Bara menatap curiga pada temannya itu.

"Loe punya niat jahat apa? Hah! Jangan bilang loe mau ngancurin perusahaan bokap gue setelah kepergian Bang Afnan!"

Andre terbahak mendengar ucapan Bara.

"Tenang, Bara. Loe itu sahabat gue. Mana mungkin gue tega ngelakuin hal itu. Tapi ...." Andre menjeda ucapannya.

"Tapi apa?" Bara menatap tajam pada Andre.

"Ada hal yang lebih penting dari itu. Dan loe tau kan, sifat gue kayak gimana. Gue harus dapetin apa yang gue mau. Dengan cara apapun. Halus ataupun kasar," ucap Andre dengan nada yang ditekankan pada setiap katanya.

Bara mengerutkan kening. Ia merasa curiga pada Andre, tapi belum mengerti maksud dan tujuan dari perkataannya itu.

"Semoga gue nggak perlu nyakitin loe, ya. Loe sahabat gue. Jadi gue nggak mau kita musuhan."

"Loe kenapa sih? Jadi aneh gitu?" tanya Bara.

Andre tersenyum menyeringai menatap Bara.

"Yang pasti ini bukan sepenuhnya salah gue. Tapi salah 'dia' sendiri," ucap Andre sarat makna.

"Loe ...." Ucapan Bara terpotong kehadiran mamanya.

"Andre," sapa mama dari pintu.

"Kapan datang, Ndre?" tanya mama.

"Baru aja datang, Tante. Tante dari mana?"

"Tante habis ngurus administrasi buat bawa Bara pulang," jawab mama tersenyum.

"Oh, ya? Bara udah boleh pulang, Tante?"

"Iya, Ndre. Tapi masih harus banyak istirahat nanti di rumah. Nggak boleh capek fisik dan mental dulu," jelas mama.

"Bagus kalau gitu, Tante. Andre juga udah nggak sabar pengen maen ke rumah Tante lagi," ucap Andre.

Bara mendelikkan mata mendengar perkataan temannya itu.

"Makasih ya, Ndre. Tante udah banyak ngerepotin kamu."

"Nggak apa-apa, Tante. Bara kan sahabat Andre. Nggak mungkin Andre cuma diem aja, kan?" jawab Andre.

Mama tersenyum.

"Kamu memang baik, Ndre," puji mama seraya menepuk bahunya pelan.

"Ayo. Kita pulang sekarang, Bara," ajak mama.

Andre hendak membantu Bara bangun tapi langsung ditepisnya.

"Gue bisa sendiri," ketus Bara.

"Ok," jawab Andre cuek.

Bara berjalan beriringan dengan mamanya. Sedangkan Andre hanya mengikutinya di belakang. Sesampainya di parkiran, Andre langsung pamit untuk kembali ke kantor.

"Tar gue ke rumah loe, ya," ucap Andre.

"Nggak usah," jawab Bara dingin.

Andre hanya tersenyum tipis lalu mulai melajukan mobilnya.

"Bara, ayo naik," panggil mama yang sudah duduk di dalam mobil.

Bara mengangguk lalu bergegas naik ke mobil.

"Bara," panggil mama.

"Hm?"

"Ada apa antara kamu sama Andre? Kok mama ngerasa ada yang beda? Kamu marahan sama dia?"

Bara menggeleng.

"Nggak, Ma. Bara cuma ngerasa aja kalau Andre sebenernya punya niat terselubung."

Mamanya mengerutkan dahi tak mengerti.

"Niat terselubung gimana maksud kamu? Bukannya kalian itu sahabatan? Bahkan dia selalu bantuin kita, lho."

"Bara juga belum tau dan yakin, Ma. Mudah-mudahan aja itu cuma perasaan Bara."

🌸🌸🌸

Ibu bergegas menaiki tangga menuju kamar Nazifa.

"Zee," panggil ibu serayamengetuk pintu.

Karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari putrinya, akhirnya ibu langsung masuk. Ia langsung terkejut karena mendapati tidak ada Nazifa di sana. Dengan cepat ia melangkah ke kamar mandi.

"Zee," panggilnya lagi seraya membuka pintu kamar mandi.

Kosong. Nazifa juga tidak ada di sana. Ibunya menoleh ke arah pintu balkon yang terbuka. Perasaannya seketika menjadi cemas. Ia takut terjadi sesuatu pada putrinya itu. Dengan langkah hati-hati, ibu mendekat ke arah balkon kamar lalu mengintipnya sebentar. Ibunya langsung menghela nafas lega saat melihat Nazifa baik-baik saja.

Nazifa tengah duduk dengan melipat kedua kaki ke atas kursi. Tatapannya kosong menatap lurus ke depan. Ibu menyeka bulir bening di sudut matanya. Ia benar-benar sedih dan tak tega melihat putri semata wayangnya terluka seperti itu. Perlahan ia melangkahkan kaki mendekati Nazifa lalu duduk di sampingnya.

"Zee," panggil ibu.

Nazifa bergeming.

"Zee," panggil ibu lagi seraya menyentuh bahu Nazifa.

Nazifa akhirnya menoleh. Namun raut wajahnya datar tanpa ekspresi.

"Turun dulu, yuk," ajak ibu.

"Kita makan siang bareng, ya. Nggak baik ngurung diri di kamar terus. Hari ini anaknya Bu Sherli yang bungsu juga akan pulang dari rumah sakit," terang ibu.

"Bara," ucap Nazifa datar.

"Iya, Zee. Bara. Yuk." Ibunya membantu Nazifa berdiri.

Ibunya menuntun lengan Nazifa yang berjalan pelan menuruni anak tangga.

"Duduk, Sayang." Ibu menarik kursi lalu membantu Nazifa duduk.

Bapak yang sedang duduk di kursi depannya, menatap iba pada Nazifa. Beberapa kali ia terlihat menghela nafas panjang.

"Zee," panggil bapak lembut.

Nazifa mengangkat wajah menatap bapak.

"Bapak seneng, kamu akhirnya mau makan di sini bareng-bareng," ucap bapak seraya tersenyum.

Nazifa membalasnya dengan tersenyum tipis. Tak lama kemudian, terdengar ucapan salam dari mama dan Bara saat keduanya masuk rumah.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Mbok Tini bergegas menghampiri, mengambil tas di tangan Bara lalu menaruhnya ke kamar. Nazifa menoleh sekilas saat Bara dan mama berjalan mendekat, lalu ia kembali menatap datar makanan di depannya.

"Ayo, Bu Sherli. Makan siang bareng dulu," ajak ibu Nazifa.

"Iya. Maaf ya, Bu. Jadi merepotkan," ucap mama.

"Nggak apa-apa, Bu. Saya juga cuma bantuin Mbok Tini kok. Alhamdulillah ya, Nak Bara sudah dibolehin pulang," ucap ibu.

"Iya, Bu. Saya juga bersyukur banget, akhirnya kondisi Bara semakin membaik," jawab mama.

"Ayo, ayo. Kita makan," ajak mama.

Nazifa makan dalam diam. Tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Mama membantu mengambilkan makanan untuk Bara. Lalu menatap heran pada anaknya itu saat ia mendapati Bara terus menerus menatap Nazifa.

"Bara," panggil mama. "Kenapa, Nak?" tanya mama.

Bapak dan ibunya Nazifa ikut menoleh menatap Bara.

Bara terlihat mengerutkan kening seolah sedang berpikir.

"Dia ...." Ucapan Bara terjeda. "Dia siapa?" tanya Bara.

Seketika mereka semua terkejut mendengar pertanyaan Bara.

"Maksud kamu apa, Nak? Itu Zee, Nazifa. Istri almarhum kakak kamu. Masa kamu nggak ingat?" ucap mama dengan raut wajah kebingungan.

"Nazifa?"

Bara sedang mencoba berpikir tapi nihil. Ia tidak bisa mengingatnya sama sekali.

"Kamu kenapa sih, Nak? Jangan bikin mama khawatir dong," ujar mama.

"Bara nggak apa-apa, Ma. Tapi Bara beneran nggak bisa inget sama istrinya Bang Afnan," jawab Bara sembari menatap ke arah Nazifa.

Nazifa tersenyum miris. Ia merasa bahwa dirinya benar-benar ditakdirkan hidup sendiri. Setelah kehilangan janin dan Afnan, kini teman sekaligus adik iparnya pun tidak mengingat dirinya sama sekali.

"Mungkin sebaiknya dikonsultasikan ke dokter lagi, Bu," usul bapak.

"Iya bener, Bu Sherli. Takutnya kenapa-napa," ucap ibu ikut cemas.

Mama mengangguk setuju dengan usulan itu.

"Besok pagi kita ke dokter lagi, ya," ucap mama pada Bara.

Bara hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Mau ke mana, Zee?" tanya ibu saat melihat Nazifa beranjak dari kursi.

"Zee udah kenyang, Bu," jawab Nazifa.

"Pak, Ma, Zee ke kamar dulu, ya," pamitnya lalu berjalan meninggalkan meja makan.

Bara terus menerus menatap Nazifa yang berjalan semakin menjauh menaiki tangga.

Ada yang aneh. Aku nggak bisa mengingat siapa dia, tapi kenapa terasa ada yang berdenyut di dalam sini?" batin Bara.

🌸🌸🌸

Malam harinya, ibu dan bapak menghampiri mama yang tengah menikmati teh di ruang keluarga.

"Bu Sherli, maaf. Ada yang mau kami bicarakan sama ibu," ucap ibu seraya duduk di sofa.

"Bicara soal apa ya, Bu?" tanya mama bingung.

Bapak dan ibu saling memandang sebelum mengutarakan maksudnya.

"Soal Zee, Bu," jawab bapak.

"Zee? Zee kenapa, Bu? Apa dia sakit?" tanya mama khawatir.

"Bukan, Bu. Bukan itu. Besok kami kembali ke Tasik, rencananya kami mau bawa Zee pulang sama kami," tutur bapak.

"Besok? Kenapa harus cepet-cepet, Bu? Apa bapak-ibu tidak kerasan tinggal di sini? Padahal saya seneng banget, jadi punya temen ngobrol sama ibu," ujar mama dengan raut wajah sedih.

"Iya, Bu Sherli. Kami minta maaf. Kami juga senang tinggal di sini. Tapi masih ada yang harus diurus di kampung. Sawah bapak juga sebentar lagi panen," jawab ibu Nazifa.

"Bu, apa tidak boleh kalau Zee tinggal di sini saja bersama saya? Saya udah anggap Zee sebagai anak perempuan saya sendiri, Bu. Saya nggak mau Zee ninggalin saya. Saya sayang sama Zee." Mama mulai menangis.

Ibu dan bapak saling memandang. Mereka jadi tak enak hati melihat mama menangis. Ibu menghampiri dan duduk di sampingnya.

"Bu Sherli, kami sangat mengerti perasaan ibu," ucap ibu seraya menggenggam lembut tangannya.

"Kami bersyukur, putri kami mendapatkan ibu mertua sebaik Bu Sherli. Tapi menurut saya dan bapak, sekarang Zee butuh waktu untuk menenangkan diri dulu. Di sini terlalu banyak kenangan manis bersama Nak Afnan. Kami tidak mau melihat Zee terus terpuruk seperti itu," lanjut ibu.

"Kalau memang itu sudah menjadi keputusan bapak sama ibu, saya tidak bisa melarangnya. Saya harap, nanti Zee bisa sering-sering berkunjung ke sini menemui saya," ucap mama.

"Pasti, Bu Sherli. Pasti," ucap ibu seraya memeluknya.

Saat jam menunjukan jam 1 malam, Nazifa terbangun untuk menunaikan shalat sunnah tahajud. Ia ingin mengadukan semua kesedihan dan kepiluannya pada yang Maha Kuasa. Tak lupa ia memanjatkan doa untuk almarhum suaminya. Ia juga memohon agar diberikan ketabahan serta kesabaran, atas semua ujian dan cobaan yang menimpanya.

Setelah melipat mukena dan sajadah, Nazifa pergi keluar menuju dapur. Ia melihat Bara di sana tengah duduk di meja makan dengan segelas susu. Nazifa menghela nafas panjang. Setelah mengetahui kalau Bara tidak mengingatnya sama sekali, ia merasa canggung saat harus bertatap muka dengannya. Bara menoleh saat melihat Nazifa mendekat ke arahnya.

"Hai," sapa Bara kikuk.

Nazifa membalas tersenyum tipis saat Bara menyapanya. Keduanya merasa benar-benar canggung. Tidak seperti dulu. Bara tak segan untuk menggoda ataupun meledeknya.

Nazifa membuat segelas cokelat hangat. Tak ada percakapan di antara keduanya. Hanya Bara yang terlihat sesekali mencuri-curi pandang ke arah Nazifa. Nazifa tidak perlu waktu lama untuk menghabiskan minumannya. Dalam sekali teguk, gelas itu telah kosong. Punggung telapak tangan Bara dan Nazifa tak sengaja bersentuhan saat mereka secara bersamaan menyimpan gelas kotor di wastafel.

"Maaf," ucap Bara.

Nazifa mengangguk pelan lalu pergi lebih dulu dari dapur. Bara berdiri mematung menatap Nazifa yang perlahan pergi menjauh.

Apa yang terjadi denganku? Kenapa darahku berdesir saat tanganku tak sengaja bersentuhan dengannya? Bukankah dia itu kakak iparku? Tapi kenapa aku tidak mengingatnya sama sekali? batin Bara.

★★★