Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 38 - Part 38-Selamat Tinggal

Chapter 38 - Part 38-Selamat Tinggal

Nazifa masuk ke dalam mobil Andre. Perasaannya benar-benar tak karuan. Detak jantung pun semakin terasa cepat. Ia sungguh takut. Takut dengan pikiran buruk yang ada di kepalanya.

Nggak. Mas Afnan pasti baik-baik aja. Pasti ia sedang menungguku di rumah, ucapnya dalam hati.

Tapi ia tetap tak bisa menghilangkan kekhawatirannya. Bahkan air mata sedari tadi tak berhenti menetes. Nazifa mengusap air mata dengan ujung kerudungnya. Ia terus memandang lurus ke depan.

"Mas Andre, tolong ngebut, Mas," pintanya memelas dengan linangan air mata.

"Loe mau nabrak lagi?" ketusnya.

Nazifa hanya bisa menangis. Kenapa perjalanan ini terasa begitu lama? Bahkan kebiasaan mabuk saat naik mobil pun hilang entah ke mana.

Setengah jam kemudian, mereka tiba di depan rumah Afnan. Nazifa dengan cepat membuka sabuk pengamannya dan langsung berlari memasuki halaman. Ia bahkan sampai jatuh tersandung, tapi langsung berdiri kembali. Perasaannya benar-benar takut.

Langkahnya terhenti sebelum mencapai pintu rumah. Terlihat sudah ramai tetangga dan kerabat di dalam dan luar rumah Afnan. Ia terhuyung ke belakang menubruk tubuh Andre yang dari tadi mengekorinya. Nazifa menggelengkan kepala. Dadanya kembang kempis. Air mata semakin deras mengalir.

"Nggak. Ini nggak mungkin," gumamnya menenangkan diri sendiri.

Ia memutar balik badan hendak pergi tapi Andre menahannya.

"Loe mau ke mana?"

"Nggak! Aku nggak mau masuk! Aku mau nyari Mas Afnan!" Nazifa menangis.

Ia sudah menyadari apa yang terjadi di dalam rumah. Tapi ia belum bisa menerima kenyataan itu.

"Hey!" bentak Andre.

Nazifa semakin sesenggukan.

"Lepasin! Aku mau pergi! Aku mau nyari Mas Afnan!"

Mbok Tini yang baru keluar dari dalam, langsung tergopoh-gopoh menghampiri.

"Neng ... Neng Zifa," panggilnya lirih.

Nazifa menoleh menatap Mbok Tini.

"Mbok ... Mas Afnan mana, Mbok? Mas Afnan ada di dalem, kan?" tanya Nazifa dengan wajah ceria yang dibuat-buat.

Mbok tak bisa menjawabnya. Ia malah menangis.

"Yang sabar ya, Neng," ucap Mbok Tini lirih.

Nazifa tertawa kecil.

"Ah, mbok gitu. Di tanya apa, jawabnya apa." Nazifa tertawa dengan linangan air mata.

Mbok Tini semakin sesenggukan. Ibu Nazifa muncul mendekati anaknya.

"Zee," panggilnya dengan tetesan air mata.

Nazifa menoleh dan terkejut.

"Ibu," panggil Nazifa pelan.

Nazifa langsung berlari dan memeluk ibunya.

"Ibu ... kapan ibu ke sini? Kok nggak ngabarin? Kan Zee sama Mas Afnan bisa jemput di terminal," ucapnya dengan senyum terpaksa seraya melepas pelukan.

Ibunya tak tega melihat Nazifa. Ia menangis memeluk erat lagi putrinya itu.

"Bu ...." Nazifa melepas pelukan ibunya.

"Ayo, Bu. Kita temuin Mas Afnan. Mas Afnan ada di dalem, kan?" tanya Nazifa riang.

Ibunya mengangguk pelan.

"Mas Afnan lagi nungguin aku, kan?" tanyanya lagi dengan riang tapi berlinangan air mata.

Ibunya kembali mengangguk. Mbok Tini semakin sesenggukan melihat Nazifa.

"Ayo, Bu." Nazifa menggandeng lengan ibunya.

Ya Allah ... tolong berikan kekuatan dan keikhlasan kepada putri hamba, doa ibu dalam hati.

Langkah Nazifa terhenti di pintu saat melihat sesuatu di sana. Ia berdiri mematung. Air mata tiada habisnya mengalir. Tubuhnya gemetar. Semua orang di dalam memandang ke arahnya. Termasuk mama dan keluarga paman.

Nazifa melepas gandengan tangan ibunya. Ia mengusap kasar air matanya. Tertawa ringan, lalu berlari kecil menghampiri mama yang menangis menatap ke arahnya.

"Ma." Nazifa mencium tangan mama lalu memeluknya.

"Mas Afnan mana, Ma? Kok nggak nungguin Zee di rumah sakit?"

Mama tak menjawab pertanyaan Nazifa. Ia menunduk dan menangis. Paman menepuk-nepuk punggung mama pelan untuk menenangkannya.

"Ma," panggil Nazifa lirih.

Mamanya mengangkat wajah menatap nanar pada menantunya itu.

"Kamu harus kuat, sayang." Mama memeluk Nazifa.

Nazifa menggelengkan kepala.

"Nggak, Ma. Mas Afnan ada di kamar." Nazifa melepas pelukannya. "Aku mau nemuin Mas Afnan dulu." Nazifa hendak berdiri tapi mama menahan tangannya seraya menangis sesenggukan.

"Zee ...." Mama menunjuk sosok yang terbaring ditutupi kain.

Nazifa menoleh dengan linangan air mata.

"Nggak, Ma! Itu bukan Mas Afnan! Mama salah," bantahnya dengan terisak.

Semua orang di sana ikut menangis.

"Aku mau ketemu Mas Afnan!" Nazifa kembali bangkit.

Ibunya menahannya. Memeluknya seraya menangis.

"Yang ikhlas, Zee," ucap ibunya lalu menuntun Nazifa yang menangis tersedu mendekat ke arah Afnan.

Langkah kaki Nazifa terasa begitu berat. Ia dan ibunya duduk bersimpuh di depan mayat Afnan.

"Ucapkan perpisahan terakhirmu, Zee," ucap Mama pelan.

Dengan tangan gemetar, Nazifa mencoba menyibak kain yang menutup wajahnya.

"Mas Afnan," gumamnya.

"Ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin terjadi. Mas Afnan nggak akan ninggalin aku seperti ini. Ini ... ini cuma mimpi kan, Bu," ucap Nazifa pelan dengan suara bergetar.

"Sabar, sayang," jawab ibunya.

"Nggak! Bangun, Mas! Bangun! Jangan tinggalin aku!" Jeritnya seraya terus memeluk tubuh Afnan.

Nazifa terus menerus memanggil nama suaminya. Menggoyang tubuhnya. Tapi Afnan tetap menutup mata dengan tenang.

Ibu dan bapak mengangkat tubuh Nazifa.

"Nggak boleh gitu, Zee. Istighfar ... istighfar," ucap Bapak menangis.

"Nggak, Pak. Mas Afnan cuma lagi tidur. Bangun, Mas! Bangun!" Nazifa terus menjerit.

Tak ada yang bisa menahan air mata di ruangan itu. Semuanya ikut menangis melihat Nazifa. Tangisan Nazifa begitu menyayat hati. Ia meraung dan terus berteriak. Nazifa belum ikhlas Afnan meninggalkannya seperti ini. Bapak dan ibunya terus menahan tubuh Nazifa agar tak menggoyang tubuh Afnan. Mama dan keluarga semakin sedih melihat Nazifa terpukul seperti itu.

"Istiighfar, sayang. Istighfar. Nggak boleh berlebihan." Ibunya memeluk erat Nazifa.

"Mas Afnan," panggil Nazifa dengan suara lebih rendah. "Bawa aku, Mas. Bawa aku bersamamu." Nazifa menangis tiada henti.

"Nggak boleh ngomong gitu, Zee. Nggak boleh." Ibunya terus memeluk Nazifa.

Tiba-tiba kepala Nazifa terasa begitu berat. Pandangannya buram.

"Mas Afnan," gumam Nazifa sebelum akhirnya tak sadarkan diri.

"Astaghfirullah," ucap ibu dan bapak.

Semua orang terkejut melihat ke arah Nazifa.

"Zee ... istighfar, Zee."

Bapak menepuk-nepuk pipi Nazifa pelan. Nazifa tetap tak sadarkan diri.

"Dibawa ke kamar aja," ucap Mama mendekat masih dengan isakan.

Bapak hendak membopong Nazifa. Tapi Andre yang sedari tadi ikut duduk di pojok, maju mendekat dan menahannya.

"Biar saya bantu, Pak," ucap Andre.

Bapak awalnya ragu, tapi akhirnya mengizinkannya.

Andre membawa Nazifa ke kamarnya diikuti ibu. Ia membaringkan Nazifa perlahan di atas kasur.

"Terima kasih," ucap Ibu.

Andre hanya mengangguk lalu kembali ke depan. Ibu menangis memeluk tubuh Nazifa.

"Nazifa, anakku sayang. Kamu harus kuat, Nak. Kamu harus ikhlas. Ini sudah takdir dari yang maha kuasa," ucap Ibu lirih.

"Ya Allah, berikanlah keikhlasan dan ketabahan kepada anak hamba," doa Ibu dalam isakan tangis.

🌸🌸🌸

Semua orang ikut mengantar ke pemakaman. Jenazah Afnan dikebumikan di pemakaman umum yang tidak begitu jauh dari kompleknya. Mama menangis pilu melihat proses pemakaman itu. Tidak menyangka kalau Afnan harus meninggalkannya secepat ini.

Nazifa. Ia tidak ikut ke pemakaman karena belum siuman saat pemakaman akan dilakukan. Cobaan ini terlalu berat baginya. Baru saja ia kehilangan janinnya, sekarang ia harus kehilangan Afnan untuk selama-lamanya. Pria yang selalu memberinya cinta dan kasih sayang. Memanjakan dan memperlakukannya bak seorang putri.

Namun sekarang, hal itu tak akan pernah terjadi lagi.

Nazifa akhirnya siuman. Ia melihat ibunya duduk tertidur di sampingnya. Bapak pun menemani tidur di sofa.

"Bu," panggilnya lemah

Nazifa merasakan kepalanya berdenyut sakit.

Ibunya langsung membuka mata saat mendengar suara putrinya.

"Kamu udah sadar, Zee. Alhamdulillah." Ibunya mengusap-ngusap kepala Nazifa.

Nazifa beranjak dari tempat tidur.

"Mau ke mana, Zee?" Ibunya menahan lengan Nazifa.

"Aku mau liat Mas Afnan," ucapnya kembali menangis.

"Zee ... Afnan sudah dibawa ke pemakaman, Nak. Mungkin sekarang sudah selesai," ucap Ibu lirih.

Nazifa kembali menangis. Ia langsung berlari keluar kamar. Ibunya mengikuti di belakang.

"Zee! Tunggu, Zee!" Ibunya berteriak memanggil.

Bapak terbangun dari tidurnya dan ikut mengejar Nazifa bersama ibu.

Nazifa seolah tak mendengar teriakan ibunya. Ia terus berlari keluar rumah dengan linangan air mata.

Mas Afnan! Mas Afnan! Jangan tinggalin aku! jerit Nazifa dalam hati.

Ia terus berlari keluar komplek menuju ke pemakaman. Tak peduli dengan orang-orang yang menatap heran ke arahnya.

Nazifa tiba di pintu pemakaman dengan nafas tersengal. Ia melangkah perlahan. Kakinya begitu terasa berat melangkah. Dadanya terasa sakit. Nafasnya pun sesak karena isakan tangis.

Terlihat sebagian warga dan tetangga yang mengantar, mulai membubarkan diri dari pemakaman. Hanya tersisa beberapa orang termasuk mama, Andre dan keluarga paman.

Mereka menoleh saat melihat kedatangan Nazifa. Mama berdiri dan memeluknya. Keduanya menangis. Nazifa melepas pelukan mama dan berjongkok di depan makam suaminya itu.

"Mas," ucapnya lirih.

Nazifa tertunduk kemudian memeluk makam Afnan. Tak peduli kerudungnya yang menjadi kotor. Ia menangis pilu. Mama ikut berjongkok kemudian memegang bahu Nazifa dan mengangkatnya.

"Sabar, sayang," ucap Mama dengan isakan.

Nazifa memejamkan mata sambil menangis. Memanjatkan doa untuk suami tercintanya.

"Mas ... maafin aku. Maafin semua kesalahanku padamu," ucap Nazifa lemah.

"Kenapa kamu ninggalin aku secepat ini, Mas. Pernikahan kita baru beberapa bulan. Kenapa Mas Afnan pergi lebih dulu. Mana janjimu, Mas? Mana? Kamu bilang akan terus bersamaku. Kamu bohong, Mas."

Nazifa menangis menutup wajah dengan kedua tangannya.

Mama meraih tubuh Nazifa dan memeluknya.

"Ikhlas, Zee. Kita semua harus ikhlas. Ini sudah ketetapan-Nya. Jodoh, maut dan takdir, semua sudah ditentukan." Mama mencoba memenangkan Nazifa.

"Apa salahku, Ma? Kenapa Allah memberiku cobaan yang begitu berat. Setelah janinku, sekarang Mas Afnan juga pergi. Apa aku tak pantas bahagia? Kenapa tidak mengambil nyawaku sekalian?"

Mama diam tak menjawab. Ia hanya mengeratkan pelukannya. Berharap hal itu bisa mengurangi kesedihan yang dirasakan Nazifa.

"Sher," panggil paman pada Mama.

"Ayo. Udah mendung," ajak paman.

Mama menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Zee ... ayo, sayang. Kita pulang. Sebentar lagi ujan," ajak mama.

Nazifa menggeleng. "Nggak, Ma. Zee mau di sini dulu," tolaknya.

"Tapi, Zee ...." Mama tidak melanjutkan ucapannya saat mendapat kode dari paman untuk membiarkan Zee dulu.

"Mama pulang duluan, Zee. Kamu cepet nyusul, ya."

Nazifa hanya mengangguk pelan.

Mama dan keluarga paman akhirnya pergi meninggalkan Nazifa sendiri di pemakaman. Begitupun dengan Andre. Sosoknya sudah pergi lebih dulu.

Nazifa masih menangis memeluk batu nisan Afnan. Tak peduli dengan hujan yang mulai turun mengguyur tubuhnya. Ia hanya berharap hujan bisa menghilangkan semua rasa sakit di hatinya.

"Mas ... tunggu aku di sana," gumam Nazifa pelan sebelum akhirnya beranjak pergi dari pemakaman.

★★★