Nazifa masih menangis memeluk batu nisan Afnan. Tak peduli dengan hujan yang mulai turun mengguyur tubuhnya. Ia hanya berharap hujan ini bisa menghilangkan semua rasa sakit di hatinya.
"Mas ... tunggu aku di sana," gumam Nazifa pelan sebelum akhirnya beranjak pergi dari pemakaman.
๐ธ๐ธ๐ธ
Nazifa melangkah tak tentu arah di bawah guyuran air hujan yang deras. langit pun begitu mendung. Matahari tak menampakkan dirinya sama sekali. Tertutup oleh gumpalan awan hitam. Seolah ikut merasakan kepedihan yang dirasakan Nazifa.
Bahkan air mata yang mengalir, tak terlihat jelas bercampur dengan air hujan. Hatinya benar-benar pilu. Sungguh ia meratapi nasibnya yang begitu malang. Bagaimana nasib mempermainkan perasaannya. Sebentar merasakan bahagia, lalu kembali dihempaskan ke dalam jurang kesedihan yang teramat menyiksanya.
Langkah kakinya tanpa disadari menuntun Nazifa ke taman. Taman di mana waktu Nazifa tengah hamil, Afnan membawanya menikmati suasana malam berdua. Pertama dan terakhir kalinya Nazifa menggandeng lengan suaminya dengan manja. Duduk berdua menikmati ice cream dengan segala cara yang Afnan lakukan untuk menggodanya.
Namun kini ia sendiri. Duduk hanya seorang diri di bangku itu. Duduk memeluk lutut meratapi nasibnya yang malang.
"Mas Afnan ... Mas Afnan ..." gumamnya seraya menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Bawa aku, Mas!" jeritnya yang tersamarkan suara hujan.
"Bawa aku bersamamu, Mas," ucapnya lagi lirih.
Nazifa menarik nafas dalam-dalam. Mengusap wajahnya lalu beranjak dari bangku. Ia berdiri mematung sesaat. Tatapannya kosong. Tak ada lagi air mata yang mengalir. Kakinya perlahan mulai melangkah. Ia berjalan pelan menyusuri trotoar. Kepalanya terasa berdenyut sakit. Tapi ia tak memperdulikannya. Ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dengan luka di kepalanya. Hati. Hatinya begitu sakit.
Langkah Nazifa tiba-tiba terhenti. Ia menatap lurus ke seberang jalan. Sebuah senyuman terukir tipis di bibirnya. Ia berdiri dalam diam. Tanpa kata, tanpa tangisan. Kakinya mulai kembali melangkah, tapi tidak menuju ke arah rumah. Nazifa sedikit demi sedikit maju ke tengah jalan. Suara klackson dari beberapa pengemudi pun tak ia pedulikan.
Belum sampai tengah jalan, ia kembali berhenti. Matanya memandang ke sebelah kanan. Senyuman kembali terukir saat ia melihat sebuah mobil mendekat dengan kecepatan cukup tinggi. Mobil semakin mendekat, tapi Nazifa tidak memundurkan langkahnya sedikitpun. Ia malah semakin maju ke tengah jalan. Tersenyum sembari memejamkan matanya. Hingga ...
Tiinn! Tiinn! Tiinn!
Seseorang berhasil menarik tubuhnya ke bahu jalan tepat sebelum mobil itu menyambar Nazifa.
"Loe gila? Hah!" bentak Andre.
Ia terlihat basah kuyup karena payungnya spontan dilempar saat akan menolong Nazifa. Ternyata Andre telah mengikuti Nazifa sejak berada di taman. Ia dimintai tolong oleh mama Afnan untuk menjemput Nazifa yang tak kunjung pulang. Namun saat sampai di pemakaman, ia tak menemukannya. Seorang penjaga makam akhirnya memberitahu Andre ke mana arah Nazifa pergi.
"Lepasin," ucap Nazifa datar.
Andre tetap tak melepaskan cengkeramannya.
"Lepas!"
Nazifa mengibaskan tangannya kuat-kuat tapi tetap tak berhasil melepaskan cengkeraman itu. Andre menarik kasar Nazifa menuju mobil.
"Lepas! Mas Afnan nungguin aku! Aku mau ketemu Mas Afnan!"
Nazifa kembali menangis. Ia meronta menolak dibawa Andre. Tapi tenaganya tak mampu melawan tangan kekar Andre. Andre menarik kasar tangan Nazifa ke arah mobilnya lalu memaksanya masuk. Nazifa ingin keluar lagi, tapi pintu mobilnya telah dikunci otomatis. Pada akhirnya, Nazifa hanya bisa duduk pasrah dan menangis.
๐ธ๐ธ๐ธ
Mobil Andre tiba di halaman rumah Afnan. Ia bergegas turun lalu berjalan memutar ke arah pintu sebelahย karena Nazifa tak kunjung membuka pintu mobil.
"Turun!" perintah Andre.
Nazifa bergeming. Tetap menangis.
"Turun atau gue tarik paksa!" ancamnya.
Nazifa menoleh menatap Andre sekilas. Menyedihkan sekali penampilannya. Mata sembab dan layu ditambah pakaian yang basah kuyup.
Tidakkah pria ini punya belas kasihan sedikitpun padaku? batinnya.
Nazifa sungguh tak ingin pulang ke rumah. Berada di sini hanya akan membuat hatinya bertambah sakit. Teringat dengan semua kenangannya bersama Afnan. Tapi mau tak mau ia akhirnya turun karena Andre tak berhenti menatapnya dengan tajam.
"Zee!" Ibunya yang sedari tadi menunggu dengan cemas, langsung menghampiri Nazifa yang muncul di pintu.
"Ya Allah ... kamu basah kuyup begini, Nak. Nanti kamu sakit," ucap ibu khawatir.
Nazifa berdiri menatap sekeliling. Air mata kembali luruh membasahi pipi. Bayangan Afnan muncul di seluruh ruangan. Bayangan saat Afnan menggodanya. Menggelitik juga menggendongnya. Bayangan itu kini sedang tertawa ke arah Nazifa. Memanggilnya untuk mendekat.
"Mas Afnan," gumamnya pelan menatap lurus ke arah bayangan.
"Zee ... ini ibu, sayang," ibu menangis memeluk putrinya.
"Dia tadi hampir aja nabrakin diri, Tante," ungkap Andre.
Ibu Nazifa terkejut, termasuk mama dan bapak yang baru muncul.
"Apa benar yang dikatakannya itu, Zee?" tanya bapak tak percaya.
Nazifa tak menjawab. Ia terus menunduk dengan deraian air mata.
"Kamu tau kan, bunuh diri itu dosa? Apa kami tidak pernah membekalimu agama? Kenapa kamu bisa sampai berniat melakukan itu? Hah!" cecar bapak.
"Aku ... aku nggak bisa, Pak. Aku nggak bisa hidup tanpa Mas Afnan. Mas Afnan segalanya bagiku. Zee nggak sanggup, Pak. Lebih baik Zee mati," jawab Nazifa sesenggukan.
Plakk!
Tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi Nazifa.
Nazifa terkejut menatap ibunya. Begitupun dengan semua yang ada di situ. Mama bahkan menangis menutup mulut melihat itu.
"Ibu nggak nyangka pikiranmu sedangkal itu, Zee. Apa kamu mau melawan takdir? Apa kamu lupa, siapa yang menentukan mati hidupnya seseorang? Hah!" bentak ibunya.
Nazifa menangis sembari memegang pipinya.
"Bu ... sabar, Bu," mohon bapak.
"Lalu bagaimana dengan kami, Nak? Apa kamu tidak peduli dengan kami? Orangtuamu sendiri? Apa kamu tidak peduli juga dengan mama mertuamu yang begitu menyayangimu? Apa kami semua tidak ada artinya sama sekali bagimu?" Ibu menangis tersedu.
"Maaf," ucap Nazifa pelan tertunduk.
Ibu memeluk putrinya erat. Sungguh dalam hatinya ia sangat menyesal karena telah menamparnya. Tak pernah sekalipun ia bersikap kasar pada Nazifa. Tapi kali ini ia terpaksa melakukannya. Ia ingin putrinya menyadari kesalahannya itu.
"Maafin ibu, Zee. Maafin ibu. Ibu sangat menyayangimu," ucap ibu seraya menangis tersedu.
Nazifa melepas pelukan ibunya.
"Zee mau ke kamar dulu, Bu," ucapnya pelan seraya berlalu meninggalkan mereka semua yang menatapnya.
"Zee," panggil ibu lirih hendak mengikutinya tapi bapak menahannya.
"Biarkan Zee sendiri dulu, Bu," saran bapak.
"Maafin ibu, Pak. Tadi ibu reflek nampar Zee," sesal ibunya menangis.
"Sudah, Bu. Nggak apa-apa. Bapak ngerti," jawab bapak.
"Tante, saya pamit pulang dulu kalau gitu," ucap Bara menghampiri mama lalu mencium tangannya.
"Iya. Makasih ya, Ndre. Maaf tante ngerepotin. Kamu nggak mau ganti baju dulu aja di kamar Bara?" usul mama.
"Nggak usah, Tante. Andre langsung pulang aja," tolaknya.
"Mari Pak, Bu. Saya pamit dulu." Andre mencium tangan kedua Orangtua Nazifa.
"Makasih banyak, ya. Nak Andre udah mau nyelametin anak ibu," ucap ibunya Nazifa tulus.
"Iya. Nggak masalah. Assalamu'alaikum," sapa Andre kemudian berjalan keluar.
Senyuman miring terukir di sudut bibir Andre saat ia pergi.
๐ธ๐ธ๐ธ
Nazifa membuka pintu kamar perlahan. Ia tertegun saat pintu telah terbuka. Bayangan orang terkasihnya kembali hadir di depan mata. Afnan yang sedang menyisir rambut Nazifa, menggendong Nazifa, menggodanya, bercanda dan mengejarnya, juga bayangan saat Afnan memberikan suprise terindah untuknya. Nazifa menangis dengan menutup mulutnya.
Perlahan ia masuk lalu menutup pintu kamarnya. Tubuhnya merosot, terduduk di lantai bersandar pintu. Tangannya memegang dada yang berkali-kali lipat jauh lebih terasa menyakitkan dibandingkan luka di kepalanya.
"Mas ..." gumamnya dengan suara bergetar.
Ia perlahan bangkit ke arah lemari untuk mengambil baju ganti. Hatinya kembali berdenyut saat melihat baju-baju Afnan yang tertata rapi. Tangannya terulur mengambil kemeja kesayangan Afnan. Kemeja yang dipilihkan Nazifa saat mereka pergi membelinya.
Kini pandangan matanya beralih menatap baju koko yang tergantung di samping lemari. Baju koko terakhir yang dipakai untuk shalat subuh sebelum berangkat ke Tasik. Nazifa mencium baju koko itu. Masih tersisa aroma tubuh dan parfum Afnan. Tangisnya pecah. Aroma tubuh Afnan semakin menyiksa batinnya. Takkan pernah lagi ia bisa mencium aroma tubuh yang sudah menjadi candu baginya itu.
"Mas! Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku menjalani hidup tanpa kehadiranmu di sisiku?"
Nazifa menarik nafas dalam-dalam. Meletakkan koko itu di kasur lalu berlalu masuk ke kamar mandi. Tak lama ia keluar lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Dipeluk dan diciumnya bantal terakhir Afnan. Sama. Masih tersisa aroma tubuh dan shampoo di sana. Rasanya baru kemarin Afnan masih bercanda dan menggodanya di kamar ini. Kini Nazifa harus mulai membiasakan diri tidur sendiri, tanpa candaan dan godaanย yang selalu berhasil membuat dirinya tersipu malu.
Nazifa terus menangis seraya memeluk bantal dan baju koko suaminya itu. Sampai akhirnya ia tertidur karena kelelahan.
๐ธ๐ธ๐ธ
Pukul 11 siang, mama sudah selesai bersiap-siap hendak pergi ke rumah sakit.
"Bu Sherli mau ke mana?" tanya ibu Nazifa saat melihat mama Afnan berjalan mendekat.
"Saya mau lihat kondisi Bara dulu di rumah sakit, Bu," jawabnya ramah.
"Biar saya temani, ya," usul ibu Nazifa.
"Tidak usah, Bu. Kasian Zee. Takutnya ada apa-apa lagi. Saya pergi dulu, ya." Mama memeluk ibu Nazifa.
"Hati-hati, Bu."
Mama mengangguk dan tersenyum lalu berlalu pergi. Setengah jam kemudian, mama telah tiba di rumah sakit. Ia bergegas masuk ke dalam ruangan di mana Bara dirawat.
"Bara," mama menggenggam tangannya seraya duduk di kursi samping tempat tidur.
"Mama kangen, Nak. Kakakmu udah pergi ninggalin kita. Kamu jangan lakuin hal yang sama. Mama kesepian." Mama menangis mencium tangan anaknya.
"Cepet bangun ya, Nak. Nazifa benar-benar terpukul atas kepergian kakakmu. Mama takut dia akan berbuat nekad lagi. Bantu mama untuk menghiburnya."
Mama menyandarkan kepala di tepi ranjang. Menangis dengan menggenggam tangan anaknya. Tak lama berselang, Bara terlihat membuka matanya perlahan.
"Ma," panggil Bara dengan suara pelan.
"Bara. Alhamdulillah, ya Allah. Akhirnya kamu udah siuman, sayang," ucap mama penuh haru dan langsung mencium kedua pipi putranya itu.
"Sshh ...." Bara meringis memegang kepalanya.
"Kenapa, Nak?" tanya mama khawatir.
"Kepala Bara sakit, Ma."
"Sebentar ya, sayang. Mama panggil dokter dulu."
Mama bergegas keluar ruangan dan tak lama ia kembali bersama seorang dokter dan perawat.
"Selamat siang. Bagaimana keadaannya? Apa yang dirasakan?" tanya dokter seraya memeriksa keadaan Bara.
"Kepala anak saya sakit, Dokter," jawab mama.
"Anak ibu mengalami gegar otak ringan. Hal itu masih dalam tahap wajar. Kami sudah melakukan pengobatan terbaik untuk menanganinya. Tapi anak ibu harus banyak istirahat dulu. Tidak boleh lelah secara fisik ataupun mental," jelas dokter.
"Kapan anak saya sudah boleh dibawa pulang, Dok?" tanya mama lagi.
"Untuk saat ini sebaiknya dirawat di sini dulu, ya. Besok kita liat perkembangannya. Kalau semakin membaik, baru diperbolehkan pulang."
"Baik, Dokter. Saya mengerti," jawab mama.
"Kalau begitu, saya permisi dulu. Masih harus mengontrol pasien di ruangan lain," pamit dokter.
"Iya, Dok. Silahkan."
Setelah kepergian dokter, mama kembali duduk menemani Bara.
"Ma," panggil Bara.
"Kenapa, Nak?"
"Bang Afnan gimana keadaannya? Apa Bang Afnan juga belum siuman?"
Mama tak langsung menjawabnya. Ia kembali menangis mendengar pertanyaan dari Bara.
"Ma ... kenapa, Ma?" tanya Bara bingung.
"Kakakmu ...." Ucapan mama terhenti tak sanggup melanjutkan.
"Ma," desak Bara.
Mama menghela nafas panjang untuk menetralkan rasa sesak di dadanya.
"Afnan ... Afnan udah pergi, Nak. Afnan pergi ninggalin kita untuk selamanya," jawab mama sesenggukan.
Mata Bara membulat sempurna mendengar jawaban mamanya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nggak. Nggak mungkin. Mama lagi bercanda, kan?" Bara tak percaya.
"Mama nggak bohong, Bara. Mama serius. Kakakmu ... kakakmu meninggal saat kecelakaan kemarin."
Bara mengigit bibir bawahnya yang bergetar menahan tangis. Tapi percuma. Air matanya tetap mengalir membasahi pipi.
"Innalillahi," ucapnya lirih.
"Bang Afnan ..." gumamnya.
"Bahkan aku belum mengucapkan kata perpisahan ataupun meminta maaf padanya, Ma. Bara banyak dosa sama Bang Afnan," sesal Bara sambil menangis.
"Berdoalah, Bara. Kita doain semoga kakakmu tenang di sana. Makanya kamu cepet pulih, ya. Mama kesepian. Mama takut. Mama nggak sanggup kalau harus kehilangan untuk kedua kalinya."
Mama beranjak dari kursi lalu memeluk Bara yang tengah menangis.
"Kita harus kuat, Nak. Harus tabah. Semua udah takdir."
๐ธ๐ธ๐ธ
Ibunya Nazifa membawakan makan siang untuk anaknya ke kamar.
"Zee," panggil ibunya dengan mengetuk pintu.
Namun karena tak kunjung mendapatkan jawaban, akhirnya ibu langsung masuk membuka pintu.
"Zee," panggilnya lagi.
Nazifa masih tertidur dengan posisi meringkuk memeluk baju koko dan bantal. Ibunya menghampiri lalu menyimpan nampan di nakas.
"Zee ... bangun dulu, Nak." Ibunya menggoyang bahu Nazifa pelan.
Nazifa menggeliat, mencoba membuka matanya yang terasa lengket.
"Bu," ucapnya pelan.
"Kamu udah shalat dzuhur belum? Shalat dulu, ya."
Nazifa mengangguk kemudian turun dari kasur dan berjalan pelan ke kamar mandi. Setelah selesai menunaikan ibadah shalat dzuhur, ia kembali naik ke kasur. Duduk bersandar kepala ranjang.
"Makan dulu ya, Zee. Dari pagi kamu kan belum makan." Ibu mengambil piring makan siang yang diletakkan diย nakas.
"Zee nggak laper, Bu. Zee nggak mau makan," tolaknya.
"Nggak boleh nolak. Nanti kamu sakit. Mana habis kehujanan, kan?"
"Zee nggak laper, Bu."
"Apa kamu mau ibu marah lagi? Hm?"
Nazifa menghela nafas berat lalu mengambil piring makanan di tangan ibunya. Baru beberapa suap, Nazifa kembali terisak.
"Kenapa, Zee? Makanannya nggak enak?"
"Mas Afnan ... dulu Mas Afnan yang sering menyuapiku. Sekarang ...." Nazifa tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Ia menangis tersedu. Terbayang Afnan yang dengan sabar menyuapinya di saat sakit. Kini hal itu tak akan pernah terjadi lagi. Ibunya beringsut maju, lalu memeluk Nazifa.
"Sabar ya, sayang. Sabar," ucap ibu pelan ikut menitikkan air mata.
โ โ โ