Afnan membawa Nazifa pergi jalan-jalan ke taman di dekat komplek. Nazifa tersenyum lebar sembari terus menggandeng lengan Afnan dengan erat. Nazifa sangat suka dengan moment seperti ini. Berjalan bergandengan tanpa menggunakan kendaraan, baginya hal ini terasa lebih romantis.
"Kamu kenapa senyum-senyum terus?"
"Aku seneng, Mas. Aku suka, Mas ngajak aku jalan-jalan begini." Nazifa tersenyum.
"Kenapa?" tanya Afnan. "Emang kamu nggak capek?"
Nazifa menggelengkan kepala.
"Nggak, Mas. Aku suka. Lebih romantis," ucap Nazifa tersipu malu.
Afnan mengulum senyum menatap Nazifa yang bergelayut manja di lengannya. Tak lama mereka tiba di taman. Lumayan ramai. Banyak pasangan dan anak-anak muda yang sedang berkumpul dengan teman-temannya.
"Kamu tunggu di sini dulu, ya." Afnan meminta Nazifa duduk di bangku taman.
"Mas mau ke mana?"
"Beli minum dulu," jawab Afnan. "Tuh, ada tukang ice cream." Afnan menunjuk ke arah penjual. "Kamu mau?"
"Mau," jawab Nazifa cepat.
"Tunggu, ya." Afnan menepuk-nepuk pelan kepala Nazifa.
Afnan tersenyum lalu berjalan ke arah penjual. Tak lama ia kembali membawa 2 Ice Cream Vanilla dan sebotol air mineral.
"Nih." Afnan menyodorkan ice cream itu.
"Makasih, Mas."
"Kamu capek?"
Nazifa menggelang. "Nggak, Mas. Aku udah biasa kok, jalan kaki. Aku dulu malahan suka bantuin Bapak sama Ibu ke sawah."
"Oh, ya?"
"He-ehm. Aku kuat lho, angkat padi 10kg di kepala." Nazifa tersenyum lebar.
"Hebat. Kamu saingannya abang Hulk dong," godanya.
Nazifa tertawa. "Jahat. Aku kan nggak ijo kayak Hulk." Nazifa mencubit gemas pinggang Afnan.
"Nanti kalau capek, bilang ya. Biar aku gendong," bisik Afnan.
Nazifa tersipu malu membayangkan Afnan menggendongnya dari taman sampai ke rumah.
"Zee," panggil Afnan.
"Hhm?"
"Maaf, ya. Aku belum sempet ajak kamu bulan madu." Afnan merasa bersalah.
"Tiap hari juga Mas Afnan ngajakin bulan madu." Nazifa menahan tawa.
Afnan ikut tertawa saat mendengar jawaban Nazifa.
"Tapi mau, kan?" goda Afnan.
"Mas, ih." Nazifa tersipu malu. Terlihat dari pipinya yang merona.
"Kamu mau bulan madu ke mana? Paris? Maldive atau ke mana?"
"Nggak usah, Mas. Lagian, kita nggak bulan madu jauh-jauh juga alhamdulillah udah dapet hasilnya. Nih." Nazifa tersenyum mengusap perutnya.
Afnan tersenyum lebar, merangkul bahu Nazifa.
"Ya nggak apa-apa, Zee. Sekalian kita jalan-jalan. Tapi nanti, kalau kamu udah lewatin trimester kehamilan. Ya?"
"Aku terserah Mas aja," jawab Nazifa.
Tangan Afnan terulur mengelap ice cream di sudut bibir Nazifa dengan ibu jarinya.
"Pulang, yuk. Tapi mampir ke minimarket di seberang jalan dulu. Ya?"
"Iya, Mas."
"Minum dulu." Afnan memberikan botol air mineral.
Nazifa menerimanya dan langsung menghabiskan setengah dari botol air minum itu.
"Ayo," ajak Afnan setelah Nazifa selesai minum.
🌸🌸🌸
Andre masuk ke dalam rumah mengekori Bara. Sesekali ia terlihat menggaruk kepalanya yang tak gatal, seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Assalamu'alaikum," ucap Bara.
"Wa'alaikumsalam," jawab Mama. "Eh, Andre. Kamu udah pulang dari Bali?" tanya Mama saat melihat Andre mendekat bersama Bara.
"Iya, Tante." Andre mencium tangan Mamanya Bara. "Kemaren sore baru pulang, tapi baru sempet maen ke sini. Soalnya tadi pagi harus ada yang diurus dulu di kantor," jawab Andre.
"Pantes akhir-akhir ini Tante jarang liat kamu. Pas Tante tanya Bara, katanya kamu lagi ke Bali."
"Iya, Tante."
"Ma, Bara ke kamar dulu, ya," ucap Bara.
"Andre juga ikut Bara dulu ya, Tante."
"Iya. Nanti turun pas makan malem, ya. Masa Mama makan sendirian," ujar Mama.
"Iya, Ma," jawab Bara seraya pergi menuju kamar diikuti Andre.
Andre langsung menghempaskan tubuhnya di kasur, saat sudah berada di dalam kamar Bara.
"Gue ke kamar mandi dulu, ya," ucap Bara setelah meletakkan ponselnya di nakas.
"Eh, loe masih ada perasaan nggak sama Kakak Ipar loe?" tanya Andre tiba-tiba.
"Kenapa emang?" Bara menoleh menghentikan langkahnya.
"Elah! Jawab aja, sih!"
"Nggak," jawab Bara seraya kembali melangkah ke kamar mandi.
Andre langsung terbangun dari posisi berbaringnya.
"Seriusan loe?" tanya Andre tak percaya.
Bara tak menjawabnya. Ia langsung masuk ke kamar mandi.
Andre tertegun sesaat. Matanya melirik ke arah ponsel Bara yang diletakkan di nakas. Ia berdiri, kemudian mengambilnya.
"Ck, bilangnya udah nggak ada perasaan. Tapi walpapernya masih foto tuh bocah," gumam Andre.
Iseng-iseng, Andre mengarahkan jarinya di ponsel Bara ke file galeri. Ia tersenyum miring melihat sesuatu di galeri ponsel Bara.
"Hadeh! Pake nyuri-nyuri fotonya segala lagi," gumamnya lagi.
Andre terdiam sejenak menatap layar ponsel Bara.
Ah, sial! batinnya.
Ia kembali meletakkan ponsel Bara lalu menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke kasur.
🌸🌸🌸
Afnan membeli beberapa keperluan yang ia butuhkan di minimarket. Tak lupa ia juga membeli susu ibu hamil untuk Nazifa serta beberapa cemilan yang disukai istrinya itu.
"Kamu ada yang mau dibeli lagi nggak, sayang?" tanya Afnan.
"Nggak, Mas." Nazifa menggeleng.
"Kamu kalau mau beli apa-apa, langsung bilang sama aku, ya," ucap Afnan seraya berjalan ke arah kasir.
"Iya, Mas."
"Jangan bilang atau minta ke yang lain, lho."
"Nggak, Mas. Zee nggak pernah minta sama siapa-siapa," jawab Nazifa.
"Pinter." Afnan menepuk-nepuk pelan kepala Nazifa.
Antrian di kasir tidak begitu panjang, sehingga tak memakan waktu terlalu lama. Mereka berdua berjalan keluar dengan senyum bahagia di wajah masing-masing. Afnan terlihat gelisah saat keluar halaman minimarket. Bahkan ia menggigit bibir bawahnya. Nazifa yang melihat ekspresi Afnan seperti itu, menjadi bingung.
"Kenapa, Mas?" tanya Nazifa khawatir.
"Aku kebelet," jawab Afnan pelan.
"Ya Allah, Mas. Kirain kenapa. Ya udah, numpang ke toilet minimarket aja dulu," saran Nazifa.
"Iya. Tolong pegangin dulu belanjaannya, sayang." Afnan memberikan 2 kantong belanjaan pada Nazifa dan langsung berlari kembali ke minimarket.
Nazifa hendak mengikuti Afnan kembali ke dalam, namun langkahnya terhenti saat mendengar penjual cilok lewat. Ia berbalik hendak membelinya.
"Bang, tunggu!" Teriak Nazifa pada penjual cilok di seberang jalan.
Kendaraan yang berlalu lalang di sana cukup ramai. Nazifa harus menunggu lebih lama sebelum menyeberang jalan.
Dari kejauhan, seseorang yang sangat tidak menyukai Nazifa tengah mengendarai motor ke arahnya. Senyum sinis terukir di bibirnya.
"Kebetulan ketemu dia di sini. Terimalah pembalasanku!" gumamnya penuh kebencian.
Ia langsung menambah kecepatan motor yang dikendarainya. Nazifa masih berdiri di pinggir jalan. Ia belum berani untuk menyeberangi jalan karena ramai kendaraan bermotor. Matanya sibuk melirik ke kiri dan kanan. Saat kondisi jalan dirasa tidak begitu ramai, barulah ia berani menyeberang.
Afnan yang baru keluar dari minimarket, bermaksud menghentikan Nazifa agar tidak menyeberang dulu. Tapi terlambat! Saat Nazifa baru melangkah hendak meyeberang jalan, tiba-tiba sebuah motor dengan kecepatan cukup tinggi, menyerempetnya. Nazifa yang tak menduga akan hal itu, langsung jatuh tersungkur dengan posisi perut membentur trotoar. Kantong belanja jatuh berserakan di sekelilingnya.
"Zee!" Afnan berlari dengan cepat ke arahnya.
Jantung Afnan berdetak cepat tak karuan melihat hal itu.
"Sakit, Mas. Sakit banget." Nazifa meringis kesakitan memegangi perutnya.
Afnan panik seketika. Ia mengambil ponselnya dan langsung menghubungi nomer ponsel Bara. Bara yang sedang makan malam bersama Mamanya dan Andre, langsung terkejut saat menerima telfon dari Kakaknya. Nafasnya memburu. Tanpa berpikir, ia langsung berlari cepat ke arah kamar mengambil kunci mobil. Mama dan Andre bingung dan ikut panik melihat Bara seperti itu.
"Loe kenapa, Bar?" tanya Andre dengan berteriak saat melihat Bara turun dan berlari ke arah luar.
Bara tak menghiraukan Mamanya dan Andre. Ia melajukan mobilnya seperti orang kesetanan. Afnan membantu Nazifa berdiri.
"Astaghfirullah!" Pekik Afnan saat melihat darah mengalir di kaki Nazifa.
"Sakit, Mas," ucap Nazifa lemah sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Afnan menggendong Nazifa ke bahu jalan. Ia mendudukkan Nazifa kemudian mencoba memberhentikan kendaraan yang lewat untuk meminta tolong. Namun tak ada satupun kendaraan yang merespon. Keringat dingin mulai mengucur di kening Afnan. Tak lama Bara pun sampai. Ia segera turun dari mobil dan berlari ke arah Nazifa.
"Ya Allah! Nazi kenapa, Bang?"
"Nggak usah banyak nanya dulu! Ayo cepetan, kita ke Rumah Sakit!" teriak Afnan panik seraya membopong Nazifa masuk ke dalam mobil.
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju Rumah Sakit terdekat. Klackson pun ia bunyikan terus menerus.
"Zee ... Bangun, Zee," panggil Afnan lirih.
Tak lama, mereka pun akhirnya tiba di Rumah Sakit.
"Tolong! Tolong istri saya!" Afnan berlari ke IGD menggendong Nazifa.
Petugas di Rumah Sakit itu dengan sigap menangani Nazifa.
Afnan menunggu di luar dengan gelisah. Ia berjalan mondar-mandir tak tenang. Wajahnya pucat dengan keringat dingin mengucur. Bara tak kalah panik dan khawatir. Ia duduk di bangku dengan kedua tangan mengepal memukul-mukul paha. Bara berdiri mendekati Afnan.
"Tenang dulu, Bang. Kalau Bang Afnan mondar mandir begitu terus, aku juga jadi tambah panik." Bara mencoba menenangkan Afnan.
"Lebih baik kita duduk tenang dulu dan berdo'a," ucap Bara lagi.
Afnan menoleh ke arah Bara. Menghela nafas berat lalu menghembuskannya dengan kasar. Ia mengikuti saran Bara. Duduk meski hati gelisah.
Dokter pun keluar dari ruangan pemeriksaan.
"Dengan suami pasien?" tanya Dokter.
"Saya, Dok." Afnan berdiri mendekat ke Dokter diikuti Bara.
"Mohon maaf, Pak. Istri anda mengalami keguguran," ucap Dokter dengan berat hati.
Afnan dan Bara sangat terkejut. Afnan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tubuhnya terasa lemas tak bertulang. Ia terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang.
"Bang." Bara menahan tubuh Afnan.
"Istri anda mengalami Abortus Komplit sehingga kami tidak perlu melakukan tindakan Kuret. Nanti bisa dibantu dengan obat. Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak," ucap Dokter.
"Iya, Dok. Terima kasih." Bara yang menjawab karena Afnan masih tertegun.
Dokter itu tersenyum ramah lalu kembali masuk ke ruangannya.
"Bang, duduklah dulu." Bara membawa Afnan agar duduk di bangku.
Afnan duduk dalam diam. Ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia tertunduk, menopang kepalanya dengan kedua tangan. Air mata yang sedari tadi ditahannya, akhirnya jatuh membanjiri pipi. Bara memeluk Kakaknya, mencoba untuk menenangkan.
"Sabar, Bang," ucap Bara lirih. Air mata tak terasa menetes di sudut mata Bara.
Afnan menangis dipelukan adiknya. Baru saja ia bahagia saat mendengar kabar akan segera menjadi seorang ayah. Kini impian itu harus tertunda lagi.
"Bang Afan harus tegar, Bang. Kasian Nazi kalau Bang Afnan kayak gini. Nazi butuh support dari kita semua," jelas Bara melepas pelukannya.
Afnan menghapus jejak air matanya.
"Kamu benar, Bara. Makasih," ucap Afnan lirih.
Tak lama, Mama tiba di Rumah Sakit ditemani Andre setelah sebelumnya mendapat kabar dari Bara. Keduanya berlari mendekati Afnan dan Bara yang sedang duduk menunggu.
"Gimana keadaan Zee, Nak?" tanya Mama cemas.
Bara berdiri memeluk Mamanya.
"Mama yang sabar, ya."
"Kenapa, Bara?" Mamanya semakin khawatir.
Bara melepas pelukannya. "Nazi ... Nazi keguguran, Ma," ucap Bara hati-hati.
"Innalillahi," ucap Mamanya terkejut.
Mama langsung menoleh ke arah Afnan yang duduk menunduk. Menghampirinya perlahan.
"Apa yang terjadi, Nak? Kenapa Zee sampe keguguran?" tanya Mama sedih.
Afnan menggelengkan kepala.
"Aku tadi ninggalin Zee sebentar buat ke toilet. Pas balik, aku liat dia mau nyebrang. Afnan udah teriak mau nyegah, tapi telat. Keburu ada motor ngebut yang nyerempet Zee," tutur Afnan dengan sedih.
Mama menghela nafas panjang.
"Sabar ya, sayang. Ikhlaskan. Jangan salahin siapa-siapa. Ini semua nggak akan pernah terjadi tanpa kehendak-Nya. Yang penting, kita semua harus support Zee. Dia butuh kita. Dia yang paling terpukul," ucap Mama.
"Bener kata Mama, Bang. Kalau Nazi sampe liat Bang Afnan down kayak gini, dia pasti akan semakin terpukul dan menyalahkan diri sendiri," tambah Bara.
Afnan mengangguk. "Iya, Bar. Aku ngerti. Makasih."
Nazifa akhirnya dipindahkan dari IGD ke ruang rawat. Dokter menyarankan agar Nazifa dirawat sehari terlebih dahulu, baru diperbolehkan pulang.
"Ma. Mama pulang aja. Biar Afnan di sini jagain Zee," ucap Afnan.
"Tapi, Mama mau liat Zee sadar dulu," bantah Mama.
"Mama nggak usah khawatir. Zee cuma butuh istirahat. Besok juga pulang. Ya?" bujuk Afnan.
"Ayo, Ma. Bara anterin pulang," ajak Bara.
Dengan berat hati, akhirnya Mama menuruti kata-kata anaknya.
"Ndre, tolong temenin Bang Afnan dulu, ya. Tar gue balik lagi," ucap Bara pada Andre.
"Sip. Loe tenang aja. Gue tungguin di sini," jawab Andre.
"Bang, aku anterin Mama dulu, ya," pamit Bara pada Afnan.
"Iya. Hati-hati."
Setelah Bara dan Mama pergi, Afnan masuk ke dalam ruang rawat kemudian duduk di kursi samping Nazifa. Ia menggenggam erat lalu mencium tangan Nazifa lembut.
"Aku sayang kamu, Zee. Kamu harus kuat dan sabar," ucapnya pelan.
Andre terlihat pergi dari sana sebentar, lalu kembali dan masuk ke dalam ruangan dengan membawa 2 cangkir kopi.
"Kopi, Bang." Andre menyodorkan secangkir kopi pada Afnan.
"Makasih, Ndre." Afnan menerima kopi itu.
"Andre tunggu Bara di depan, ya," ucap Andre.
Afnan mengangguk.
Matanya kembali menatap Nazifa. Membelai lembut kepalanya, kemudian mengecup lama keningnya. Seorang suster masuk ke dalam ruang rawat inap Nazifa.
"Maaf, Pak. Silahkan ikut saya sebentar ke Bagian Administrasi. Ada yang perlu ditandatangani," ucap Suster.
"Baik, Sus." Afnan beranjak dari kursi kemudian berjalan mengikuti suster itu.
Andre sedang duduk menikmati secangkir kopi di tangannya saat Afnan keluar ruangan. Ia menoleh sebentar sewaktu melihat Afnan berlalu pergi dari ruangan Nazifa. Andre berdiri lalu berjalan ke arah pintu kamar rawat inap itu. Tangannya terulur memegang handle pintu, kemudian memutarnya perlahan.
★★★