Seminggu telah berlalu dari saat Nazifa mengalami keguguran. Senyuman ceria pun mulai kembali terlihat di wajahnya. Ia menyadari bahwa semua hal yang ada padanya hanyalah titipan Allah SWT. Tak baik jika ia terus berlarut-larut dalam kesedihan.
Bara berjalan menuruni tangga menuju ke meja makan. Matanya celingukan melihat sana-sini.
"Ma, Bang Afnan sama Nazifa ke mana? Kok dari aku pulang kerja nggak keliatan? Tadi juga Bang Afnan di kantornya cuma setengah hari," ujar Bara.
"Kakak kamu lagi bawa Zee jalan-jalan. Biar nggak suntuk di rumah terus," jawab Mama sambil menyendokkan nasi.
Bara hanya manggut-manggut.
"Oh iya, Ma. Kemaren Bang Afnan ngajarin aku semua tugas-tugas dia. Katanya biar nanti bisa ambil alih kalau Bang Afnan lagi nggak bisa hadir. Pusing ya ternyata." Bara menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya bagus itu, Bar. Memang harus begitu. Bener kata Kakakmu, kamu juga harus mulai belajar semuanya. Biar beban Kakakmu itu nggak terlalu berat."
"Iya."
Saat keduanya sedang menikmati makan malam, Andre datang.
"Assalamu'alaikum," ucap Andre.
Bara dan mamanya serempak menoleh ke arah suara.
"Sini, Ndre. Makan malam bareng," ajak Mama saat melihat Andre mendekat.
"Kebetulan banget ni, Tante. Andre lagi laper." Andre nyengir seraya mengusap perutnya.
"Duduk, Ndre. Duduk," ucap Mama.
"Makasih, Tante."
"Tumben loe ngucap salam? Biasanya maen nyelonong aja," ledek Bara.
"Kenapa? Nggak boleh?" sahut Andre.
"Baguslah, Bara. Temennya berubah lebih baik itu didukung, bukan diledek," ujar Mama.
"Dengerin, tuh." Andre melirik ke arah Bara.
"Darimana aja loe? Udah hampir seminggu baru keliatan batang idungnya," ucap Bara.
"Biasalah. Ada kerjaan yang harus gue urus dulu," jawab Andre sembari mulai makan.
"Nomer loe ganti? Gue telfon nggak bisa-bisa."
"Nggak. Kemaren-kemaren emang gue matiin dulu hape gue," jawab Andre.
"Kenapa?" tanya Bara heran.
"Biar konsentrasi sama kerjaan," jawab Andre sambil terus makan.
"Si Christine udah nggak kerja di tempat loe?" tanya Bara tiba-tiba.
Tangan Andre yang hendak menyuapkan makanan itu langsung terhenti saat Bara menanyakan Christine.
"Iya. Kok loe tau?" Andre kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Seminggu yang lalu dia datang ke sini nemuin Nazi," terang Bara.
"Uhuk! Uhuk!" Andre langsung tersedak.
"Kenapa loe? Minum, minum!" Bara menyodorkan segelas air minum.
Andre langsung meneguk habis air dalam gelas itu. Ia melirik Bara yang sedang menikmati makannya.
"Si Christine beneran ke sini?" tanya Andre memastikan.
"Iya."
"Ngapain? Dia ... nggak ngomong yang aneh-aneh kan?" tanya Andre hati-hati.
"Nggak. Dia cuma minta maaf sama Nazi."
Andre menghela nafas lega. "Dia ... nggak ada nyinggung soal gue, kan?" tanyanya lagi.
Bara menoleh ke Andre. "Maksudnya?"
"Ya nggak. Kali aja dia jelek-jelekin perusahaan gue. Gitu maksudnya," Andre kembali melanjutkan makannya.
"Nggak. Cuma minta maaf aja," jawab Bara.
๐ธ๐ธ๐ธ
Afnan dan Nazifa tiba di rumah pukul 10 malam. Keduanya tak melihat Bara ataupun Mama di ruang keluarga. Mereka telah masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Namun masih terdengar sayup suara Bara yang tengah berbincang di kamarnya.
Afnan keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambut dengan handuk kecilnya. Ia tersenyum mendekati Nazifa yang sedang duduk menyisir rambut.
"Sini, biar kubantu." Afnan mengambil sisir dari tangan Nazifa.
Afnan menyisir pelan rambut Nazifa sambil sesekali mencium helaian rambut istrinya itu.
"Aku mau bikin teh hangat dulu Mas. Mas mau juga?" tanya Nazifa saat Afnan selesai menyisir rambutnya.
"Boleh, deh." Afnan tersenyum. "Tapi jangan terlalu manis, ya," sambungnya.
"Kenapa?" tanya Nazifa.
"Manisnya udah ada di kamu," godanya.
Nazifa tertawa. Ia kembali memasang kerudung instannya dan berjalan keluar menuju dapur. Lampu di dalam rumah sudah padam sebagian. Ia tak menyadari ada seseorang yang tengah mengamatinya dari balik pintu saat Nazifa berjalan ke dapur.
Selesai membuat teh hangat, Nazifa mencoba melihat isi dalam kulkas. Mengambil satu buah mangga lalu mengupasnya. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh seseorang yang melingkarkan tangan ke tubuh Nazifa dari belakang. Sampai-sampai, pisau yang dipegangnya pun terjatuh. Nazifa seketika langsung menoleh.
"Ya Allah, Mas ... ngagetin aku aja." Nazifa menghela nafas lega.
Afnan hanya terkekeh melihat Nazifa terkejut.
"Kok nggak tunggu di kamar aja, Mas?"
"Mau nemenin istriku tercinta," bisiknya lembut lalu mengecup pipi Nazifa.
"Mas, nanti ada yang ke sini." Nazifa mencoba melepaskan tangan Afnan yang melingkar erat di pinggangnya.
Tapi Afnan tak memperdulikan ucapan Nazifa. Ia malah memutar tubuh Nazifa menghadapnya seraya terus tersenyum menggoda. Satu tangan melingkar erat di pinggang, satu lagi menyentuh dagu. Ia mengangkat wajah Nazifa agar menatapnya. Mata keduanya saling beradu.
"Zee," panggilnya lembut.
"Maafin aku, ya. Maafin aku yang belum bisa sepenuhnya membahagiakan kamu. Maafin aku juga belum bisa menjadi suami yang baik untukmu. Maaf atas semua kesalahan dan kekuranganku, Zee," ucapnya tulus.
"Sstt ...." Nazifa meletakkan telunjuknya di bibir Afnan kemudian menenggelamkan kepalanya di dada Afnan.
"Mas nggak boleh ngomong kayak gitu. Bagiku, Mas Afnan adalah sosok suami yang sempurna. Mas begitu mencintaiku. Selalu menjadi penguat disaat aku terjatuh dan putus asa. Mas Afnan sosok suami yang baik dan bertanggung jawab. Aku bersyukur karena memiliki suami sepertimu, Mas."
Afnan tersenyum bahagia mendengar perkataan Nazifa sambil memejamkan mata. Ia pun semakin erat memeluk istrinya.
"Terima kasih," ucap Afnan pelan setengah berbisik.
Afnan melepas pelukannya, mengangkat tubuh Nazifa kemudian mendudukannya di meja dapur. Nazifa sedikit terkejut dengan tindakannya. Afnan menatap Nazifa dalam-dalam dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Jelas hal itu membuat Nazifa gugup. Jantung pun berdegup kencang.
Mas Afnan hobi banget bikin jantungku lari marathon, batin Nazifa.
"Ayo, Mas. Diminum dulu teh hangatnya. Nanti keburu dingin."
Nazifa hendak turun namun tangan Afnan menahannya. Mendekatkan wajah dan langsung mengecup lembut bibir ranum itu.
Nazifa mematung seketika.
Seseorang yang memang sedari tadi mengamati Nazifa, menyaksikan hal itu dari kejauhan. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Menghembuskan nafas dengan kasar lalu melangkah mundur dan pergi.
๐ธ๐ธ๐ธ
Bara tengah mengerjakan tugas kantor saat Afnan datang ke ruangannya.
"Bang Afnan," sapanya saat Afnan mendekat.
"Pulang yuk, Bar. Kita makan siang di rumah," ajak Afnan.
"Bang Afnan aja, deh. Aku masih banyak kerjaan yang belum selesai," tolaknya halus.
"Ayolah. Zee udah masak banyak tuh. Dia minta aku ngajak kamu juga," ucap Afnan.
Bara terdiam sejenak lalu mengangguk.
"Ya udah, ayo." Bara berdiri dari kursi. "Tapi aku pake motor, ya."
"Jangan." Afnan menyambar kunci motor dari tangan Bara.
"Sekali-kali kita pulang bareng naik mobil," ucap Afnan seraya pergi keluar ruangan.
Bara tak membantah. Ia mengikuti langkah kakaknya di belakang. Selama perjalanan ke rumah, Bara sibuk bermain game di ponselnya. Afnan sesekali melirik ke arahnya.
"Sejak kapan kamu suka main game begitu?" tanya Afnan.
"Sejak sekarang," jawabnya asal dengan tetap fokus ke ponsel.
"Bara," panggil Afnan.
"Hm?"
"Maaf," ucap Afnan.
"Maaf untuk apa?" Bara melirik sekilas kakaknya.
"Untuk semuanya. Zee beruntung punya teman sekaligus adik ipar sebaik kamu," puji Afnan.
Bara tak menanggapi ucapan Afnan. Ia menghentikan permainan game di ponselnya lalu menatap lurus ke depan.
Setibanya di rumah, terlihat Nazifa dan Mama sedang menata makan siang di meja makan. Melihat Afnan datang, Nazifa menghampiri lalu mencium tangannya.
"Kirain Mas nggak jadi makan siang di sini," ucap Nazifa.
"Jadi dong, sayang." Afnan mencubit gemas pipinya.
"Ih ... sakit," rengek Nazifa mengusap pipinya.
Afnan tertawa lalu merangkulnya.
"Ayo, makan. Aku udah laper," ajak Afnan.
Nazifa tersenyum dan mengangguk. Ia melayani makan siang Afnan sambil terus tersenyum.
"Jangan senyum mulu dong, Nazi. Tar Bang Afnan jadi diabetes," goda Bara.
Mama dan Afnan tertawa mendengar celotehan Bara. Sedangkan Nazifa, ia langsung mengerucutkan bibirnya.
"Biarin atuh ih! Kamu sirik aja. Dasar polem," protes Nazifa.
Afnan dan Mama langsung menghentikan tawanya. Keduanya melirik ke arah Bara. Bara yang menyadari hal itu, langsung merasa canggung.
"Polem apa, Zee?" tanya Afnan pura-pura tak tau.
"Poni leโ" perkataan Nazifa terpotong oleh Bara.
"Ayo makan, makan. Udah laper, nih," ucap Bara mengalihkan pembicaraan.
"Oh ya, sayang. Kita ke Tasik, yuk! Kamu kangen sama bapak-ibu, kan?" tanya Afnan.
Nazifa langsung menoleh. Matanya berbinar-binar menatap Afnan.
"Serius, Mas?" tanya Nazifa bahagia.
"Serius dong, sayang." Afnan mengedipkan sebelah matanya.
"Makasih, Mas. Tapi ... gimana sama pekerjaan Mas di kantor?" tanya Nazifa ragu.
"Nggak usah mikirin itu. Nanti aku minta Pak Fikri buat ngehandle dulu," jawab Afnan.
Nazifa tersenyum dan mengangguk. Ia benar-benar senang bisa pulang kampung dan bertemu kedua Orangtuanya.
"Gimana kalau kita semua pergi ke sana, Ma? Sekalian liburan," usul Afnan.
"Mama nggak bisa, Nak. Ada janji sama temen Mama. Nggak enak kalau dibatalin. Kalian bertiga aja, ya," jawab Mama.
Afnan menghela nafas pelan.
"Kamu ikut kan, Bara?" tanya Afnan pada Bara yang sedang asyik makan.
"Emang boleh?" tanya Bara pura-pura cuek.
"Bolehlah. Kamu juga belum pernah ke sana, kan?"
"Ayo. Emang kapan?" tanya Bara antusias.
"Besok aja, ya. Gimana?" tanya Afnan.
"Setuju!" ucap Nazifa dan Bara bersamaan.
Mama dan Afnan tertawa bersama.
"Semangat amat ya, kalian berdua." Mama menggeleng.
Nazifa tersipu malu. Tapi memang benar adanya. Dia sangat senang akan bertemu dengan orangtuanya. Hal itu tentu membuatnya begitu bersemangat dan tak sabar ingin secepatnya hari esok.
โ โ โ