Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 34 - Part 34-Sebuah Peringatan

Chapter 34 - Part 34-Sebuah Peringatan

Andre berjalan mendekat ke arah kamar rawat Nazifa saat melihat Afnan pergi. Tangannya terulur memegang handle pintu lalu membukanya perlahan.

Ceklek! Pintu terbuka.

"Ndre!" panggil Bara yang muncul dari kejauhan.

Andre terkejut dan langsung menutup kembali pintu kamar itu. Bara berlari menghampirinya.

"Ada apa, Ndre?" tanya Bara saat melihat Andre di depan pintu. "Nazi nggak apa-apa, kan?" tanya Bara khawatir.

"Ah, nggak. Nggak ada apa-apa. Tadi ini ... pintunya kebuka, jadi gue tutup aja."

Bara mengintip ke dalam kamar rawat dari jendela.

"Bang Afnannya ke mana?" tanya Bara saat mendapati Nazifa sendiri.

"Nggak tau. Tadi pergi sama perawat."

"Thanks, ya. Loe pulang aja, istirahat. Besok loe harus ke kantor, kan?"

"He-ehm. Ya udah. Gue cabut dulu kalau gitu. Jangan lupa kabarin gue ya, kalau perlu apa-apa." Andre menepuk bahu Bara.

"Ok. Makasih ya, Ndre," jawab Bara.

Andre tersenyum lalu melangkah pergi meninggalkan Bara yang mengambil posisi duduk di bangku. Sesekali Andre masih menoleh ke belakang hingga akhirnya ia benar-benar pergi dari Rumah Sakit itu.

Setelah mengurus semua keperluan bagian Administrasi, Afnan segera kembali ke ruangan Nazifa. Ia melihat Bara tengah duduk bersandar di sana.

"Kamu udah lama, Bara?" tanya Afnan saat sudah berada di depannya.

"Nggak, Bang. Baru aja sampe."

"Andre?"

"Oh, Andre udah aku suruh pulang, Bang. Barusan aja," jawab Bara.

Afnan masuk ke dalam ruangan diikuti Bara. Ia kembali duduk di kursi samping Nazifa lalu menggenggam lembut tangannya. Bara berjalan mendekat menghampiri Afnan.

"Bang Afnan pasti belum makan, ya?" tanya Bara.

Afnan menggelengkan kepala. "Nanti aja, Bar. Aku lagi nggak selera."

"Jangan begitu, Bang. Nanti kalau Bang Afnan ikutan sakit, gimana sama Nazi?"

Afnan menghela nafas panjang. Ia benar-benar tak selera untuk makan. Tapi apa yang diucapkan Bara juga ada benarnya. Ia harus bisa menjaga kesehatannya demi Nazifa juga.

"Aku beliin makan dulu, ya. Bang Afnan mau makan apa?" tanya Bara.

"Apa aja, Bar."

"Ok. Aku beli makan dulu kalau gitu." Bara melangkah keluar.

"Tunggu, Bar!" panggil Afnan.

Bara menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Afnan.

"Tolong sekalian beliin buat Zee, ya. Dia juga belum makan," pinta Afnan.

Bara tersenyum dan mengangguk lalu kembali melangkahkan kaki keluar kamar. Afnan menatap Nazifa dalam-dalam, air mata tak terasa kembali menetes di sudut mata. Dengan cepat ia menghapusnya. Afnan merasa sesak. Ia Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan kasar.

Afnan menyandarkan kepalanya ke tepi ranjang. Tangannya tak lepas menggenggam erat jari jemari Nazifa.

Saat baru beberapa detik Afnan memejamkan mata, ia merasakan tangan seseorang sedang membelai lembut kepalanya. Afnan langsung terbangun. Ia melihat Nazifa tengah tersenyum memandangnya.

"Mas," panggil Nazifa lemah.

"Alhamdulillah, Zee. Kamu udah sadar, sayang." Afnan menciumi tangan Nazifa. Ia mengangkat tubuhnya mendekat lalu mengecup kening istrinya itu.

"Mas," panggil Zee.

"Kenapa, sayang?" tanya Afnan lembut.

"Gimana kata, Dokter? Semuanya ... baik-baik aja, kan?" tanya Nazifa cemas dengan tangan mengusap perut.

Afnan duduk mematung. Bersusah payah ia menelan ludah. Lidahnya benar-benar terasa kelu. Bagaimana caranya ia mengatakan hal ini?

"Mas," panggil Nazifa lagi.

Namun Afnan belum merespon. Ia masih terdiam. Bingung untuk berkata. Nazifa semakin merasa curiga kalau ada yang tidak baik-baik saja.

"Mas ... kenapa nggak jawab pertanyaan aku? Semuanya baik-baik aja kan, Mas?" Nazifa mulai cemas.

Afnan semakin mengeratkan genggamannya.

"Kamu ..." Afnan menjeda kalimatnya. "Kamu keguguran, Zee," ungkapnya dengan berat hati.

Nazifa membelalak tak percaya. Ia menggelengkan kepala perlahan.

"Nggak, Mas. Mas ... jangan bercanda kayak gitu. A–aku nggak suka. Itu nggak lucu," ucap Nazifa dengan perasaan takut sekaligus tak percaya.

"Maafin aku, sayang. Tapi ... aku nggak bercanda," jawab Afnan pelan dengan perasaan sedih.

Seketika Nazifa seperti kehilangan tenaga. Tubuhnya terasa lemas. Air mata mulai menetes di pipinya.

"Innalilahi," ucap Nazifa pelan sekali dengan suara bergetar.

Tangis Nazifa pecah. Ia menangis sesenggukan. Afnan berdiri dari kursi lalu memeluknya.

"Sabar, sayang. Kamu harus kuat," ucap Afnan menenangkan.

Nazifa benar-benar terpukul. Ia benar-benar merasa bersalah dan menyesal. Air matanya mengalir deras di pipi.

"Maafin aku, Mas. A-aku nggak bisa menjaga calon bayi kita," ucap Nazifa lirih disela tangisannya.

"Sstt ..." Afnan melepas pelukannya. Menghapus lembut air mata Nazifa yang terus mengalir.

"Ini bukan salah kamu, sayang. Ini kecelakaan. Jangan menyalahkan diri sendiri."

"Tapi Mas, aku ..." Afnan menempelkan telunjuknya di bibir Nazifa.

"Jangan bicara lagi. Bagiku yang penting kamu selamat. Aku udah sangat bersyukur," ucap Afnan dengan mata berembun.

"Ini semua sudah takdir, Zee. Kita harus ikhlas," tambahnya lagi.

Nazifa masih tidak bisa berhenti menangis. Ia benar-benar terpukul. Dadanya terasa sakit karena isakan tangis. Nafasnya sesak. Melihat Nazifa yang begitu terpukul, Afnan tak kuasa lagi untuk menahan air mata. Ia pun menangis seraya kembali memeluk istrinya.

"Sabar, sayang. Sabar," ucap Afnan lagi.

Bara yang ternyata sudah datang dari tadi, berdiri di balik tembok dengan menundukan wajah. Ia menitikkan air mata. Bara ikut merasakan rasa sakit itu. Tak bisa ia menahan diri untuk tak menangis ketika melihat Nazifa yang begitu terpukul. Begitupun saat melihat Afnan. Keduanya adalah orang yang sangat ia sayangi. Bara segera menghapus air mata dengan lengannya sebelum masuk ke dalam ruangan itu.

"Assalamu'alaikum," ucap Bara.

"Wa'alaikumsalam," jawab keduanya lirih.

Mata keduanya terlihat merah karena menangis. Pipi pun masih basah karena air mata.

"Makan dulu, Bang." Bara memberikan 2 bungkus makanan pada Afnan.

" Makasih, Bar." Afnan menerima bungkusan itu. "Makan dulu ya, sayang. Kamu belum makan dari tadi," ucap Afnan.

Nazifa menggelengkan kepala pelan. "Aku nggak laper, Mas."

"Aku udah beliin kamu Ayam kremes. Enak banget itu. Suer!" sahut Bara.

Afnan menoleh, menatap Bara sekilas  kemudian tersenyum simpul.

"Ayo, Zee. Ini makanan kesukaan kamu, lho. Dimakan, ya?" bujuk Afnan.

Nazifa masih menolak untuk makan. Afnan menghela nafas pelan.

"Ya udah. Aku juga nggak makan kalau gitu. Biar kita berdua sama-sama sakit."

Afnan berpura-pura marah. Berdiri dari kursi dan melangkah hendak keluar kamar.

"Mas," panggil Nazifa dengan suara lirih.

Afnan menghentikan langkahnya.

"Aku mau makan," ucap Nazifa pelan.

Afnan tersenyum saat mendengar ucapan Nazifa. Ia kembali duduk dan membuka satu bungkus makanan yang dibelikan Bara. Nazifa mulai membuka mulut menerima suapan dari Afnan.

"Bara hebat ya, Zee. Bisa tau makanan kesukaan kamu." Afnan tersenyum menatap Bara kemudian kembali menyuapi Nazifa.

"Cuma kebetulan aja kok, Bang," kilah Bara seraya berjalan ke arah sofa.

"Kamu pulang aja, Bar. Istirahat," saran Afnan.

"Nanti kalau Bang Afnan perlu apa-apa, gimana?"

"Nggak apa-apa, Bar. Nggak usah khawatir. Nanti pas besok Zee mau pulang, aku telfon Pak Supri buat jemput," ujar Afnan.

"Ya udah kalau maunya begitu. Bara pulang dulu, ya."

"Iya. Hati-hati." Afnan tersenyum.

"Nazi, aku pulang, ya," pamit Bara pada Nazifa.

Nazifa mengangguk dan tersenyum.

Bara akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu. Ia melangkahkan kaki dengan perlahan menyusuri koridor rumah sakit. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Pandangannya sesekali mendongak ke atas lalu menghela nafas panjang.

🌸🌸🌸

"Halo?"

[...]

"Di mana kamu? Bisa kita ketemu?"

[...]

"Aku butuh bantuan darimu."

[...]

"Soal cctv. Nanti aku jelasin detailnya pas ketemuan. Kapan kamu punya waktu? Sekarang bisa?"

[...]

"Nggak bisa. Aku mau secepetnya ada hasil."

[...]

"Ok. Aku ke sana sekarang. Tunggulah."

🌸🌸🌸

Keesokan harinya ...

Nazifa akhirnya sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Tapi Dokter menyarankan agar ia beristirahat selama 3-4 hari sebelum mulai beraktivitas lagi. Mama datang menjemput ke rumah sakit ditemani Pak Supri. Sesampainya di rumah, Afnan langsung menggendong Nazifa menuju ke kamar. Membaringkan Nazifa di tempat tidur.

"Kamu istirahat dulu ya, sayang. Aku mau turun ke bawah dulu." Afnan mencium kening Nazifa.

Nazifa mengangguk pelan.

Afnan turun ke dapur untuk mengambil minum. Ia melihat Mama sedang membantu mbok menyiapkan makan siang.

"Kamu udah ngabarin Orangtuanya Zee belum, Nak?" tanya Mama saat Afnan datang mendekat.

"Udah, Ma. Semalem Afnan langsung telfon mereka."

"Terus?"

"Ibu langsung kaget banget pas denger. Tapi minta maaf belum bisa jenguk Zee ke sini. Soalnya, Bapak juga lagi sakit," tutur Afnan.

"Kamu udah bilang sama Zee, kalau Ayahnya sakit?"

"Belum, Ma. Ibu ngelarang Afnan buat ngasih tau Zee. Biar Zee tenang dulu katanya."

"Iya, sih. Bener juga. Kamu mau sekalian bawa makan siang Zee ke kamar?"

"Iya, Ma."

Nazifa terlihat sedang menangis di tempat tidur sembari memegangi perutnya. Ia masih tak percaya kalau dirinya telah mengalami keguguran. Saat mendengar pintu kamar dibuka, dengan cepat ia menghapus jejak air mata di pipinya. Ia tak ingin membuat suaminya khawatir.

"Zee ... kamu makan dulu, ya."

"Belum laper, Mas. Nanti aja," jawab Nazifa.

Afnan meletakkan piring itu di nakas kemudian naik ke kasur. Ia ikut membaringkan tubuh di samping Nazifa yang sedang membelakanginya. Afnan melingkarkan tangannya di perut Nazifa, mencium kepalanya lalu berbisik,

"Aku cinta kamu, Zee. Sangat! Kamu segalanya bagiku. Tolong jangan putus asa. InsyaAllah masih banyak kesempatan bagi kita untuk memiliki bayi lagi. Asal kita mau bersabar."

Nazifa kembali menangis. Terdengar isakan tangis yang semakin jelas juga bahunya yang sedikit bergoyang. Afnan membalikkan tubuh Nazifa menghadapnya. Membawanya ke dalam pelukan dada bidangnya.

"Menangislah, Zee. Menangislah. Tapi setelah itu ... aku ingin senyum indahmu kembali menghiasi wajahmu," ucap Afnan tulus dengan mata berembun menahan air mata.

Nazifa semakin sesenggukan. Ia menangis dalam dekapan hangat suaminya yang tak henti membelai kepalanya. Tangannya melingkar memeluk Afnan dengan erat.

Maafkan aku, Mas. Izinkan aku menangis untuk sekarang. Aku janji, setelah ini aku akan berusaha kembali tersenyum, batin Nazifa.

🌸🌸🌸

Saat Mama sedang menikmati makan siangnya sendiri, terdengar suara ketukan di pintu. Mbok bergegas membukanya lalu kembali menghampiri Mamanya Afnan.

"Bu, ada yang nyariin Neng Zifa," ucap Mbok Tini.

"Siapa, Mbok?" tanya Mama.

"Mbok nggak kenal, Bu. Kayaknya baru liat."

"Ya udah. Biar saya yang nemuin dia." Mama beranjak dari kursi hendak melihat siapa tamu tersebut.

Saat Mama sampai di pintu, terlihat seorang perempuan tengah berdiri membelakangi dengan membawa sebuah koper di tangannya.

"Siapa, ya?" tanya Mama.

Perempuan itu menoleh ke arah Mama dan mencoba tersenyum.

"Siang, Tante. Saya ... saya ke sini mau ketemu sama Nazifa tante. Nazifa ada?" tanyanya hati-hati.

"Kamu siapa?" tanya Mama penasaran.

"Saya Christine, Tante."

Mama langsung memasang raut wajah tak suka saat mendengar nama itu. Ia ingat akan cerita Bara bahwa wanita ini yang hampir merusak rumah tangga anak sulungnya.

"Ada perlu apa kamu ke sini? Ngapain nyariin Nazifa segala? Mau ganggu rumah tangga anak saya? Hah!" Mama melipat kedua tangannya di dada seraya menatap tajam ke arah Christine.

Christine terlihat sedikit ketakuta saat  melihat raut wajah Mamanya Afnan yang tak bersahabat.

"Bu–bukan, Tante. Saya ... saya datang ke sini mau meminta maaf," ucap Christine gelagapan.

Mama terdiam sejenak memperhatikan Christine. Ia masih ragu.

Benarkah wanita ini hanya ingin meminta maaf? Atau malah ingin cari gara-gara? batin Mama.

"Saya janji, Tante. Saya nggak akan lama. Tolong izinkan saya bertemu dengan Nazifa." Christine memohon.

Mama akhirnya mengizinkan Christine masuk setelah melihat ada keseriusan di wajahnya.

"Masuklah," perintah Mama.

Mama meminta Christine untuk duduk menunggu di ruang tamu lalu berjalan menaiki tangga untuk memanggil Nazifa.

"Afnan," panggil Mama sembari mengetuk pintu.

"Iya, Ma." Afnan turun dari kasur untuk membuka pintu. "Ada apa, Ma?"

"Apa Zee tidur?" tanya Mama.

"Nggak. Kenapa?"

"Ada Christine di bawah. Dia ngotot mau ketemu Nazifa," jelas Mama.

Afnan mengerutkan kening mendengar ucapan Mamanya.

"Christine? Untuk apa dia ke sini? Ngapain dia nyariin Zee?" tanya Afnan bingung.

"Dia bilang, katanya mau minta maaf sama Zee."

"Suruh pulang aja, Ma. Afnan nggak mau dia nambahin beban pikiran Zee." Afnan sedikit emosi.

"Tapi ..."

"Ada apa, Ma?" pertanyaan Nazifa memotong ucapan Mama. Ia berjalan perlahan mendekati pintu.

"Di bawah ada Christine. Katanya mau ketemu kamu," ucap Mama.

Nazifa sedikit terkejut saat mendengar Christine datang untuk menemuinya.

"Udah, sayang. Nggak usah kamu temuin. Biar aku suruh dia pulang," ucap Afnan.

"Mas." Tangan Nazifa menahan Afnan yang hendak berjalan menemui Christine.

"Biar aku temui dia," ucap Nazifa.

"Tapi, Zee ..." Ucapan Afnan terpotong Nazifa.

"Nggak apa-apa, Mas. Kan aku nggak sendiri. Ada Mama sama Mas Afnan yang nemenin aku." Nazifa tersenyum.

"Ya udah, kalau kamu maunya begitu." Afnan pasrah.

Afnan merangkul bahu Nazifa. Memapahnya hingga ke ruang tamu. Terlihat Christine tengah duduk dengan gelisah. Terlebih lagi Mama yang sudah turun duluan, sedang duduk menemani dengan tatapan tak bersahabat.

"Nazifa." Christine berdiri saat melihat Nazifa mendekat.

"Duduklah," ucap Afnan pada Christine.

"Ada perlu apa kamu ingin menemui istriku?" tanya Afnan.

Christine terlihat tegang. Bersusah payah ia menelan ludah.

"Aku ... aku minta maaf, Nazifa," ucapnya lirih.

"Minta maaf untuk apa?" tanya Nazifa datar.

"Sebenarnya ... aku ... aku yang nyerempet kamu kemarin malam," ucap Christine terbata karena ketakutan.

Sontak mereka semua terkejut saat mendengar pengakuan Christine. Dada Nazifa terlihat kembang kempis menahan emosi. Matanya bahkan kembali meneteskan air mata. Tak percaya jika Christine akan tega melakukan hal sejahat itu padanya,  hingga membuat dirinya harus mengalami keguguran.

Plaakk!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Christine. Mama menampar Christine. Ia berdiri dengan tatapan penuh emosi ke arah Christine.

"Dasar kurang ajar! Wanita nggak tau diri! Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan itu? Hah! Kamu udah bikin Nazifa keguguran!" teriak Mama penuh emosi.

"Ma–maafkan saya, Tante. Waktu itu saya nggak tau kalau Nazifa lagi hamil," ucap Christine dengan menyesal.

"Apa kamu bilang? Maksudnya kamu akan dengan senang hati menabraknya jika Nazifa tidak hamil! begitu?"

"Bu–bukan itu maksud saya, Tante." Christine mulai menangis.

Mama hendak menampar untuk kedua kalinya tapi Afnan berdiri menahannya.

"Udah, Ma. Mama harus tenang." Afnan mencoba menenangkan mamanya yang emosi.

"Gimana Mama bisa tenang, Afnan? Dia udah bikin Mama kehilangan calon cucu Mama! Harusnya wanita kurang ajar ini dimasukkan ke penjara!"

"Ma ... tenang dulu, Ma," ucap Afnan lagi. "Duduklah."

"Apa kamu sudah puas dengan semua ulahmu itu Christine?" tanya Afnan dengan menatap sinis. "Pergilah sekarang juga!"

Nafas Mama masih memburu memahan emosi. Tapi ia menuruti kata-kata Afnan untuk mencoba tenang dan duduk.

Christine mendekat ke arah Nazifa yang sedang menangis. Ia menggenggam erat tangan Nazifa yang gemetar.

"Maafkan aku, Nazifa. Aku mohon ..." ucap Christine memelas.

"Setelah ini aku nggak akan pernah muncul di kehidupan kalian lagi. Aku ... aku akan kembali ke kampung halamanku," ucap Christine sungguh-sungguh dengan isakan.

"Tolong, Nazifa. Aku ingin mendapatkan maaf darimu sebelum aku pergi. Aku menyesal Nazifa. Kumohon maafkan aku." Christine sesenggukan.

Nazifa menatap Christine dengan tatapan buram karena air mata. Nazifa menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba menghilangkan rasa sesak di dadanya.

"Aku memaafkanmu," ucap Nazifa pelan disela isakan tangisnya.

Christine menatap Nazifa yang tertunduk dengan berurai air mata.

"Kamu ... kamu serius udah maafin aku?" tanya Christine memastikan.

"Jangan dimaafin, Zee! Harusnya wanita seperti dia itu dimasukkin ke dalem penjara!" ucap Mama masih emosi.

"Ma ...." Afnan mengusap-usap lengan Mamanya agar tenang.

Nazifa mengusap kasar air matanya, menatap tajam pada Christine.

"Aku maafin kamu. Tapi tolong ... jangan pernah muncul lagi di kehidupan kami," ucap Nazifa tegas.

Christine tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Aku janji. Aku nggak akan pernah muncul lagi."

Christine memeluk Nazifa erat. Nazifa diam tak membalas pelukannya.

"Maafin aku dan ... terima kasih," ucap Christine sungguh-sungguh.

Christine melepas pelukannya. Ia berdiri kemudian meraih kopernya. Ia mulai berjalan meninggalkan rumah ini. Saat ia mencapai pintu, tiba-tiba Christine menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menoleh ke arah Nazifa yang masih menunduk.

"Apa lagi?" ketus Afnan.

"Nazifa," panggilnya.

Nazifa mengangkat wajahnya menatap Christine.

"Berhati-hatilah," ucap Christine dengan raut wajah serius.

Nazifa mengerutkan kening tak mengerti maksud ucapannya.

"Apa maksudmu?" tanya Afnan.

Christine menoleh pada Afnan.

"Jaga Nazifa baik-baik," ucapnya penuh arti kemudian melangkah cepat meninggalkan rumah itu.

★★★