Hari demi hari terus berlalu bagai roda yang terus berputar. Terasa cepat sekali, membuat Nazifa mulai terbiasa dengan gejala awal kehamilannya. Pusing sudah jarang terasa karena obat bantuan dari Dokter. Tapi untuk mual, sesekali ia masih merasakannya. Usia kandungannya sekarang sudah menginjak 6 minggu.
"Mas, aku makan malem di sini aja, ya," pinta Nazifa.
"Kenapa?"
"Aku takut mual lagi, Mas. Kasian Mama sama Bara. Nanti jadi nggak selera makan."
"Ya udah. nanti aku bawain ke sini, ya." Afnan mengusap puncak kepala Nazifa.
Nazifa tersenyum dan mengangguk.
"Zee mana? Nggak makan?" tanya Mama saat melihat Afnan datang ke meja makan sendirian.
"Zee mau makan di kamar, Ma. Katanya nggak enak sama Mama dan Bara. Takut nanti selera makannya jadi ilang gara-gara Nazifa yang mual," jelas Afnan.
"Apa Dokter nggak ngasih obat mualnya, Bang?" tanya Bara.
"Ada kok. Alhamdulillah udah nggak begitu parah mualnya. Cuma sesekali aja," jawab Afnan sambil menyendokan nasi dan lauk serta sayurnya ke piring.
"Kamu nggak makan di sini dulu?" tanya Mama.
"Nanti aja, Ma. Kalau Zee udah makan, baru aku makan," jawab Afnan.
"Ecieee ... Yang sayang sama istri," goda Bara sambil terkekeh.
Afnan yang gemas langsung mengacak-ngacak poni adiknya itu.
"Ah, gitu! Mama sama Bang Afnan sama aja. Maennya poni," ucap Bara cemberut seraya merapikan kembali poninya.
Mamanya hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Rasain," ledek Afnan lalu pergi meningalkan Bara yang cemberut.
Setelah Afnan pergi, Bara kembali makan dalam diam.
"Bara ... Kamu nggak apa-apa, sayang?" tanya Mama saat melihat perubahan ekspresi anaknya.
"Nggak apa-apa, Ma." Bara tersenyum.
"Andre kok jarang keliatan lagi, Bar? Biasanya kan dia ngintilin kamu terus."
"Andre lagi ke Bali, Ma. Ada proyek buat buka cabang baru perusahaan Papanya di sana," jawab Bara.
"Oh, pantesan. Oh iya, Bar. Gimana soal Christine? Mama khawatir dia berbuat yang tidak-tidak. Apalagi sekarang Zee lagi hamil."
"Nggak usah khawatir, Ma. Bang Afnan udah ngurus semuanya kok. Christine udah nggak jadi Sekretaris di perusahaan Andre. Jadi nggak bakal dateng ke kantor kita lagi. Dia dipindah ke bagian staff," jelas Bara.
"Kok bisa?"
Bara mengedikkan bahu. "Bara nggak tau soal itu. Bang afnan sendiri yang langsung bikin kesepakatan sama Papanya Andre."
"Baguslah. Setidaknya, lebih baik mencegah sebelum terjadi sesuatu," jawab Mama.
🌸🌸🌸
Afnan masuk ke kamar saat Nazifa baru saja selesai berbicara di telfon.
"Habis telfon siapa, Zee?" tanya Afnan mendekat.
"Ibu, Mas."
Afnan mengambil posisi duduk bersila di depan Nazifa.
"Mas ... Aku kangen Ibu sama Bapak," ucap Nazifa lirih. "Aku pengen ketemu mereka, Mas," rengeknya.
Afnan menghela nafas pelan, meletakkan piring di sampingnya. Tangannya menggenggam lembut jari jemari Nazifa.
"Sayang ... Nanti kita ke sananya kalau kamu udah lewatin trimester pertama kehamilan, ya. Kan kamu denger sendiri kata Dokter. Kamu nggak boleh capek," tutur Afnan.
"Tapi aku kangen Orangtuaku, Mas," ucap Nazifa lirih.
"Aku janji. Nanti kita pasti ke sana. Tapi kamu sabar dulu, ya," bujuk Afnan.
Nazifa menghela nafas, menganggukan kepala pelan.
"Sekarang kamu makan dulu. Habis itu minum obat." Afnan mengambil kembali piring yang diletakkan di sampingnya.
"Aku makan sendiri aja, Mas." Nazifa hendak mengambil piring di tangan Afnan.
"Eits!" Afnan menjauhkan piringnya. "Nggak, Zee. Biar aku yang suapin," ucap Afnan.
Nazifa tersenyum. Ia membuka mulut menerima suapan dari Afnan. Namun baru beberapa suap, lagi-lagi Nazifa merasa mual dan langsung berlari ke kamar mandi, memuntahkan semuanya. Afnan segera meletakan piring dan cepat-cepat menyusulnya.
"Jangan lari begitu, Zee. Bahaya. Kalau kepeleset gimana?" Afnan mengusap punggung Nazifa. Menyelipkan rambutnya ke telinga.
"Nggak tahan, Mas," jawabnya lemah.
"Iya, sayang. Tapi jangan lari. Bahaya."
Afnan mengusap keringat di kening Nazifa. Merangkul bahunya, membawa kembali ke kasur.
"Makan lagi, ya?" Afnan menyodorkan kembali sendok berisi nasi.
Nazifa menggeleng lemah. "Takut keluar lagi, Mas. Mual."
"Iya, Zee. Tapi tetep harus makan. Tadi kan keluar semua. Kasian perutnya kosong. Apa kamu nggak kasian sama janin yang ada di perutmu? Ayo."
Nazifa akhirnya kembali membuka mulut, menerima suapan dari Afnan.
"Pelan-pelan aja," ucap Afnan lembut. Tangannya terulur menyentuh sudut bibir Nazifa, mengambil sebutir nasi dari sana.
"Mas Afnan udah makan belum? Pasti belum, kan?" tanya Nazifa.
"Nanti aja. Kalau kamu udah selesai makan." Afnan menepuk lembut kepala Nazifa.
Nazifa mengambil piring dari tangan Afnan. "Aku suapin ya, Mas?"
Afnan tersenyum dan membuka mulutnya, menerima suapan dari Nazifa.
🌸🌸🌸
Afnan harus kembali berangkat ke kantor karena ada meeting penting. Walaupun dalam hati, ia merasa khawatir dengan keadaan Nazifa.
"Kalau ada apa-apa, langsung telfon aku, ya," pesan Afnan lalu mengecup kening Nazifa.
"Iya, Mas." Nazifa mencium tangan Afnan.
"Jangan lupa, ya. Sama pesen aku tadi." Afnan kembali mengingatkan.
"Telfon aku juga boleh, Nazi. Pasti pangeran berkuda bulukmu ini langsung dateng," sahut Bara yang muncul dari belakang Nazifa.
"Apaan, sih?" ketus Afnan.
Bara terbahak melihat ekspresi Kakaknya, lalu pergi mengambil motor di parkiran. Nazifa pun ikut tertawa karena tingkah Bara yang selalu menggoda Afnan.
"Hati-hati, Mas."
"Iya. Aku berangkat dulu, ya. Kamu jangan capek-capek." Afnan mengusap puncak kepala Nazifa lalu pergi ke arah mobil yang sudah disiapkan Pak Supri.
"Bara!" Seru Nazifa saat melihatnya keluar dari garasi menaiki motor.
Bara menghentikan motornya dan menoleh ke arah Nazifa yang berdiri di depan pintu.
"Hati-hati!" Seru Nazifa.
Bara mengangguk lalu melambaikan tangannya sebelum melajukan motor meninggalkan rumah.
Seharian di rumah tidak mengerjakan apa-apa, membuat Nazifa merasa bosan. Mama melarangnya untuk melakukan apapun yang bisa membuatnya lelah. Akhirnya, Nazifa hanya menghabiskan waktunya untuk mengobrol dengan kedua Orantuanya di telfon. Mama keluar dari kamar lalu menghampiri Nazifa.
"Zee. Mama ada urusan sebentar. Kamu nggak apa-apa kan, kalau Mama tinggal?" tanya Mama yang sudah terlihat rapi.
"Iya, Ma. Nggak apa-apa."
"Kalau ada apa-apa, langsung telfon Mama atau Afnan, ya?"
"Iya, Ma." Nazifa mencium tangan Mama.
"Inget! Nggak usah bantuin Mbok di dapur dulu, ya. Duduk anteng aja di sini. Ok?"
Nazifa tersenyum menganggukan kepala.
"Assalamu'alaikum," ucap Mama seraya berlalu pergi.
"Wa'alaikumsalam."
Sekitar jam tiga sore, Bara pulang ke rumah. Ia terkejut saat melihat Nazifa sedang menangis di ruang keluarga sendirian. Cepat-cepat ia menghampiri.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab Nazifa di sela isakan tangisnya.
"Kamu kenapa?" tanya Bara saat sudah mendekat ke arahnya.
Nazifa tak menjawab. Hanya jari telunjuknya yang diarahkan ke Televisi di depannya. Mata Bara mengikuti ke arah telunjuk Nazifa mengarah. Ia langsung tertawa saat menyadari kenapa Nazifa menangis.
"Ya ampun, Nazi!" Bara menepuk jidatnya. "Kamu bikin aku kaget aja. Kirain kenapa. Taunya cuma nangisin drama," ucap Bara langsung mengambil posisi duduk di sofa sebelah Nazifa.
"Sedih tau, Bara. Aku sampe nyesek." Nazifa mengusap jejak air matanya di pipi.
"Kamu nih, ya. Dari dulu kalau nangisin drama suka berlebihan. Sampe pada bengkak begitu mata." Bara terkekeh.
"Ya mau gimana? Orang sedih banget ceritanya."
"Kok kamu sendirian? Mama ke mana?" tanya Bara.
"Tadi Mama pergi keluar. Katanya ada urusan."
"Ooh," jawab Bara singkat.
"Kamu kok udah pulang?" tanya Nazifa heran.
"Aku tadi di kantor setengah hari. Habis itu ke kampus, terus langsung pulang ke sini. Males ke kantor lagi," jawab Bara.
"Ooh." Nazifa kembali fokus ke televisi di depannya.
Bara pergi ke dapur mengambil minum lalu kembali duduk.
"Sst! Nazi!" panggilnya.
"Hhm," gumam Nazifa tetap fokus menonton drama.
"Mau bakso nggak?" tanya Bara.
Nazifa yang sedang fokus ke televisi, langsung menoleh ke arah Bara dengan mata berbinar.
"Mau!" jawab Nazifa dengan semangat.
"Ok. Aku beliin dulu, ya." Bara berdiri dari sofa.
"Eh, tunggu. Aku mie ayam aja, Bar. Ya?" pinta Nazifa.
"Siap Nyonya," jawab Bara dengan gaya menghormat.
Nazifa tertawa melihatnya. "Gpl, ya."
"Iya," jawab Bara dari pintu.
Setengah jam kemudian, Bara kembali dengan membawa mie ayam dan es kelapa muda. Nazifa tersenyum menyambut bungkusan yang dibawa Bara.
"Duduk aja. Biar aku yang ambil," perintah Bara saat Nazifa hendak mengambil mangkuk dan gelas.
Tangan Nazifa terhenti di udara oleh Bara saat akan memasukan sambal ke mangkuknya.
"Kamu lagi hamil. Kurangin dikit porsi pedesnya," saran Bara.
Nazifa menghela nafas. "Iya."
Kemudian mereka berdua makan bersama sambil nonton drama romance. Nazifa makan dengan lahap.
"Kamu tumben nggak mual?" tanya Bara heran.
Nazifa mengedikkan bahu. "Nggak tau. Kadang-kadang aja, Bara."
Cepat sekali Nazifa menghabiskan mie ayam miliknya. Matanya melirik ke arah mangkuk mie ayam yang dipegang Bara.
"Apa?" tanya Bara saat tau Nazifa melirik miliknya.
"Nggak. Nggak apa-apa." Nazifa malu kepergok.
"Nih. Abisin." Bara memberikan mangkuk mie ayam miliknya.
"Beneran? Aku abisin nggak apa-apa?" tanya Nazifa malu-malu.
"Abisin. Nanti kalau kurang, aku beliin lagi." Bara tertawa.
Nazifa mengulum senyum lalu kembali makan dengan lahap.
"Nih." Bara menyodorkan selembar tisu. "Lap dulu. Belepotan." Bara terkekeh.
Bara berdiri dari sofa meninggalkan Nazifa yang sedang asyik meminum es kelapa.
"Mau ke mana?" tanya Nazifa.
"Mau mandi dulu. Gerah."
"Ok," jawab Nazifa singkat.
🌸🌸🌸
Karena perut yang sudah terisi penuh, Nazifa tanpa sadar tertidur di sofa. Bara kembali turun dari kamar dan duduk di sofa. Ia mematikan tv yang masih menyala. Duduk bersandar menatap sosok yang tengah tertidur pulas di depannya dalam diam. Tangannya merogoh ponsel di saku celana pendeknya, kemudian memotret Nazifa yang sedang tertidur beberapa kali. Bara langsung terperanjat saat mendengar ucapan salam dari pintu rumah.
"Assalamu'alaikum." Afnan mengucap salam.
"Wa-wa'alaikumsalam." Bara buru-buru memasukan kembali ponselnya ke dalam saku.
"Kamu tadi nggak ke kantor lagi, Bar?" tanya Afnan saat sudah mendekat.
"Nggak, Bang. Tadi pulang dari kampus langsung ke sini."
Afnan mendekat ke arah Nazifa yang masih tertidur. Meletakkan tas kerjanya di meja kemudian menggendong pelan-pelan Nazifa. Afnan membopong Nazifa ke kamar untuk dipindahkan ke kasur. Tak lama ia kembali ke bawah untuk mengambil tas kerjanya.
"Mama ke mana, Bar? Kok nggak keliatan?" tanya Afnan.
"Kata Nazi sih, Mama pergi keluar ada urusan. Nggak tau ke mana," jawab Bara tetap fokus di ponselnya.
"Ooh."
Afnan kembali ke kamar, mengambil baju ganti lalu masuk ke kamar mandi. Ia merangkak naik ke kasur, duduk dalam diam menatap Nazifa. Tangannya terulur mengelus pipinya. Nazifa menggeliat dan langsung membuka matanya saat melihat Afnan tengah tersenyum menatapnya.
"Mas." Nazifa celingukan menyadari dia sudah di kamar kemudian meraih tangan Afnan lalu menciumnya.
"Kalau tidur itu di kamar, sayang." Afnan mencolek hidung Nazifa.
Nazifa duduk bersandar kepala ranjang.
"Maaf, Mas. Tadi aku lagi nonton tv, terus ketiduran," jawabnya pelan.
"Kan di kamar ada tv juga," sahut Afnan.
"Iya, Mas. Maafin aku. Zee bosen di kamar terus," jawab Nazifa menunduk.
Afnan menghela nafas.
"Lain kali kalau nggak ada aku, kamu nonton tvnya di kamar aja, ya. Jadi, ketiduran juga nggak apa-apa," ucap Afnan mengusap kepala Nazifa.
Nazifa mengangguk.
"Kita keluar, yuk!" ajak Afnan.
"Mau ke mana?"
"Kamu maunya ke mana? Apa kita makan bakso aja?" tanya Afnan bersemangat.
Nazifa menggelengkan kepala. "Masih kenyang. Tadi Bara beliin mie ayam sama es kelapa. Punya dia juga aku yang makan." Nazifa tersipu malu.
"Kamu minta beliin sama Bara?" Afnan mengerutkan kening.
Nazifa menggelengkan kepalanya cepat.
"Aku nggak minta kok, Mas. Tadi Bara yang nawarin aku." Nazifa tersenyum lebar.
Afnan menghela nafas pelan. Merebahkan tubuh lalu memejamkan matanya. Nazifa menatap tak mengerti melihat perubahan ekspresi Afnan.
"Mas." Nazifa mencolek lengan Afnan.
"Mas marah gara-gara Zee ketiduran di bawah, ya?"
Afnan membuka matanya. Ia Menatap Nazifa yang tertunduk. Tangannya terulur meraih tubuh Nazifa lalu menariknya ke dalam pelukan.
"Nggak, sayang. Aku nggak marah." Afnan mengusap-usap lembut kepala Nazifa.
Nazifa tersenyum. Membalas pelukan Afnan dengan erat.
"Kita nggak jadi keluar, Mas?" tanya Nazifa.
"Jadi. Nanti aja ya, habis maghrib."
Nazifa mengangguk.
Selepas shalat Maghrib, Afnan dan Nazifa sudah bersiap.
"Kita mau ke mana jadinya, Mas?"
"Kita jalan-jalan ke taman yang deket aja, ya. Habis itu ke supermarket. Ada yang mau aku beli. Nggak apa-apa, kan?" ucap Afnan.
"Iya."
"Ayo," ajak Afnan.
Afnan berjalan menuruni tangga dengan menggenggam tangan Nazifa. Melewati Mama yang sedang asyik menonton tv.
"Mau ke mana, Nak?" tanya Mama.
"Afnan mau bawa Zee jalan ke depan dulu, Ma. Kasian. Zee bosen," jawab Afnan.
"Hati-hati, ya. Jangan malem-malem pulangnya."
"Iya, Ma. Assalamu'alaikum." Afnan mencium tangan Mama diikuti Nazifa.
"Assalamu'alaikum, Ma," ucap Nazifa.
"Wa'alaikumsalam."
Saat mereka keluar pintu rumah, keduanya berpapasan dengan Bara dan Andre yang baru datang entah dari mana.
"Mau ke mana, Bang?" tanya Bara.
"Mau ke depan dulu sebentar." Afnan tersenyum. "Kamu udah balik, Ndre? Gimana cabang baru di Bali? Lancar?"
"Lancar, Bang." Andre tersenyum.
"Ok. Aku tinggal dulu, ya." Afnan menepuk bahu Andre dan kembali berjalan menuntun Nazifa meninggalkan Andre dan Bara.
"Ayo, masuk! Kenapa malah jadi bengong di situ?" Bara menepuk bahu Andre yang tertegun.
"Ah ... Ehm ... Ayo," jawab Andre sedikit terkejut.
★★★