Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 8 - Part 8-Sebuah Fakta

Chapter 8 - Part 8-Sebuah Fakta

"Sini, Nak. Kita ambil foto bareng dulu," ajak Ibunya saat melihat Nazifa kembali dari belakang.

Mereka mengambil foto bersama kedua keluarga sebelum keluarga Afnan kembali ke Jakarta. Mamanya Afnan dan keluarga Pamannya, akan kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan saat pernikahan.

Sedangkan Afnan, atas usulan Ayahnya Nazifa, dia lebih baik tinggal di sini. Berhubung karena waktunya yang mepet, juga untuk menghindari hal-hal yang tak diharapkan. Keluarga Afnan pun menyetujui usul dari Ayah Nazifa. Dan tentu saja, Afnan dengan senang hati menerimanya.

Setelah mengantar kepulangan keluarga Afnan, mereka kembali masuk ke dalam rumah.

"Nak Afnan nggak keberatan kan, kalau tidurnya cuma pake kasur busa di sini? Soalnya kamarnya cuma ada 2," tanya Ayah Nazifa.

"Iya. Nggak apa-apa, Pak," jawabnya tersenyum.

Ibu Nazifa terlihat keluar dari kamarnya membawa kasur busa. Afnan yang melihatnya, langsung bergegas menghampiri kemudian mengambil alih membawa kasur itu dan menggelarnya di depan TV.

"Maaf Bu, jadi merepotkan," ucap Afnan.

"Nggak apa-apa, Nak. Justru kami yang minta maaf. Nak Afnan harus tidur dibawah begini."

"Bu, Pak. Zee mau ke kamar dulu. Ngantuk," Sela Nazifa di tengah obrolan lalu pergi meninggalkan mereka yang menatapnya.

"Nak Afnan ... Tolong maafin Zee, ya. Dia hanya butuh waktu. Semoga Nak Afnan bisa sabar," ucap Ibu Nazifa yang tak enak hati.

"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Saya mengerti."

Ayah Nazifa berjalan ke arah kamar putrinya itu.

"Zee, Bapak boleh masuk?" Ayahnya mengetuk pintu.

"Iya, Pak," jawabnya yang tengah duduk di kasur.

Ayahnya berjalan ke arah Nazifa lalu menarik kursi dari depan meja belajar dan mengambil posisi duduk di depannya.

"Zee ... Kamu mungkin belum sepenuhnya menerima dia sebagai calon suamimu. Tapi Bapak mohon, jangan terlalu menunjukan rasa tidak sukamu itu, ya. Setidaknya, cobalah untuk membuka hatimu dan melihat Nak Afnan dari sisi baiknya." Ayahnya menceramahi Nazifa panjang lebar.

"Dia usianya jauh di atasmu. Hormati dia, Zee. Kamu harus terbiasa memanggilnya Mas Afnan."

"Iya, Pak." Nazifa menganggukan kepalanya pelan.

Ayahnya mengusap kepala Nazifa lalu berlalu pergi. Tapi baru saja ia mencapai pintu kamar, Ayahnya kembali lagi.

Dia berjalan ke arah meja belajar.

"Hapemu Bapak pegang dulu, Zee."

Nazifa terkesiap mendengarnya.

"Ta-tapi kenapa, Pak?" tanyanya bingung.

"Untuk menghindari hal-hal yang bisa menghambat pernikahan. Kamu lebih baik fokus. Nggak usah mikirin yang lain. Nanti biar Bapak yang menghubungi tempat kerjamu," terang Ayahnya.

"Maksud Bapak?" Nazifa semakin bingung.

"Nanti setelah menikah, kamu tidak boleh bekerja lagi, Zee. Kamu harus bisa menjaga martabat suamimu dan keluarganya. Apa kata orang nanti, kalau kamu masih bekerja sebagai pelayan."

Nazifa hanya menunduk pasrah tak berani membantah. Mencoba mencerna maksud dari kata-kata Ayahnya. Dan memang ada benarnya dengan apa yang Ayahnya ucapkan. Hanya saja semuanya masih terlalu cepat buatny. Ayahnya akhirnya melenggang pergi keluar kamar dengan membawa ponsel Nazifa.

🌸🌸🌸

Pukul 01.30 malam, Nazifa terbangun untuk menunaikan shalat sunnah. Ketika ia keluar kamar hendak ke kamar mandi, Nazifa melihat Afnan tengah tidur meringkuk memeluk lutut. Udara di sini memang dingin. Apalagi tengah malam menjelang pagi, akan semakin dingin. Sarung yang dipakai sebagai selimut tak mampu menutupi tubuh jangkungnya. Nazifa cuek dan tetap melanjutkan langkahnya ke kamar mandi.

Setelah melipat mukena dan sajadah, Nazifa terdiam beberapa sesaat. Lalu berjalan ke arah lemari dan mengambil sebuah selimut tebal. Ia berjalan keluar kamar, menghampiri Afnan yang masih tidur dengan posisi meringkuknya.

Berpikir sebentar kemudian akhirnya mengambil sebuah kemoceng yang tergantung di dekat TV. Dengan ragu-ragu, ia mencolek pinggang Afnan.

Sekali ... Dua kali ... Afnan bergeming. Ketiga kalinya Afnan tersentak kaget, langsung bangun dan duduk. Nazifa yang berada dalam posisi membungkuk, ikut kaget dan hampir terjengkang ke belakang.

"Ma-maaf, Zee. Aku kaget tadi," ucapnya sambil gelagapan.

Nazifa diam tak merespon ucapannya.

"Pake selimut ini, Mas," ujar Nazifa cuek lalu meletakkan selimut itu di sampingnya dan bergegas meninggalkannya.

"Zee ...." Panggilan Afnan menghentikan langkahnya.

"Makasih," ucap Afnan lembut.

Nazifa hanya menjawab dengan menganggukan kepala dan kembali masuk ke kamar.

Pagi harinya, rumah Nazifa sudah terlihat ramai oleh tetangga dan saudara yang membantu persiapan acara. Afnan pun tak keliatan batang hidungnya. Ibunya bilang dia pergi sama Ayahnya untuk mengurus segala keperluan.

Baguslah! Setidaknya aku tak perlu melihat dia untuk sementara, batin Nazifa.

Nazifa masih belum bisa menerima kenyataan kalau pria itu akan menjadi suaminya. Bahkan ia merutuki diri sendiri kenapa ia bisa sampai menerimanya. Tak ayal seharian ini Nazifa menjadi bahan candaan para ibu-ibu tetangga juga saudaranya. Nazifa hanya tersenyum getir menanggapi candaan mereka.

🌸🌸🌸

Sementara itu, saat Mamanya sedang menyiapkan sarapan, Bara terlihat keluar dari kamarnya dengan wajah yang kusut.

"Kapan balik, Ma?" tanya Bara seraya menarik kursi untuk duduk.

"Sekitar jam 2-an, sayang."

"Ooh," jawabnya datar.

Mamanya mengerutkan kening melihat ekspresi anaknya.

"Kamu kenapa, sayang? Kok mukamu kusut begitu? Kamu masih sakit?" tanya Mamanya khawatir.

Bara hanya mengelengkan kepala. Tangannya terus menerus  mengaduk-ngaduk nasi dengan sendok.

"Kamu kalau lagi ada masalah, cerita dong sama Mama."

"Nggak ada, Ma. Bara cuma lagi bad mood," bantahnya, "Oh iya, Ma. Gimana acara lamaran kemaren?" tanyanya lagi.

"Alhamdulillah. semuanya lancar, sayang. Yaaa, tadinya sih kita semua tegang banget, Bar."

"Tegang kenapa?" tanya Bara penasaran.

"Soalnya, calon istri Afnan itu terlihat seperti keberatan sekali dengan lamaran ini. Mama ini perempuan, jadi Mama bisa tau. Bahkan dia butuh waktu yang cukup lama untuk memberikan jawaban. Kami kira lamaran ini akan ditolaknya. Tapi Alhamdulillah, akhirnya dia bersedia, Bar," jelas Mamanya panjang lebar.

Bara terdiam sejenak.

"Bagaimana kalau gadis itu memang terpaksa menerima lamaran, Ma? Apa nggak kasian? Bukankah terlalu egois jika memaksakan kehendak kita padanya?" tanya Bara.

"Hmm ... Mungkin kamu benar. Hal itu terlalu egois. Tapi Bar, cinta itu bisa datang seiring berjalannya waktu. Bahkan cinta bisa membuat kita yang sedang mengalaminya bersikap egois."

Bara hanya manggut-manggut mendengar penuturan Mamanya.

Bolehkah aku bersikap egois padamu, Nazi? Ah ... Sepertinya aku nggak bisa. Aku ingin terlebih dahulu mengetahui perasaanmu padaku. Apakah kamu juga mencintaiku?

"Bara ..., Bara!" Panggilan Mamanya membuyarkan lamunannya. "Makan kok sambil ngelamun." Mamanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Terus Bang Afnannya mana, Ma? Kok nggak keliatan?" tanya Bara setelah tersadar dari lamunannya.

"Kakakmu nggak ikut pulang ke sini. Karena waktunya mepet, jadi kakakmu tetep di sana. Sekalian ngebantuin ngurus-ngurus keperluan," tutur Mamanya.

"Oh iya, Bar. Kemaren kita sempet ambil foto bersama dulu sebelum pulang. Kamu mau liat nggak?" ucap Mamanya penuh semangat.

"Hmm ... Boleh, Ma," jawab Bara.

Mamanya bergegas mengambil ponsel di kamar dan cepat-cepat kembali menghampiri Bara.

"Nih, Bar." Mamanya menunjukan sebuah foto di galeri ponsel.

Bara menerima ponsel Mamanya.

"Praang!" Gelas yang sedang di pegang Bara terjatuh.

"Astaghfirullah!" Mamanya terkejut.

Bara tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dadanya naik turun bersamaan detak jantung tak beraturan.

"Mbok! Mbok!" Seru Mamanya memanggil ART. "Tolong bersihin ini dulu, Mbok," ucapnya pada Mbok tini.

"Kamu kenapa, Bara?" tanya Mamanya khawatir.

"Ma ..." Bara terlihat mencoba mengatur nafasnya sendiri. "S-siapa nama calon istri Bang Afnan?" tanyanya dengan ragu-ragu.

"Nazifa. Namanya Nazifa, Bara," jawab Mamanya.

Bak disambar petir di siang bolong. Seketika tubuh Bara seperti membeku. Kepala semakin  berdenyut sakit, mata berkunang-kunang. Sesak! Ada yang terasa sesak di dadanya! Tubuh Bara mendadak lemas seolah kehilangan tenaga. Ia menyandarkan dirinya ke kursi. Termenung.

"Kenapa harus dia, Ma?" tanyanya lirih.

"Maksud kamu? Maksud kamu apa, Bara?"tanya Mamanya kebingungan.

"Kenapa harus Nazifa, Ma? Kenapa?" teriak Bara tak dapat lagi menahan emosi yang daritadi ditahan.

"Aaaargh!" Bara menarik kasar rambutnya.

"Bara, kamu kenapa, sayang?" Mamanya cemas.

"Aku cinta sama dia, Ma! Aku cinta sama Nazifa! Calon istri Bang Afnan!" Jawab Bara dengan nada tinggi.

Bara menopang kepalanya dengan kedua tangan di atas meja. Mencoba menetralkan emosi yang sudah sampai ke ubun-ubun. Mamanya membelalakkan mata tak percaya. Kedua tangannya refleks menutup mulut yang terbuka.

"Ta-tapi ... Tapi bagaimana bisa? Kenapa kamu baru cerita sekarang, sayang?" tanya Mamanya kebingungan.

"Bukannya Bara pernah bilang, kalau Bara udah punya calon? Gadis itu Nazifa! Nazifa, Ma! Dia yang bisa bikin Bara berubah lebih dewasa! Bara cinta sama dia, Ma! Dan itu udah lama! Sejak pertama kali Bara ketemu sama dia!" teriaknya penuh emosi.

Mamanya Bara terlihat bingung harus bagaimana. Ia terduduk lemas di kursi. Apa yang harus ia lakukan? Kedua anak kesayangannya mencintai gadis yang sama. Ia tak mungkin memihak salah satu. Tapi ...

"Mama ... Mama harus gimana, Bara?" tanyanya pelan. Mata Mamanya mulai berembun.

"Batalin pernikahan itu!" tegas Bara.

Mamanya terkesiap mendengar perkataan Bara.

"I-itu ... Itu nggak mungkin, Nak. Pernikahannya besok. Undangan pun sudah disebar," jawabnya dengan suara bergetar menahan tangis.

"Bagaimana dengan perasaan Kakakmu? Bagaimana dengan perasaan keluarga Nazifa? Ini akan mencoreng nama baik kedua keluarga, Bara" ucapnya lirih dengan air mata yang mulai menetes.

"Lalu gimana dengan perasanku, Ma? Gimana! Apa perasaanku ini nggak ada artinya di mata Mama?" tanyanya dengan suara meninggi.

Mamanya menangis sesenggukan.

"Mama harus gimana, Bara? Kalian berdua anak kesayangan Mama. Mama nggak bisa memilih salah satu dari kalian."

"Bara yang akan gantiin posisi Bang Afnan di pernikahan!" ucapnya dengan tegas.

"Bara!" bentak Mamanya. Ia tak percaya dengan yang diucapkan anaknya itu.

"Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu, Nak? Kamu nggak boleh begitu."

"Masih banyak gadis lain, Ma! Kenapa harus Nazifa? Kenapa harus Nazifa yang Bang Afnan cintai?" Bulir bening mulai menetes di pipi Bara.

"Aku bisa terima jika itu orang lain. Tapi ini ... Dia kakakku sendiri. Sakit, Ma!" Bara menunjuk ke arah jantungnya.

"Tenang dulu, Nak. Kamu nggak boleh nyalahin kakakmu. Itu bukan kesalahannya. Kakakmu juga nggak tau kalau selama ini kamu mencintai Nazifa." Mamanya mencoba menenangkan.

Bara mengusap air matanya yang menetes dengan kasar.

"Batalin pernikahan itu, Ma. Bara mohon," ucapnya lirih.

Mamanya menggelengkan kepala.

"Bukankah Mama sendiri yang bilang, kalau Nazifa terlihat terpaksa menerima pernikahan ini?" tanyanya lagi.

"Maafin Mama, Bara. Mama ...."

Mamanya tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia benar-benar bingung. Tapi ia juga tak bisa membatalkan pernikahan ini begitu saja. Terlebih mengingat betapa bahagianya wajah Afnan saat jatuh cinta di usianya yang sudah dewasa.

"Kamu masih muda, Bara. Masih banyak waktu dan kesempatan mencintai gadis lain."

Bara mengeleng-gelengkan kepala, tak percaya dengan ucapan Mamanya.

"Cukup, Ma. Cukup! Bara tau kemana Mama berpihak!" Ucapnya penuh penekanan kemudian berlari ke arah kamar.

"Bara!" Mamanya menangis.

Bara membanting pintu. Berdiri di depan cermin dengan nafas yang memburu. Rahangnya mengeras dengan tangan mengepal.

Bugh!

Bara meninju cermin di depannya sekuat tenaga hingga pecah. Tak peduli darah mengucur dari tangannya. Ia ingin bisa melampiaskan kemarahannya. Hatinya sakit, Kecewa, sedih!

"Aaaarrggh!" teriaknya.

Bara melempar barang-barang yang ada di hadapannya.

"Bara! Bara! Buka pintunya, sayang." Mamanya menggedor-gedor pintu kamar Bara dengan perasaan cemas.

Bara terduduk bersandar meja. Menangis. Ia tak percaya bila gadis yang begitu ia nantikan akan diambil oleh Kakaknya sendiri. Perih!

Ia berdiri, menyambar kunci motor lalu bergegas keluar kamar tanpa melihat Mamanya yang ada di depannya.

"Bara! Kamu mau kemana, Nak? Bara!" Mamanya sedikit berlari mengikuti anaknya.

"Mama mohon, Nak. Kita bisa bicarain ini dengan kepala dingin, sayang,"

"Bara! Bara!" Mamanya menangis.

Namun Bara tak menghiraukan ucapan Mamanya. Ia menaiki sepeda motornya lalu pergi meninggalkan rumah tanpa menoleh lagi.

Hatinya benar-benar sakit! Selama ini dia berusaha menahan perasaaannya untuk Nazifa sampai waktunya tepat. Namun apa yang ia dapatkan? Gadis itu akan segera menjadi milik Kakaknya. Bara memang begitu menyayangi Kakaknya. Tapi ini masalah hati. Ia tak rela gadis yang dicintainya dimiliki Kakaknya. Egois! Ya, cinta kadang membuat orang jadi egois!

Bara tak dapat menahan air matanya. Ia melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Tak ada pria atau wanita. Jika soal hati, siapapun pasti akan menangis.

Nazifa ... Nazifa! Bara berteriak dalam hatinya.

🌸🌸🌸

Jam sudah menunjukkan pukul 02.00. Tapi Nazifa tak dapat juga memejamkan matanya. Hatinya gelisah. Besok adalah hari pernikahannya dengan Afnan. Benar kata Ayah dan Ibunya. Seharusnya ia belajar untuk ikhlas menerima Afnan. Tapi tidak!

Hatinya belum bisa. Ia hanyalah manusia biasa yang bergelimangan dosa, yang terus berusaha memperbaiki diri. Dan mengikhlaskan hatinya untuk pernikahan itu, Nazifa benar-benar belum bisa. Tak bisa ia pungkiri ada rasa penyesalan dan keraguan dalam hati.

Dengan langkah hati-hati, Nazifa pergi keluar kamar menuju ke kamar Orangtuanya. Ia melihat Afnan sudah tertidur di depan TV. Masih ada beberapa tetangga yang begadang di luar rumah. Terdengar dari suara mereka yang tengah berbincang.

Nazifa membuka pintu kamar Orangtuanya dengan pelan-pelan, lalu dengan langkah mengendap-ngendap, ia menuju meja tempat di mana ponselnya berada.

Ya Allah, Maafkanlah tindakan hamba ini, katanya dalam hati.

Setelah mendapatkan ponselnya, secepatnya Nazifa keluar kamar dan pergi ke dalam kamar mandi.

Bara ... Bara ...

Ia mencoba menghubungi nomor Bara beberapa kali, namun Bara tak menjawab telponnya.

Bara, Please ... angkat telponnya, mohonnya dalam hati.

Namun sia-sia. Bara tak juga mengangkat telponnya. Nazifa benar-benar merasa putus asa. Ia mencoba menahan isakan tangis agar tak membangunkan siapapun. Akhirnya ia putuskan untuk mengirim pesan Wa ke Bara.

[Bara]

[Kamu sibuk?]

[Maaf aku tak mengabarimu beberapa hari ini. Jangan marah padaku, ya]

[ Bapak menyita hapeku. Makanya aku tak bisa menghubungimu]

[Bara ...]

[Polem ...]

[Aku nggak tau harus minta tolong pada siapa lagi]

[Hanya kamu yang kuharapkan bisa menolongku]

[Bara ... Orangtuaku akan menikahkanku dengan pria asing yang tak ku kenal sama sekali]

[Aku takut Bara. Aku nggak bisa. Aku belum siap menerima pernikahan ini]

[Aku harus bagaimana Bara? Tolong aku!]

[Akad nikah akan diadakan besok jam 9 pagi. Kalau sampai jam 9 kamu tetep nggak muncul, itu artinya aku memang harus bisa ikhlas dengan pernikahan ini]

Tak lupa Nazifa meng-share loc alamatnya.

[Tolong aku Bara] diakhiri dengan emot menangis.

Setelah jejak air mata di pipi ia hapus, Nazifa segera bergegas keluar kamar mandi. Namun saat baru membuka pintu, ia terperanjat mendapati sosok jangkung Afnan tengah berdiri di depan pintu. Hampir saja Nazifa menubruknya.

"Maaf, Zee. Aku nggak bermaksud buat ngagetin kamu," ucap Afnan lembut seraya menggeser tubuhnya ke samping.

Nazifa tersenyum tipis kemudian berlalu meninggalkannya.

Bikin kaget aja. Untung bukan Bapak, kata Nazifa dalam hati.

Setelah memastikan Afnan masuk ke kamar mandi, Nazifa kembali mengendap-ngendap masuk ke kamar Orangtuanya. Mengembalikan ponselnya ke tempat semula, kemudian kembali masuk ke kamar.

Ya Allah, aku seperti pencuri saja. Maafkan hamba Ya Allah, batinnya.

🌸🌸🌸

Bara tengah duduk di tepi pantai seorang diri. Ia tak peduli angin yang berhembus kencang menerpanya. Ia berharap rasa sakit di hatinya akan ikut hilang di terpa angin. Tak lama Bara memutuskan untuk kembali ke motornya. Ia mengambil ponsel dari saku jaketnya yang sedari tadi ia abaikan.

Ada belasan panggilan tak terjawab dan pesan Wa masuk. Matanya membelalak melihat nama pengirim yang tertera di layar ponsel.

"Nazi ...," gumamnya pelan.

Senyumnya mengembang.

Tak dapat ia pungkiri ada rasa bahagia saat mengetahui Nazi mencoba menghubunginya. Cepat-cepat Bara membuka pesan Wa dari Nazi.

Dadanya bergemuruh saat membaca pesan itu. Ia termenung sesaat.

Nazi ... Nazi sungguh tak menginginkan pernikahan ini?

Tanpa berpikir panjang lagi, Bara segera memakai helm kemudian melajukan sepeda motornya melesat meninggalkan pantai.

Tunggu aku, Nazi! Tunggu!

★★★