Nazifa menghampiri Afnan yang tengah menghidupkan mesin mobil.
"Mas ...," panggilnya.
Afnan menoleh pada Nazifa.
"Anu mas. Itu, ehm ... Boleh nggak, kalau kita ke Rumah Sakitnya naik motor aja?" tanya Nazifa ragu-ragu.
"Motor? Memangnya kenapa, Zee?"
"Ehmm ...." Nazifa tak melanjutkan ucapannya.
Nazifa malu kalau harus bilang pada Afnan bahwa dirinya mabuk tiap kali naik mobil. Jarinya terus menerus memilin ujung kerudung. Kebiasaan yang sulit Nazifa hilangkan saat gugup, canggung atau malu. Afnan memperhatikan tingkahnya seraya mengulum senyum.
"Ya udah, kalau kamu maunya begitu. Kita naik motor aja, ya."
Nazifa menganggukan kepalanya dengan perasaan senang.
Afnan segera mengeluarkan motor Matic milik Ayah Nazifa dan mereka pun berpamitan pada Orangtua Nazifa terlebih dulu.
"Nak, tolong sampein sama Mama kamu, ya. Maaf kami nggak bisa ke sana. Bapak do'ain mudah-mudahan adiknya Nak Afnan cepet pulih," ucap Ayah Nazifa.
"Iya, Pak. Makasih do'anya."
"Hati-hati, ya," ucap Ibu Nazifa sebelum mereka pergi.
Afnan menganggukan kepala.
"Assalamu'alaikum," ucap Afnan dan Nazifa bersamaan.
"Wa'alaikumsalam."
Setelah helmnya terpasang dengan benar, Nazifa bergegas memposisikan diri duduk di jok motor. Afnan pun segera melajukan sepeda motornya.
Jarak dari rumah Nazifa ke Rumah Sakit, kira-kira sekitar 30 menit dengan sepeda motor. Udara di malam hari benar-benar sangat dingin menusuk tulang. Jaket tebal yang Nazifa pakai pun tak terlalu berpengaruh. Dingin masih sangat terasa. Apalagi dengan hembusan angin kencang yang menerpa motor mereka. Telapak tangan Nazifa yang lupa tak ia pakaikan sarung tangan, terasa mati rasa karena dingin.
"Zee, pegangan yang kenceng, ya. Aku harus ngebut soalnya," ucap Afnan di tengah perjalanan.
Nazifa mengulurkan kedua tangannya ragu-ragu. Kemudian sedikit berpegang pada Jaket kulit yang Afnan kenakkan. Namun Afnan tiba-tiba menarik tangan Nazifa.
"Pegangannya ke sini, Zee," ucap Afnan seraya melingkarkan tangan Nazifa di pinggangnya.
Nazifa tersentak kaget. Jantungnya serasa mau copot. Tiba-tiba berdekatan dengan pria seperti ini, membuat tubuhnya membeku seketika. Meskipun kenyataannya, Afnan telah resmi menyandang status sebagai Suaminya. Nazifa refleks menahan nafas. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin.
Pertama kalinya bersentuhan dengan pria, seperti inikah rasanya? Dag dig dug.
Bisa-bisa aku terkena serangan jantung mendadak kalau begini terus, batin Nazifa.
Nazifa mencoba menarik kembali tangannya yang melingkar di pinggang Afnan. Namun Afnan menahannya.
"Aku mau ngebut. Siap-siap, ya!" ucap Afnan sedikit berteriak karena suaranya tertahan helm.
Dan benar saja, Afnan langsung menancap gas motornya. Nazifa yang belum siap, hampir saja terjengkang. Tanpa ragu lagi, langsung ia eratkan pegangan tangannya di pinggang Afnan sambil menutup mata. Afnan tersenyum puas.
Huh! Dasar Modus!
🌸🌸🌸
Nazifa dan Afnan hendak menuju sebuah Rumah Sakit Swasta di Tasik. Tadi siang di tengah acara resepsi yang belum selesai, Mamanya mendapatkan kabar kalau anak bungsunya mengalami kecelakaan di Tasik. Mamanya shock hampir pingsan di acara resepsi. Begitupun dengan wajah Afnan yang langsung pucat pasi mendengar berita tersebut. Di hari bahagianya, ia mendapatkan berita buruk.
Mamanya pun terburu-buru pergi ke Rumah Sakit di temani Supir dan keluarga Pamannya. Namun saat Afnan hendak ikut ke Rumah Sakit, Mamanya mencegahnya. Ia meminta agar Afnan tetap berada di sini sampai acara resepsi selesai. Baru nanti bisa menyusul mereka setelahnya. Keluarga Nazifa pun tak kalah terkejut saat mendengar kabar itu.
🌸🌸🌸
Tak lama kemudian, Afnan dan Nazifa pun akhirnya tiba di Rumah Sakit. Afnan memarkirkan sepeda motornya. Sedangkan Nazifa, sedang bersusah payah membuka tali helm di lehernya. Tali helmnya macet karena besi pengaitnya sudah karatan. Afnan yang melihatnya kesulitan, berinisiatif menolongnya. Kedua tangannya terulur ke arah leher Nazifa. Nazifa yang terkejut, refleks mundur sedikit ke belakang dan Afnan terlihat mengulum senyum.
"Aku cuma mau bantuin buka talinya, Zee," ucap Afnan langsung meraih tali helmnya.
Nazifa jadi salah tingkah sendiri ketika Afnan berdiri begitu dekat di hadapannya. Mata Nazifa terus menatap ke bawah. Tubuhnya kaku, Nafas pun ia tahan. Nazifa bersyukur, karena tubuhnya Afnan yang tinggi, ia jadi tak perlu berhadapan dengan wajahnya langsung. Bahkan tinggi badan Nazifa hanya sampai dadanya.
Ini emang Mas Afnan yang kelewat tinggi, atau aku yang kelewat pendek, ya? tanyanya dalam hati.
"Udah," ucap Afnan sambil meletakkan helm di motor. "Ayo, Zee," ajaknya seraya berjalan.
Nazifa menghembuskan nafas lega sambil mengusap-usap dadanya saat Afnan sudah berjalan memunggunginya.
Hampir aja aku kehabisan nafas, batin Nazifa.
"Zee ...," panggil Afnan saat melihatnya masih berdiri di tempat.
"I-i-iya, Mas," jawabnya terbata kemudian melangkahkan kaki di belakang Afnan.
Afnan yang memang memiliki tubuh tinggi dengan kakinya yang panjang, membuat Nazifa yang bertubuh kecil itu ketinggalan langkah cukup jauh. Ditambah lagi dengan jalannya yang cepat terburu-buru. Nazifa sampai harus setengah berlari mengikutinya. Ia melihat Afnan tengah menelpon Mamanya sambil berjalan.
Iissh ... nggak peka banget, sih. Tungguin kek. Nggak tau apa ya, aku sampe ngap-ngapan ngikutin langkah kakinya? gerutu Nazifa dalam hati.
Nazifa yang berjalan sambil menundukkan kepala, tak sengaja menabrak tubuh Afnan yang tiba-tiba berhenti di depannya.
"Aduh!" Nazifa mengusap-usap keningnya.
Tanpa berkata apa-apa, Afnan langsung menggenggam tangan Nazifa dan menuntunnya berjalan. Nazifa merasakan ada getaran-getaran aneh yang terasa saat telapak tangan mereka bersentuhan. Nazifa kaget namun tak bisa menolak. Mengikutinya dengan nafas sedikit tersengal.
Apa jangan-jangan, Mas Afnan bisa baca pikiranku? batinnya kebingungan.
Tak lama, mereka pun sampai di ruang rawat VVIP. Terlihat Mama, Paman dan keluarganya tengah duduk di bangku depan kamar rawat. Mata Mamanya sangat sembab. Ia langsung menghambur ke dalam pelukan Afnan. Tangisnya pun menjadi. Nazifa pun tak elak ikut menitikkan air mata melihat Mama Afnan yang menangis sesenggukan.
Mama melepas pelukannya dari Afnan dan beralih memandang Nazifa. Ia tersenyum dalam tangisan. Nazifa mencium takzim tangan Mama. Mama memegang kedua pipi Nazifa lalu memeluknya erat. Ia kembali menangis dalam pelukan Nazifa. Nazifa yang ikut-ikutan nangis, menepuk-nepuk punggung Mama dengan lembut. Pelukan Mama semakin erat. Erat sekali.
"Gimana keadaan Bara, Ma?" tanya Afnan.
Deg!
Jantungnya serasa tiba-tiba berhenti berdetak saat mendengar nama itu.
Bara? Apa jangan-jangan ...
Nggak! Nggak mungkin! Pasti namanya aja yang sama. Nazifa mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Mama melepas pelukannya dari Nazifa sambil mengusap air matanya.
"Bara masih belum sadar, Nak. Alhamdulillah, masa kritisnya udah lewat. Tapi tangan kanannya mengalami keretakan pada tulang, jadi harus digips," jelas Mamanya.
"Gimana Bara bisa mengalami kecelakaan seperti ini, Ma?" tanya Afnan lagi.
Mamanya memandang Nazifa sekilas lalu tersenyum tipis. Nazifa tak mengerti dengan maksud pandangan Mama Afnan padanay. Nazifa beringsut mundur kemudian ikut duduk bersama Paman dan keluarganya. Sesekali mereka mencoba mengajak Nazifa mengobrol.
"Kata Polisi, saksi mata ngeliat Bara ngebut banget. Pas mau nyalip kendaraan di depannya, dia nggak liat kalau ternyata di depannya ada mobil Truk. Bara berhasil menghindar, tapi nggak bisa ngendaliin motornya yang oleng. Alhasil, Bara jatuh terseret motornya hingga 2 meter." tutur Mamanya sambil sesekali menyeka bulir bening di sudut matanya.
Afnan terlihat memukul-mukulkan kepalan tangannya ke dahi, menghembuskan nafasnya dengan kasar. Terlihat sekali ia sangat khawatir dengan adiknya.
"Nak, ada yang mau Mama bicarain sama kamu. Ikut Mama sebentar, ya." Mamanya membawa Afnan sedikit menjauh dari yang lain.
🌸🌸🌸
Mamanya menceritakan semua kejadian yang terjadi di rumahnya kepada putra sulungnya itu. Perasaan Bara dan amarah Bara, semua Mamanya ceritakan. Termasuk siapa gadis yang Bara cintai selama ini. Afnan yang mendengar cerita Mamanya, terduduk lemas di bangku Rumah Sakit. Raut wajahnya terlihat begitu sedih. Ia menunduk, menahan kepala dengan kedua tangannya di atas lutut. Terlihat dia beberapa menyeka bulir bening di sudut matanya. Mamanya dan Afnan, keduanya menangis. Afnan merasa begitu bersalah pada adiknya. Namun ia pun ragu.
Mungkinkah ia bisa merelakan Nazifa, jika ia mengetahui dari awal siapa gadis yang dicintai adiknya?
Ia merasa dirinya begitu jahat.
Beberapa kali Afnan menoleh ke arah Nazifa. Wajahnya begitu sendu. Tak ada lengkungan senyum manis di bibirnya seperti yang biasa ia tunjukan pada Nazifa. Nazifa memalingkan wajah ke arah lain, berpura-pura tidak melihatnya saat tatapan mereka tak sengaja bertemu.
Seketika Nazifa teringat nama adik Afnan.
Bara ...
Ada perasaan tak enak saat mendengar nama itu.
Kenapa juga namanya harus sama, keluhnya.
Rasa penasaran muncul dalam benak Nazifa.
Seperti apa wajah adiknya Mas Afnan? Secara Kakaknya aja Tampan, bagaimana dengan adiknya?
Nazifa mesam-mesem sendiri.
"Iih ... Apa coba. Kenapa juga aku jadi ngebayangin wajah Mas Afnan," gerutu Nazifa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepala cepat.
Nazifa beranjak dari bangku, lalu berjalan perlahan ke arah kamar rawat yang ada di depannya. Entah kenapa, ia merasa seolah ada dorongan yang memintanya agar melihat ke dalam ruang rawat itu. Di sana ada jendela yang cukup lebar, jadi Nazifa pikir ia bisa mengintipnya dari sana. Tinggal beberapa langkah lagi kakinya sampai,
"Zee." Mama menyentuh pundak Nazifa.
Nazifa langsung menghentikan langkahnya dan memutar balik badan ke arah Mama.
"Kamu sama Afnan pulang aja, ya. Ini udah malem. Nggak baik pengantin baru keluyuran," ujar Mama.
"Tapi, Ma ...." Jari Nazifa menunjuk ke arah kamar rawat. Namun ucapannya terpotong Mama.
"Nggak ada tapi-tapian, Zee," sela Mama, "Kamu nggak usah khawatir soal adiknya Afnan. Soalnya malam ini juga mau langsung dipindahkan ke Rumah Sakit Jakarta," jelas Mama.
Nazifa menganggukkan kepala.
"Oh, ya. Nanti tolong pamitin sama Orangtua kamu ya, sayang. Maaf Mama nggak bisa ke sana lagi. Soalnya mau langsung ke Jakarta sekalian ngurus keperluan kepindahan Bara. Keluarga Paman juga mau langsung pulang Bareng Mama," jelas Mama lagi.
"Iya, Ma. Nanti Zee pamitin sama Bapak Ibu," jawab Nazifa.
"Ya udah, sayang. Sana bawa Zee pulang," ucap Mama ke Afnan.
"Iya, Ma. Mama nggak usah khawatir, ya. Tadi Afnan udah hubungin Pak Fikri buat ngurusin semua keperluan kepindahan Bara. Mama jangan nangis lagi." Afnan memeluk Mamanya.
Mamanya menganggukan kepala sambil menyeka air mata yang hampir terjatuh lagi.
"Ayo, Zee," ajak Afnan.
"Zee, pamit dulu ya, Ma." Nazifa mencium punggung tangan Mama.
"Hati-hati." Mama mengusap kepala Nazifa lembut.
Tak lupa Nazifa juga berpamitan kepada Paman dan keluarganya sebelum pulang.
Afnan berjalan di depan sedangkan Nazifa mengekor di belakangnya. Mata Nazifa beberapa kali menoleh lagi ke belakang, menatap ke arah ruang rawat adiknya Afnan. Entah kenapa seperti ada perasaan yang mengganjal.
Afnan menghentikan langkahnya kemudian menatap Nazifa. Memberi kode lewat matanya agar Nazifa berjalan di sampingnya. Nazifa menurut saja lalu mereka pun berjalan berdampingan. Tanpa sepengetahuannya, Afnan sesekali mencuri pandang ke arah Nazifa yang berjalan tertunduk.
Ada perasaan yang tak nyaman. Tapi bukan karena Nazifa berjalan berdampingan dengan Afnan. Tapi karena hal lain.
Bara ... Nazifa teringat padanya. Ada perasaan khawatir.
Semoga dia baik-baik aja, do'anya dalam hati.
★★★