Bara ...
Sebuah nama yang berhasil menghiasi hari-hari Nazifa dengan canda tawa bahagia. Namun kini, Bara terbaring di Rumah Sakit gara-gara dirinya! Sedih. Menyesal. Itu sangat jelas Nazifa rasakan.
Tak bisa dijelaskan, betapa terkejutnya Nazifa saat melihat sosok yang tengah terbaring di dalam kamar rawat. Nazifa membelalakkan mata dengan kedua tangannya menutup mulut. Rasanya tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Bara!
Bara teman baiknya dan Bara adiknya Afnan adalah orang yang sama!
Nazifa memutar knop pintu perlahan dengan tangan yang gemetar lalu berjalan dengan langkah yang gontai mendekati dia yang sedang terbaring di sana. Air matanya perlahan menetes tanpa terasa. Ada rasa sesak yang tak bisa ia abaikan.
"Bara ...," panggil Nazifa dengan suara lirih dan bergetar.
Bara yang tengah memandang ke arah jendela, menoleh ke arah suara. Ia nampak terkejut dengan kehadiran Nazifa. Terlihat masih ada tetesan air mata di pipi Bara. Namun Bara dengan cepat menghapusnya.
"Nazi ...," panggilnya lirih.
Nazifa tak kuasa lagi untuk menahan tangisnya. Tangis Nazifa pecah di kamar itu. Berjalan mendekati Bara dengan tubuh gemetar. Nazifa terduduk lemas di kursi samping Bara.
"Ba-ba-Bara ... Ma- ma-maafin aku ...." Suaranya terputus-putus oleh isakan tangis.
Bara masih terdiam tak menjawab. Ada rasa yang begitu menyakitkan saat ia melihat Nazifa. Seolah ada benda tajam yang menusuk langsung ke jantungnya. Perih! Hatinya seperti tersayat-sayat. Nafas terasa begitu menyesakkan. Seakan tak ada lagi udara yang bisa ia hirup. Terlihat wajahnya yang begitu sendu menahan kesedihan dan rasa sakit yang mendalam. Tak ada lagi wajah ceria dan menggoda yang biasa ia tunjukan pada Nazifa. Tatapan matanya tak bisa ia lepaskan dari wajah Nazifa. Namun mata indah Bara tertutup oleh bulir-bulir bening yang menggenang.
🌸🌸🌸
Nazufa tak tahan melihat Bara terbaring seperti itu. Ia tak sanggup untuk tak menangis. Nazifa menutupi wajahnya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan air mata yang mengalir deras di pipi.
"Maafin aku Bara. Gara-gara aku kamu jadi begini," ucap Nazifa di sela tangisan. "Seandainya waktu itu aku nggak minta kamu buat datang nolongin aku, kamu ...." Ucapannya terpotong panggilan Bara.
"Nazi ...." panggilnya dengan suara bergetar. "Ini semua bukan salah kamu. Jangan khawatir. Aku baik-baik aja," ucap Bara dengan senyum yang dipaksakan.
Bara melihat ada cincin yang melingkar di jari manis gadis pujaannya itu. Seketika air matanya tumpah. Sakit! Ia mengusap air matanya dengan kasar. Berusaha terlihat tegar padahal kenyataanya rapuh.
"Harusnya aku yang minta maaf sama kamu, Nazi. Aku gagal nolongin kamu. Maafin aku," ucapnya lirih.
Nazifa menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. " Nggak Bara. Kamu nggak salah. Mungkin ini emang udah takdirku. Aku yang egois karena memintamu untuk terlibat masalahku."
"Nazi ... Apa waktu itu kamu benar-benar menungguku? Mengharapkan kedatanganku?" tanya Bara.
Tangis Nazifa pecah lagi saat mendengar pertanyaan Bara yang membuatnya teringat hari itu. nazifa menganggukan kepala sebagai jawaban.
Iya, Bara. Kamu benar. Aku menunggumu. Aku mengharapkan kedatanganmu dan membawaku pergi bersamamu. Karena hanya kamu satu-satunya harapanku.
"Maafin aku, Nazi. Maafin aku." Suara Bara bergetar menahan tangis.
Ia menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa sakit yang terasa semakin perih!
Andai waktu itu aku lebih berhati-hati, mungkin kecelakaan ini bisa dihindari ...
Dan mungkin aku berhasil menolongmu lepas dari pernikahan ini. Membawamu ke dalam pelukanku.
Tapi ternyata ... takdir berkata lain, Nazi.
Takdir tak mengizinkan aku memilikimu, sesal Bara dalam batin.
🌸🌸🌸
Tangis keduanya pecah. Bara dan Nazifa, keduanya menangis. Bara sudah berusaha keras untuk menahan tangisnya. Namun ia tak kuasa lagi. Rasa sakitnya terlalu dalam! Tak terelakan, isak tangis keduanya memenuhi ruangan itu.
Bara menangisi nasib cintanya yang gagal ia perjuangkan. Mau tidak mau ia harus belajar ikhlas dan menerima kenyataan yang begitu menyakitkan. Kenyataan bahwa gadis yang dicintainya telah menjadi milik Kakaknya.
Dan Nazifa, ia menangisi kebodohannya. Ia menyesali dengan apa yang telah dilakukannya. Andaikan ia tak melibatkan Bara dalam masalahnya, mungkin Bara tak akan mengalami kecelakaan ini. Ia merasa begitu bodoh karena saat itu ia terlalu berharap pada Bara. Terlalu mengharapkan kehadiran Bara untuk membawanya pergi dan membatalkan pernikahannya.
Tanpa keduanya sadari, seseorang tengah berdiri di balik pintu kamar. Berdiri menyandarkan diri di tembok dengan memejamkan matanya.
Afnan.
Ternyata Afnan sudah memperhatikan keduanya sejak tadi. Ia pun sama-sama merasakan kesedihan di dalam hatinya. Ia merasa benar-benar jahat terhadap Nazifa juga adiknya.
Mungkinkah Zee juga memiliki perasaan yang sama terhadap Bara? gumam Afnan dalam hati.
Tapi ia pun tak bisa mengelak dari perasaannya sendiri kalau dia begitu menginginkan Nazifa. Tak terasa bulir bening menetes dari sudut matanya. Mamanya yang muncul dan menyadari apa yang terjadi, langsung memeluk Afnan.
"Semuanya akan baik-baik saja, sayang. Serahkan semuanya sama Allah. Semua sudah di atur. Kita tinggal menjalaninya saja. Mama yakin Allah tau mana yang terbaik." Mamanya coba menenangkan Afnan.
Afnan menganggukan kepala dan semakin mengeratkan pelukannya.
"Tenang, sayang. Ini bukan salah siapapun. Bukan salahmu, Bara, ataupun Nazifa. Ini semua sudah takdir dan kehendak-Nya."
"Makasih, Ma." Afnan melepaskan pelukan mamanya.
"Kamu mau masuk sekarang?" tanya Mamanya.
Afnan menganggukan kepala.
"Mama tunggu di sini ya," ucap Mamanya.
"Iya, Ma."
Afnan menarik nafas dalam-dalam sebelum masuk ke ruangan itu.
🌸🌸🌸
"Tok ... Tok ...." Afnan mengetuk pintu yang setengah terbuka.
Nazifa dan Bara sama-sama menoleh ke arah pintu. Cepat-cepat Nazifa menghapus jejak air matanya. Begitupun dengan Bara. Nazifa berdiri dari kursi dan menundukan kepalanya, menyembunyikan matanya yang pasti sudah sangat sembab karena menangis.
Afnan menghampiri mereka sembari tersenyum.
"Bara ... Gimana keadaan kamu? Aku bersyukur pas denger kabar dari Mama kalau kamu udah sadar," ucapnya ramah.
"Iya, Bang. Makasih," jawab Bara datar.
"Zee ...."
"I-i-iya, Mas." Nazifa masih menundukan wajahnya. Tak berani menatap Afnan.
"Kenalin. Ini adikku. Namanya Bara."
Nazifa menatap Bara sekilas. Bara tersenyum tipis pada Nazifa.
"Iya, Mas. Zee udah kenal sama Bara. Tapi Zee baru kalau dia adiknya Mas," jawab Nazifa jujur.
"Oh ya? Kamu kenal Bara?" Afnan kaget.
"Iya, Mas. Bara teman baik Zee."
Jleb!
Kata 'teman' yang diucapkan Zee layaknya belati yang ditusukkan tepat ke jantung Bara. Sakit! Luka hati Bara yang masih menganga terasa semakin perih bagaikan di taburi garam.
Afnan terlihat mengangguk-anggukan kepala.
"Kamu temenin Mama di luar dulu ya, Zee. Ada yang mau aku omongin dulu sama Bara." Afnan mengusap kepalanya lembut.
Nazifa mengangguk dan berlalu meninggalkan mereka berdua.
🌸🌸🌸
Dada Bara terlihat kembang kempis menahan rasa iri dan cemburu. Ada desir perih yang mendera di dalam hatinya.
Harusnya aku yang di posisi itu! Harusnya aku yang membelai lembut kepala Nazi! Jerit Bara dalam hati.
Ya Allah ... Kuatkan aku, ikhlaskan aku menerima semua ini!
"Bara ...," panggil Afnan lembut.
Bara diam tak menjawab.
"Maaf." Afnan mengusap rambut adiknya.
"Maaf untuk apa?" tanya Bara datar berpura-pura tak mengerti maksud Kakaknya.
"Maaf karena tanpa sengaja menyakitimu," ucap Afnan lirih. "Maaf juga karena tanpa sengaja merebut wanita yang kamu cintai. Aku bener-bener nggak tau kalau kamu juga mencintai Nazifa. Bahkan aku nggak tau kalau kalian saling mengenal."
Mata mereka saling menatap satu sama lain untuk beberapa saat.
"Jika seandainya Bang Afnan tau dari awal ... Apa Bang Afnan mau dan rela melepaskan Nazifa buat Bara?" tanya Bara dengan nada penuh penekanan.
Afnan menunduk terdiam. Tak memberikan jawaban atas pertanyaan adiknya. Hanya helaan nafas yang terdengar darinya.
Bara tersenyum getir. Melihat dari raut wajah Kakaknya saja, Bara sudah tau apa jawabannya. Kakaknya tak akan pernah rela melepaskan Nazifa.
"Pulanglah, Bang. Aku pengen sendiri." Bara membuang muka menatap jendela.
Ia tak mau bulir bening yang hampir menetes itu dilihat Kakaknya.
"Bara ... Kamu boleh minta apapun yang kamu mau. Aku pasti kasih! Tapi untuk Nazifa ... Maaf aku nggak bisa," tegas Afnan.
Bara menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar.
"Sudahlah, Bang. Aku sadar itu juga bukan salahmu. Akulah yang salah. Karena nggak bisa tegas dengan perasaanku sendiri. Harusnya dari dulu Bara terus terang sama Nazi tentang perasaan Bara," terang Bara.
"Bara ... aku nggak mau menyakitimu lebih jauh lagi. Aku juga menyayangimu. Maka dari itu ... aku akan bawa Zee pergi dari rumah Mama," tutur Afnan.
Deg!
"Maksud Bang Afnan apa?" Bara terkejut dengan ucapan Kakaknya.
"Aku akan bawa Zee pindah. Kurasa itu jalan terbaik buat kita semua," jelas Afnan.
Bara meremas kuat-kuat selimutnya. Rahangnya mengeras. Ia mengerti maksud baik dari Kakaknya. Tapi ia tidak rela. Ia masih belum rela melihat Nazifa pergi.
"Pengecut!" sindir Bara.
Afnan terkejut. "Maksudmu?"
"Bang Afnan pengecut! Apa Bang Afnan nggak yakin dengan cinta bang Afnan? Apa Bang Afnan nggak yakin dengan perasaan abang sendiri?" tanya Bara dengan nada tinggi dan bergetar menahan emosi.
"Tapi Bara ...."
"Apa Bang Afnan takut aku akan merebut Nazi? Hah! Apa Bang Afnan pikir aku selicik itu?" Bara emosi. "Harusnya Bang Afnan bisa tunjukin pada Bara, kalau Bang Afnan memang laki-laki yang tepat buat Nazi! Nggak usah peduliin perasaan Bara! Bara bukan anak kecil! Bara bisa ngendaliin perasaan Bara sendiri! Apa Bang Afnan nggak percaya sama Bara? Hah!" Emosi Bara menggebu-gebu.
Afnan terdiam mendengar semua perkataan Bara yang penuh emosi.
"Bang Afnan nggak perlu bawa Nazi pergi. Biarkan Bara membiasakan diri dengan posisinya sebagai kakak ipar," ujar Bara.
"Satu hal yang perlu Bang Afnan tau, sekali aja Bang Afnan nyakitin Nazi, aku nggak akan ragu-ragu buat ngerebutnya dari Bang Afnan!" Tegas Bara dengan nada penuh penekanan.
Afnan menghela nafas berat kemudian berdiri.
"Aku pulang dulu. Kamu cepet sembuh." Afnan mengusap kepala Bara lalu berjalan pelan keluar kamar.
Bara menangis. Air mata yang daritadi sudah ia tahan akhirnya tumpah juga.
Maafin aku Bang! Maafin aku! Maaf karena aku sengaja menggunakan alasan pengecut. Bara cuma nggak mau Bang Afnan bawa Nazi pergi. Aku belum siap kehilangan Nazi sepenuhnya. Belum Bang! Setidaknya biarkan aku melihatnya. Aku akan belajar untuk mengikhlaskannya. Kasih waktu aku buat melupakannya. Meski Bara sendiri nggak tau sampe kapan.
Dulu Bara punya hati baja yang sulit untuk menangis. Apalagi hanya karena masalah wanita dan cinta. Tak pernah ia menitikkan air mata meskipun dikhianati. Tapi sekarang, ia begitu rapuh. Nazifa telah merenggut kebekuan hatinya. Cintanya terhadap Nazifa merapuhkan pertahanannya.
★★★