Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 12 - Part 12 - Rasa yang berbeda

Chapter 12 - Part 12 - Rasa yang berbeda

"Zee ... Bangun, Zee." Afnan mengusap lembut pipi Nazifa dengan jarinya yang dingin.

Nazifa menggeliat mendapat sentuhan dingin itu.

"Iya, Bu." Nazifa mengucek-ngucek matanya.

"Ini aku, Zee. Afnan. Suamimu."

Nazifa terperanjat dan langsung memposisikan dirinya duduk.

"I-i-iya maaf, Mas." Nazifa merasa tak enak hati.

Ia melihat penampilan Afnan sudah rapi mengenakan baju koko, sarung dan pecinya.

"Bentar lagi adzan subuh. Aku ke mesjid dulu, ya." Afnan mengulurkan tangannya pada Nazifa.

Nazifa menyambut uluran tangannya itu dan menciumnya kemudian bergegas ke kamar mandi. Tak lama adzan subuh pun terdengar berkumandang dengan merdunya. Setelah selesai menunaikan shalat subuh, Nazifa ke dapur untuk membantu ibu menyiapkan sarapan.

"Udah shalat, sayang?" tanya Ibunya.

"Udah, Bu."

"Zee?"

"Kenapa, Bu?" tanyanya sambil memotong-motong sayuran.

"Gimana nak Afnan? Baik kan?"

"Belum tau, Bu. Baru juga sehari jadi suami. Zee belum tau karakter aslinya," jawab Nazifa.

"Tapi ibu yakin banget loh, Zee! Kalau Nak Afnan itu pria yang baik. Ganteng lagi. Pasti nanti cucu Ibu seganteng dia," kata ibunya sambil cekikikan.

"Ish ... Ibu mah ngomongnya ... Udah caca cucu aja," ketus Nazifa.

Ibunya malah tertawa ringan melihat wajah putrinya yang cemberut.

"Assalamu'alaikum." Ayahnya Nazifa dan Afnan mengucapkan salam bersamaan.

"Wa'alaikumsalam," jawab Nazifa dan Ibunya.

"Zee ...." Ibunya mencolek lengan Nazifa yang sedang membalikkan gorengan bakwan.

"Hmm?"

"Suamimu pulang dari mesjid itu di sambut, sayang. Sana! Biarin itu ibu yang lanjutin."

"Iya, Bu," jawab Nazifa seraya menghampiri Afnan yang baru masuk.

Nazifa mencium tangan Afnan dan juga Ayahnya, lalu mengekori Afnan yang masuk ke dalam kamar.

"Mas ...," panggil Nazifa.

"Hmm?"

"Mau Zee buatin kopi atau teh?" tanyanya.

"Teh aja," jawab Afnan seraya melepas pecinya.

"Kalau gitu, aku ke dapur lagi ya, Mas."

"Zee." Panggilan Afnan menghentikan langkah Nazifa.

Afnan menghampiri dan berdiri di depan Nazifa masih dengan baju koko dan sarungnya.

"Jangan diuwel-uwel terus kerudungnya." Afnan melepaskan jari-jari Nazifa yang memilin ujung kerudung.

"I-iya maaf, Mas. Zee kebiasaan," jawab Nazifa terbata dengan tangan berpindah meremas rok.

Mas Afnan terkekeh. Sejurus kemudian dia berjongkok di depan istrinya itu, menopang dagu dengan kedua tangan di lututnya. Wajahnya yang dihiasi senyuman, mendongak memandang Nazifa

"M-m-mas ngapain?" tanya Nazifa gugup.

"Ngeliatin kamu. Habisnya aku pengen liat wajah manis kamu, tapi kamunya nunduk mulu," goda Afnan.

Blush!

Ya Allah ... Entah sudah semerah apa pipi Nazifa. Yang pasti terasa panas.

"A-a-aku ke dapur lagi ya, Mas," kata Nazifa hendak berlalu dari hadapan suaminya.

Namun Afnan menahan lengannya kemudian ia berdiri dan mencium pucuk kepala Nazifa.

Ya Allah, tolong! Rasanya jantungku sudah copot menggelinding, jerit Nazifa dalam hati.

Dengan cepat-cepat Nazifa keluar kamar dan menutup pintu. Menarik nafas dalam-dalam beberapa kali dan menghembuskannya perlahan. Kedua tangannya meraba pipi yang terasa panas.

Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku begitu gugup seperti ini?

Sementara itu dibalik pintu, Afnan tengah senyum-senyum sendiri dengan wajahnya yang terlihat merona. Sesekali ia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil nyengir. Sejujurnya ia pun gugup saat berhadapan dengan Nazifa. Namun ia berhasil mengontrol dan menyembunyikan kegugupannya. Ia benar-benar merasa bahagia. Tak percaya jika gadis yang selama ini ia cintai diam-diam dari jarak jauh, sudah berhasil ia miliki meski belum seutuhnya.

"Allahu akbar!" Nazifa kaget dengan tepukan Ibunya di bahu. "Ibu nih, ngagetin Zee aja."

"Lah kamu yang kenapa, Zee. Ibu nepuk pelan kok kaget sampai segitunya." Ibunya menggeleng-gelengkan kepala.

"Nggak kok, Bu. Nggak apa-apa."

"Kamu lanjutin bikin nasi goreng buat sarapan, ya. Ibu mau ke warung dulu," ujarnya seraya berlalu keluar rumah.

Nazifa melanjutkan aktivitasnya di dapur sedangkan Afnan dan Ayah Nazifa terlihat sedang mengobrol di depan tv. Selesai memasak nasi goreng, Nazifa mengantarkan 2 cangkir teh hangat dengan sepiring bakwan dan pisang goreng.

"Duduk sini, Zee," pinta Ayahnya saat melihat Nazifa hendak kembali ke dapur.

"Bentar, Pak. Zee mau ambil cabe dulu."

Nazifa kembali dari dapur dengan membawa segenggam cabe rawit hijau di tangan. Afnan tak henti menatap Nazifa yang sedang menyantap gorengan sambil menonton TV dengan begitu nikmatnya.

Satu bakwan, habis lebih dari 10 cabe? Ya Allah ... Bisa bolak-balik ke kamar mandi terus kalau itu aku, gumam Afnan dalam hati.

"Apa Zee selalu makan cabe sebanyak itu, Pak?" tanya Afnan heran.

"Oh betul itu! Malahan dia lebih milih nggak makan kalau nggak ada cabe di rumah," Ayah Nazifa tertawa.

Afnan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Apa perutmu nggak sakit Zee, kalau makan cabe sebanyak itu?" tanya Afnan dengan nada khawatir.

"Alhamdulillah nggak," jawab Nazifa sembari tetap menyantap bakwan.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka serempak.

"Udah belanjanya, Bu?" tanya Ayah Nazifa.

"Udah, Pak."

"Ya udah. Ayo kita sarapan bareng. Ayo, Nak Afnan." Ayah Nazifa beranjak dari sofa ke meja makan.

Nazifa langsung menyusul mengekori Ayahnya. Begitupun dengan Afnan, ia berjalan di belakang Nazifa.

"Kenapa nasi gorengmu beda, Zee?" tanya Afnan.

"Aku lebih suka nasi goreng tanpa kecap, Mas. Level pedesnya juga beda. Makanya aku pisahin bikinnya," jawab Nazifa santai.

Afnan menghela nafas berat.

Cabe lagi. Apa dia nggak peduli sama kesehatannya? batin Afnan khawatir.

"Oh ya Pak, Bu. Rencananya setelah sarapan ini saya mau kembali ke Jakarta. Jadi saya mau minta izin sama Bapak, sama Ibu, buat bawa Zee. Soalnya saya khawatir dengan keadaan adik saya. Kasian juga Mama sendirian ngurus-ngurus di Rumah Sakit," tutur Afnan.

Nazifa yang mendengar hal itu sontak menghentikan makannya.

Pindah ke rumah Mas Afnan? Hari ini?

"Iya, Nak. Tentu saja kami izinkan. Kamu itu suaminya Zee, jadi tentu Zee harus ikut kemanapun kamu pergi," jawab Ayah Nazifa, "asal jangan ke jurang aja," candanya.

Semuanya tertawa mendengar candaan Ayah Nazifa, kecuali Nazifa sendiri.

🌸🌸🌸

Selesai sarapan, Afnan langsung bersiap-siap. Begitupun dengan Nazifa yang tengah memilih baju yang akan ia bawa.

"Bawanya nggak usah banyak-banyak ya, Zee," ucap Afnan yang sudah selesai bersiap.

"Kenapa, Mas?"

"Nanti beli aja di sana," jawab Afnan.

"Tapi Mas ...."

"Zee ...." Mas Afnan memotong ucapannya.

"Iya," jawab Nazifa pasrah memasukkan lagi baju ke lemari.

Tanpa Nazifa sadari, matanya diam-diam menatap ke arah Afnan. Memperhatikan penampilannya. Celana Chino dipadukan dengan kemeja abu-abu yang digulung lengannya hingga siku.

Sepertinya Afnan memang selalu memakai pakaian yang terlihat semi formal. Kecuali saat tidur.

"Ehem!" Afnan berdehem. "Kenapa Zee?"

"Ng-nggak Mas. Nggak apa-apa." jawab Nazifa. Jadi malu sendiri karena ia kepergok menatap Afnan.

Tak lama Nazifa dan Afnan sudah siap berangkat ke Jakarta. Afnan sudah memasukkan koper mereka ke dalam mobil. Ibu Nazifa masih memeluk dalam tangisnya.

"Tolong jaga anak kami ya, Nak Afnan. Bapak titip Zee." Ayah Nazifa memeluk Afnan.

"Iya, Pak. Bapak nggak usah khawatir. Saya janji akan bikin Zee bahagia," ucapnya mantap.

"Bapak ...." Nazifa menangis memeluk Ayahnya.

Meskipun Ayahnya terkadang tegas tak bisa dibantah, Tapi dia sosok ayah yang baik bagi Nazifa.

"Sudah, sudah. Jangan nangis. Nanti kapan-kapan Bapak main ke tempat kalian," ucapnya menenangkan Nazifa yang terisak.

"Nak Afnan ... Ibu titip Zee, ya. Dia terkadang manja. Pikirannya juga belum dewasa. Semoga Nak Afnan bisa lebih sabar," kata ibu Nazifa dengan tetesan air mata yang masih terlihat.

"Insya Allah, Bu. Afnan akan berusaha jadi suami yang baik buat Zee," ucap Afnan seraya tersenyum manis menatap Nazifa.

"Kami pamit dulu," ucap Afnan sembari mencium tangan kedua Orangtua Nazifa bergantian.

"Bu ... Zee pamit." Nazifa mencium tangan ibunya masih dengan isakan.

"Nurut sama suami ya, Zee." Ibunya mengusap lembut kepala putrinya.

Nazifa mengangguk pelan lalu gantian mencium tangan Ayahnya.

"Hati-hati!" seru Orangtua Nazifa  sembari melambaikan tangan sesaat sebelum mobil mereka melaju meninggalkan mereka.

"Jangan sedih ya, Zee. Nanti kan kita bisa dateng lagi," Afnan menghibur Nazifa yang masih terisak.

Nazifa menganggukan kepalanya. Tak lama kemudian, ia merasakan musuh bebuyutannya mulai terasa kehadirannya. Pusing! Beberapa kali menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Duduk pun jadi tak tenang. Gelisah. Nyender salah, nggak nyender pun salah.

"Kamu kenapa, Zee?" tanya Afnan khawatir.

"Pusing ...," jawab Nazifa lirih.

"Pusing? Ya udah tidur aja. Nanti dibangunin kalau udah nyampe." Afnan mengusap-usap lembut kepala Nazifa dengan tangan kirinya.

Nazifa mencoba memejamkan matanya untuk mengusir rasa pusing ini. Namun percuma! Cara ini sama seperti biasanya, tak pernah berhasil! Kembali mencoba berbagai posisi duduk yang nyaman, lalu Menyandarkan kepala ke dashboard mobil. Tetap saja kepalanya disergap rasa pusing yang luar biasa. Ditambah jalan yang berkelok-kelok membuatnya sudah tak tahan lagi. Seluruh isi perut rasanya sudah berdesak-desakan di tenggorokan minta keluar.

Tangan kanan Nazifa mencolek lengan Afnan dengan lemah lalu menunjuk-nunjuk tepi jalan, memberi kode agar Afnan menepikan mobilnya dulu. Untungnya Afnan paham dengan kode yang diberikan. Karena Nazifa benar-benar tak berani untuk membuka mulutnya. Bahaya!

Dengan terburu-buru Nazifa melepas sabuk pengaman dan keluar dari dalam mobil.

Huek!

Tak terelakkan lagi, Nazifa  memuntahkan seluruh isi perut yang baru baru diisi tadi pagi. Afnan menatapnya dengan khawatir. Tangannya tak berhenti menepuk-nepuk lembut punggung Nazifa.

"Kamu kenapa nggak bilang kalau kamu mabukan tiap naik mobil? Kan bisa aku cariin obat dulu tadi ke apotek."

Nazifa tak menjawab. Lemas rasanya. Tak ada tenaga untuk menjawab. Nazifa berjongkok. Afnan masuk ke dalam mobil lalu kembali dengan membawa sebuah botol minum.

"Minum dulu, Zee."

Nazifa menerimanya lalu meneguk air putih itu sedikit.

"Pusing, Mas," rengek Nazifa lalu menyandarkan keningnya di atas lutut.

Tangan Afnan masih setia memijat kepala Nazjfa.

.

"Mas ...," panggil Nazifa dengan suara lirih. "Nanti boleh nggak, kalau AC mobilnya dimatiin aja? terus jendelanya dibuka. Biar ga terlalu pusing," pinta Nazifa lirih.

"Iya, Zee. Nanti AC nya aku matiin. Ayo!" Afnan memapah Nazifa kembali ke mobil.

Pusing masih terasa di kepalanya tapi tak separah tadi. Mencoba memejamkan mata dan akhirnya tertidur.

Afnan sesekali menoleh ke arah Nazifa yang tertidur lalu mengusap kepalanya lembut.

"Kasian banget," gumam Afnan.

Tak lama ponsel Afnan berdering.

"Assalamu'alaikum, Ma," sapa Afnan.

"...."

"Iya, Ma. Ini Afnan udah di jalan."

"...."

"Bara udah sadar? Alhamdulillah."

"...."

"Iya, Ma. Ini juga udah deket kok. Nanti aku langsung ke Rumah sakit baru pulang ke rumah."

"...."

"Zee tidur, Ma. Kasian, pusing."

"...."

"Iya, Ma. Assalamu'alaikum."

🌸🌸🌸

Setengah jam kemudian kami tiba di sebuah Rumah Sakit Swasta di Jakarta.

"Zee ... Bangun, Zee."

Nazifa mengucek-ngucek matanya.  "Kita udah sampe rumah, Mas?" tanyanya.

"Belum, Zee. Ini kita di Rumah Sakit. Tadi Mama ngabarin kalau Bara udah sadar. Aku mau liat keadaannya dulu. Kamu nggak keberatan, kan?"

"Iya, Mas. Nggak apa-apa."

Sebenarnya Nazifa juga penasaran dengan adiknya Afnan. Entah kenapa Nazifa merasa jadi bersemangat untuk melihatnya.

Afnan tak pernah melepaskan genggaman tangannya selama mereka  berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit. Tanpa Nazifa sadari, hal itu berhasil mengukir sebuah senyuman di bibir Nazifa. Tak lama, mereka pun  tiba di depan kamar rawat adiknya Afnan.

"Keluarga dari pasien Bara Atma Purnama?" tanya seorang suster yang keluar dari dalam kamar rawat.

"Iya, Suster. Saya keluarganya," jawab Afnan.

"Mari ikut saya ke bagian Administrasi, Pak."

"Baik, Suster," jawab Afnan. "Zee, kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku nggak akan lama." Afnan meminta Nazifa duduk di bangku depan kamar.

"Iya, Mas."

Afnan pun pergi mengikuti Suster ke bagian administrasi. Rasa penasarannya tentang sosok adiknya Afnan kembali muncul. Nazifa beranjak dari bangku lalu melangkah perlahan ke arah jendela kamar rawat tempat di mana adiknya Afnan berada. Hingga akhirnya ...

★★★