Selama perjalanan pulang dari Rumah Sakit, tak ada percakapan yang terjadi antara Nazifa dan Afnan. Mereka sama-sama diam. Bahkan Afnan sama sekali tak berinisiatif memulai pembicaraan terlebih dahulu. Ah ... benar-benar terasa canggung sekali.
Beginikah rasanya menikah dengan orang yang sama sekali tidak kita kenal?
Kemungkinan Afnan memang sedang khawatir dengan kondisi adiknya. Dan Nazifa? Entahlah. Ia sendiri tidak mengerti dengan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Hatinya gelisah. Perasaan yang mengganjal itu masih mengusik hatinya. Tapi Nazifa pun bingung karena tidak tau apa penyebabnya.
Afnan mengendarai sepeda motor dengan kecepatan normal, tidak seperti saat berangkat tadi. Hal itu membuat Nazifa sedikit lega karena ia tak perlu berpegangan padanya lagi. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Hanya suara deru kendaraan dan angin yang saling bersahutan. Andai bersama Bara, dia tak akan pernah membiarkan semenit pun berlalu tanpa kata-kata.
Bara ... Kenapa aku selalu teringat padanya? Apa dia baik-baik saja?
Saat ponsel Nazifa sudah dikembalikan Ayahnya, ia sempat mengecek pesan yang ia kirim terakhir kali pada Bara. Tercentang Biru. Tapi itu adalah waktu terakhir kali Wa nya aktif.
Nazifa menghela nafas berat. Mencoba mengusir kegelisahan hatinya. Nazifa dikejutkan oleh Afnan yang tiba-tiba mengerem mendadak motornya. Tak terhindarkan lagi helmnya pun membentur helm milik Afnan.
"Maaf, Zee," ucap Afnan.
Ternyata Afnan berhenti di sebuah Kedai Bakso 24 jam.
"Kita makan Bakso dulu ya, Zee. Kamu suka Bakso, kan?" tanyanya seraya membuka helmnya.
Nazifa mengangguk pelan.
"Mau aku bantu bukain helmnya lagi ga?" godanya seraya tersenyum pada Nazifa.
Nazifa menggelengkan kepalanya cepat.
"Ayo," ajaknya.
Mereka pun memesan Bakso 2 Porsi dengan minumnya teh manis hangat. Saat pesanan telah tersaji di meja, Afnan tercengang melihat Nazifa yang menambahkan begitu banyak sambel ke dalam mangkok baksonya. Afnan menahan tangan Nazifa di udara saat hendak memasukkan sambel lagi.
"Zee, kamu nggak salah masukin sambelnya?" tanyanya keheranan.
Nazifa menahan senyum melihat ekspresi Afnan yang kebingungan.
"Nggak, Mas. Zee udah biasa kok makan begini," jawab Nazifa santai.
"Tapi Zee ... Itu kamu udah masukin 4 sendok loh sambelnya," ucap Afnan lagi dengan khawatir.
"Iya, Mas. Tapi Zee mah udah biasa," jawab Nazifa sambil menyendok sambel lagi.
Afnan mengambil sendok sambal dari tangannya dan menyimpannya kembali. Nazifa menatap tak percaya. Kesal. Ia menggeser mangkok Baksonya sedikit menjauh dengan cemberut. Menyeruput teh manis dengan pandangan menatap ke arah lain.
"Zee ...," panggil Afnan lembut saat melihatnya cemberut.
Nazifa bergeming.
"Baksonya di makan dong, Zee," bujuknya.
"udah nggak laper," ucap Nazifa datar.
"Zee ...."
"Aku nggak bisa Mas, kalau makan Bakso nggak pedes. Nggak enak," rengek Nazifa.
Afnan terlihat menghela nafas berat.
"Ya udah. Tapi sesendok lagi aja, ya!" ucapnya memperingatkan.
"Iya," jawab Nazifa pelan kemudian memasukkan sesendok sambel lagi.
Afnan terlihat tidak begitu menikmati Bakso di hadapannya. Ia malah sibuk memperhatikan Nazifa yang sedang lahap makan Bakso dengan tatapannya yang heran.
"Enak ya, Zee?" tanyanya tiba-tiba.
Nazifa menganggukan kepalanya cepat sambil tetap fokus dengan makanan. Nazifa yang menyadari kalau Afnan masih terpaku menatap ke arahnya, mencoba memandangnya sekilas.
"Ehm!" Nazifa berdehem. "Mas Afnan mau?" tanyanya.
"Boleh?" Afnan memastikan dengan wajah sumringah.
"Nggak boleh," jawab Nazifa to the point.
Raut wajah Afnan jadi berubah kecewa. Nazifa menahan tawa melihat ekspresinya itu.
"Nih." Nazifa menyodorkan sendok yang berisi bakso potongan kecil padanya.
Afnan tersenyum kembali kemudian menerima suapannya.
"Uhuk ... Uhuk!" Afnan langsung tersedak saat bakso itu masuk ke dalam mulutnya.
"Minum, Mas. Minum!" Nazifa menyodorkan gelas minum padanya.
"Pedes banget, Zee," ucapnya dengan raut wajah kepedesan.
"Iya maaf, Mas ... Maaf. Kan emang ini pedes. Tadi Mas sendiri yang mau," jawab Nazifa.
"Habisnya aku kalau ngeliat kamu makan, kayaknya enak banget."
Nazifa tersenyum mendengar jawabannya dan kembali melanjutkan makannya. Keringat mengalir di keningnya. Memang pedas! Tapi Nazifa suka. Sesekali ia mengusap kasar keringatnya dengan tangan. Nazifa terkejut saat tangan Afnan tiba-tiba terulur ke arahnya lalu mengelap sudut bibirnya yang terdapat saos. Nazifa jadi salah tingkah saat Afnan melakukan itu. Terlebih lagi beberapa orang di kedai ini memperhatikan mereka.
"A-aku bisa lap sendiri kok, Mas." Nazifa mengambil tisu dari tangan Afnan. "Nggak enak diliat orang." ucap Nazifa pelan.
Afnan tertawa kecil. "Emang kenapa? Kamu kan istriku."
"Uhuk ... Uhuk!" Giliran Nazifa yang tersedak mendengar ucapannya.
Segera ia teguk minuman di depannya.
Benar! Aku lupa kalau sekarang statusku adalah istrinya. Ya Allah ... Rasanya masih belum percaya kalau ternyata aku sudah menikah.
Afnan tersenyum melihat Nazifa yang gugup. Mata hitam indahnya terus menerus menatap Nazifa sambil sesekali menyuap makanannya. Nazifa merasa tak nyaman di tatap terus seperti itu.
"Mas kenapa? Ada yang aneh sama muka, Zee?" Nazifa meraba-raba wajahnya.
"Nggak," ucapnya seraya menggelengkan kepala.
"Terus?" tanya Nazifa sambil tetap makan.
"Aku bahagia. Akhirnya aku bisa mandang kamu sepuasnya," jawab Afnan dengan senyum bahagia yang terlihat jelas mengembang di bibir tipisnya.
Ada debaran aneh yang terasa saat mendengar ucapan Afnan. Rasa hangat pun terasa menjalar di wajah Nazifa. Nazifa menundukan pandangan untuk menyembunyikan rona merah di wajah.
Ah ... Aku ini kenapa, sih? Kenapa juga harus jadi gugup begini? batinnya.
Setelah selesai makan, Afnan pamit ke toilet sebentar saat mereka hendak pergi meninggalkan Kedai Bakso. Nazifa yang sedang menunggu sendiri di motor, teringat lagi akan Bara. Segera ia merogoh Ponsel dari dalam Tasnya. Mengecek waktu terakhir online Wa nya, ternyata masih sama. Mencoba menghubunginya, tapi ternyata memang nomernya Bara tidak aktif.
Apa Bara marah padaku? tanyanya dalam hati.
"Nelpon siapa, Zee?" tanya Afnan yang muncul dari belakangnya.
"Temen, Mas," jawab Nazifa singkat.
"Ooh ...," jawab Afnan datar. "Ayo, pulang. Udah jam 10," ajaknya.
Nazifa menganggukan kepala dan mereka pun segera pergi meninggalkan Kedai Bakso.
🌸🌸🌸
Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di rumah Nazifa. Lampu rumah sudah terlihat gelap. Kemungkinan Orangtua Nazifa sudah pergi tidur karena lelah. Beruntung Nazifa membawa kunci cadangan rumahnya. Afnan langsung memasukkan motor setelah Nazifa membuka pintu.
Nazifa terduduk di sofa depan TV. Lelah sekali rasany. Gara-gara Insomnia saat malam pernikahan, kemudian ditambah acara akad nikah dan resepsi, dan langsung bergegas pergi ke Rumah Sakit saat acara resepsi selesai. Lemas rasanya. Pegal.
Nazifa pikir akan lebih baik kalau ia mandi air hangat untuk menyegarkan badan. Ia pun beranjak dari sofa menuju ke kamarnya untuk mengambil baju ganti dan handuk. Nazifa lupa akan kehadiran seseorang yang sedari tadi diam memperhatikannya sambil sesekali tersenyum. Hingga panggilannya menghentikan langkah Nazifa.
"Zee."
"Iya, Mas?" Nazifa menoleh padanya.
"Kamu ... Mau mandi duluan?" tanyanya tersipu malu.
Nazifa mengernyitkan dahi melihat wajah Afnan yang sedikit memerah.
"Iya. Kenapa?" tanya Nazifa polos.
"Nggak. Nggak apa-apa," jawab Afnan masih dengan senyuman.
Ish ... Ada apa dengan Mas Afnan? Aneh sekali, kata Zee dalam hati.
Nazifa melanjutkan langkah kakinya ke kamar. Namun matanya langsung melotot dengan tangan menutup mulut saat pintu kamar ia buka. Segera ia tutup kembali pintu dan menguncinya dari dalam. Kasur yang dibalut seprei warna maroon dengan taburan bunga mawar dan melati di atasnya. Wangi bunga melati masih tercium menusuk hidung. Nazifa langsung panik seketika. Jantung berdegup kencang.
"Ya Allah, aku lupa dengan ini. Aku lupa kalau ini malam pertama pernikahanku," gumamnya sambil menggigit bibir bagian bawah.
Tak lama Afnan memanggilnya.
"Zee! Aku mau ngambil baju," panggilnya lembut sambil mengetuk pintu kamar yang Nazifa kunci.
Terlihat memang ada satu koper yang tergeletak dekat meja belajar.
"I-i-iya, Mas. Sebentar," jawab Nazifa gelagapan.
Nazifa mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba mengusir kekhawatirannya. Berdehem beberapa kali dan berusaha memasang wajah setenang dan sebiasa mungkin baru kemudian membuka pintu.
Ceklek!
Afnan terlihat berdiri tegak di depan pintu. Nazifa melewatinya dengan ekspresi sedatar mungkin. Meskipun sebenarnya jantungnya berdetak tak karuan. Segera masuk ke kamar mandi tanpa menoleh sedikitpun. Afnan terlihat menahan senyum saat melihat Nazifa berlalu melewatinya.
Mungkinkah aku gagal menyembunyikan kegugupanku? tanya Nazifa dalam hati.
Di dalam kamar mandi, bukannya Nazifa segera keluar setelah selesai menyegarkan badan tapi malah berdiri mematung dengan mengigit kuku jari. Tubuhnya yang baru saja terasa segar mendadak kembali terasa gerah.
Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku belum siap, batinnya.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba Afnan mengetuk pintu kamar mandi.
"Zee, masih lama nggak? Aku udah kebelet."
Nazifa membelalakkan mata mendengar ucapannya.
"Ke-ke-kebelet?" tanyanya terbata.
"Iya. Aku mau ke toilet," jawab Afnan.
Nazifa menepuk jidat sendiri mendengar jawaban Afnan.
Apa yang sedang kamu pikirkan, Zee! batinnya kesal.
Nazifa segera keluar dan Afnan dengan terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi.
Di dalam kamar, kepanikan masih menguasai Nazifa. Ia berjalan mondar-mandir ke sana kemari. Kepalan tangan kanan memukul-mukul telapak tangan sebelah kiri.
Apa yang harus aku lakukan?
Apa aku ke kamar Bapak sama Ibu aja?
Oh itu nggak mungkin, pasti mereka langsung memarahiku.
Atau Mas Afnan aku suruh tidur di depan TV kayak kemarin? Ah ... Ini juga tidak mungkin.
Aku harus bagaimana Ya Allah? Ingin rasanya aku kabur aja dari sini.
Nazifa mengelap kasar keringat dinginnya. Tubuhnya gemetar. Di tengah kepanikannya, ia melirik ke sudut kamarnya. Senyum tipis pun mengembang saat terbersit sebuah ide dalam kepalanya.
🌸🌸🌸
Afnan keluar kamar mandi menggunakan kaos putih dengan celana hitam pendek selutut. Tangannya menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil.
Krieet!
Pintu kamar dibukanya, namun ia tak mendapati sosok istrinya itu ada di dalam kamar. Ia masuk dengan tatapan bingung.
Kemana Nazifa? pikirnya.
Ia kembali keluar kamar mencari istrinya. Tapi baru beberapa langkah dari pintu, ia terhenti.
Rumahnya tidak besar. Kemana Nazifa pergi?
Apa ia masuk ke kamar Orangtuanya?
Ah ... Rasanya tidak mungkin.
Lalu kemana? Mustahil dia keluar rumah malam-malam begini.
Afnan bergelut dengan pemikirannya sendiri. Ia masuk ke kamar lagi dan duduk di bibir kasur.
Seketika matanya menangkap ada sesuatu yang ganjil di lemari baju yang ada di pojokan. Pintu lemari dua pintu itu sedikit ada celah yang terbuka karena kain yang mengganjal. Ia pun berjalan pelan-pelan sekali ke arah lemari itu. Tanpa aba-aba, ia langsung membuka lemari itu.
Betapa terkejutnya Afnan saat pintu lemari itu terbuka. Ia menemukan Nazifa, gadis yang baru saja sah menjadi istrinya, tengah duduk memeluk lutut di sela-sela pakaian yang menggantung dengan raut wajah ketakutan.
"Ya Ampun, Zee. Kamu ngapain masuk ke dalem lemari?" tanya Afnan heran.
Yang ditanya malah nangis. Afnan bingung dengan apa yang dilihatnya. Sebenernya Afnan ingin tertawa melihat Nazifa seperti itu. Tapi ia berusaha menahan tawanya itu.
Setakut itukah Nazifa padaku? gumamnya dalam hati.
Afnan menghembuskan nafas perlahan. Kemudian tanpa berbasa-basi, ia mengangkat tubuh Nazifa dengan cara mengangkat kedua sisi bagian atas lengannya layaknya bayi dan medudukannya di bibir kasur. Nazifa terkejut dengan tindakan Mas Afnan.
"Mas jangan angkat aku kayak gitu," kata Nazifa yang masih terisak dan membuang muka ke arah samping karena malu.
Mentang-mentang badanku kecil, maen angkat aja, gerutunya dalam hati.
"kenapa? nggak boleh?" tanyanya lembut ikut duduk di kasur.
"Emangnya Zee bayi?" Nazifa memilin-milin ujung piyamanya.
"Terus kenapa kamu sembunyi di dalem lemari?" tanyanya menyelidik seraya menggeser posisi duduknya mendekati Nazifa.
Nazifa kaget saat tubuh Afnan merapat padanya. Nazifa spontan hendak menggeser tubuhnya namun Afnan menahan kedua bahunya.
Seketika tubuh Nazifa mematung, kaku. Jantungnya berdetak cepat tak karuan. Bersusah payah menelan ludah. Apa Mas Afnan ...
Ya Allah ... Aku tau 'hal itu' memang kewajibanku. Namun aku takut, aku belum siap. Dosakkah aku jika berharap Mas Afnan tak meminta haknya malam ini?
"Zee," panggil Afnan lembut seraya memutar tubuh Nazifa menghadapnya.
"Liat aku." Afnan mengangkat dagu Nazifa.
Nazifa mencoba memberanikan diri menatap matanya. Mata mereka saling bertemu. Tatapan Afnan begitu dalam memandang Nazifa. Sampai-sampai Nazifa tak tahan menatapnya lama-lama. Bermaksud menundukkan kembali wajahnya tapi Afnan menahannya.
"Apa kamu nggak bisa percaya sama aku?" tanya Afnan lembut.
Ingin ia sahut. Nggak, Mas. Lebih tepatnya, belum percaya.
Namun kata-kata itu tak mampu keluar dari mulutnya. Nazifa hanya terdiam.
"Jangan takut sama aku, Zee," ucap Afnan seraya mengangkat wajah Nazifa dengan kedua tangannya.
"Aku tulus mencintaimu. Bahkan sudah sejak lama. Aku nggak akan memaksamu melakukan hal yang kamu belum siap. Aku berharap, kamu mau menerima perasaanku dan mulai belajar mencintaiku," ucap Afnan lembut namun tegas.
Tak terasa air mata Nazifa kembali berjatuhan. Tersentuh dengan ucapan Afnan.
Benarkah yang dikatakan Mas Afnan? Benarkah dia sungguh-sungguh mencintaiku?
Ada perasaan hangat yang menjalar di sekujur tubuh Nazifa.
Afnan mengusap lembut air matanya dengan jarinya.
"Jangan nangis lagi, Zee. Sudah terlalu banyak air matamu yang jatuh gara-gara aku." Mata Afnan berkaca-kaca.
Sedetik kemudian Afnan menggenggam lembut kedua tangan Nazifa kemudian menciumnya.
"Aku sayang kamu, Zee." Afnan tersenyum manis pada Nazifa.
Seketika wajah Nazifa langsung merona. Jantungnya semakin berdegup kencang.
Kenapa Mas Afnan bisa memperlakukanku dengan begitu manis? Bagaimana mungkin aku bisa menolak perasaannya jika dia selalu seperti ini? Eh!
"Kamu mau kan, jadi kekasih halalku?" tanya Afnan.
Nazifa tersipu malu, menganggukkan kepala pelan.
"Janji, ya. Mulai sekarang kita resmi pacaran." Afnan mengacungkan jari kelingkingnya kepada Nazifa.
"Janji," jawab Nazifa pelan seraya mengaitlan jari kelingkingnya pada jari kelingking Afnan.
"Makasih, Zee," ucap Afnan tulus. "Udah tengah malem. Sebelum tidur kita shalat sunnah 2 rakaat dulu, ya. Kamu mau, kan?"
Nazifa mengangguk.
Setelah selesai shalat sunnah 2 rakaat, Afnan menatap Nazifa yang tengah melipat sajadah dan mukena.
"Zee, apa kamu keberatan kalau aku tidur di sini?" tanyanya.
Nazifa menggelengkan kepala. "Mas boleh tidur di sini. Zee percaya sama Mas," jawab Nazifa tersenyum.
Afnan terlihat mengulum senyum lalu bergegas memposisikan diri berbaring di sebelah kanan kasur.
Tak bisa Nazifa pungkiri, sebenarnya perasaannya masih takut dan ragu harus tidur bersama Afnan.
Tapi bukankah Mas Afnan sudah sah menjadi suamiku? Setidaknya aku harus menghormati dan menghargai perasaanya. Dan aku pun sudah bertekad pada diriku sendiri, bahwa aku akan belajar mencintainya, pikir Nazifa.
Nazifa berjalan ke tempat tidur dengan perasaan dag dig dug.
Jujur, jantungnya tak bisa berhenti berdebar untuk saat ini. Ia mulai merebahkan tubuhnya di kasur. Menarik selimut sampai leher dan mencoba memejamkan mata. Kasur terasa bergoyang. Nazifa tau kalau Afnan mengubah posisi tidurnya dari terlentang menjadi miring menghadapnya.
Ya Allah, semoga dia tak mendengar bunyi detak jantungku yang bertalu-talu, do'anya dalam hati.
"Selamat tidur, Zee." Afnan mencium kening Nazifa.
Ya ampun, Mas. Sudah cukup bersikap manis padaku. Bisa-bisa aku pingsan di sini, batinnya.
Nazifa yang hanya berpura-pura tidur, merasakan wajahnya kembali menghangat. Semoga saja Afnan tidak melihat, karena saat ini sudah terdengar dengkuran halus berasal dari dirinya. Dia sudah tidur.
★★★