Nazifa mendengar Mas Afnan sedang berbincang dengan keluarganya di luar saat ia sedang di rias. Sepertinya rombongan keluarga pria telah tiba. Jantungnya semakin berdetak tak beraturan. Gelisah maksimal. Mata tak berhenti melirik ke arah jam dinding yang entah kenapa bunyi detak jarum jamnya begitu terdengar nyaring di telinga Nazifa.
Bara ... Kamu dimana?
Afnan menyambut keluarganya dengan senang. Tapi ia melihat ada sesuatu yang berbeda dengan Mamanya. Matanya sembab. Senyumnya sedikit dipaksakan. Ia tak seceria saat lamaran. Ada apa?
"Ma, Mama kenapa?" Afnan menghampiri Mamanya.
"Mama nggak apa-apa, sayang," ucap Mamanya berbohong.
"Ma ... Jangan bohong sama Afnan. Mama kenapa? Bara mana?" tanya Afnan bingung.
Mamanya terdiam. "Mama nggak apa-apa, sayang. Serius," jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Ma ...." Afnan tak percaya ucapan Mamanya.
"Nanti ya, sayang. Pasti Mama ceritain semua kalau acara ini udah selesai." Mamanya mencoba menenangkan Afnan.
Ia tak mungkin menceritakan hal ini sekarang. Semuanya bisa kacau.
Maafkan Mama, Bara, batin Mamanya menangis.
Afnan yang melihat bulir bening disudut mata Mamanya, segera mengusap lembut lalu memeluknya.
"Nanti cerita ya, Ma," bisik Afnan lembut.
Mamanya menganggukan kepala dan menghapus jejak air matanya. Ia tak mau mengacaukan moment bahagia ini dengan menangis. Meski separuh hatinya tengah terluka.
Sementara itu di tempat lain, Bara tengah memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Motornya meliuk, menyalip sana-sini demi mengejar waktu yang tinggal sebentar. Tak peduli bunyi klakson dari pengendara lain yang kesal dengan aksi ugal-ugalan Bara. Ia tetap memacu motornya dengan perasaan tak karuan.
Tunggu aku, Nazi! Kumohon! batin Bara.
Nafasnya memburu. Hatinya gelisah. Matanya sesekali melirik jam di tangannya. Waktunya benar-benar tinggal sedikit. Bara pun semakin memacu motornya dengan full speed. Ia bisa merasakan sedikit lega mengetahui jarak rumah Nazifa sudah tidak begitu jauh. Namun tetap tak mengurangi kecepatan sepeda motornya sedikitpun.
Sebentar lagi, Nazi. Tunggulah sebentar lagi ...
Pikiran Bara terus dibayang-bayangi kenangan saat bersama Nazifa. Wajah Nazifa yang sedang tersenyum, cemberut, bahkan menangis tak lepas dari pikirannya. Hal itu membuat Bara kehilangan fokus saat hendak menyalip kendaraan di depannya. Bara tak menyadari ada sebuah truk yang sedang mengebut dari arah berlawanan. Hingga ...
Prang!
Gelas minum yang sedang dipegang Mama Afnan terjatuh.
"Ma, mama nggak apa-apa kan?" tanya Afnan khawatir.
"Nggak. Mama nggak apa-apa," jawab Mamanya. "Tadi Mama cuma kurang kenceng megang gelasnya."
Mama Afnan mengusap-usap Dadanya.
Kenapa perasaanku nggak enak begini? Bara ... Kamu dimana, Nak? ucap Mamanya dalam hati.
🌸🌸🌸
Keringat dingin berjatuhan tak bisa tertahan. Perias sampai harus beberapa kali mengusap lembut keringat Nazifa agar tak merusak make up. Dia hanya tersenyum melihat Nazifa yang terus gelisah.
"Tenang ya, Dek. Nervous itu hal yang wajar kok. Coba tarik nafas dalam-dalam, lalu buang perlahan," ucap mbak peni yang meriasnya seraya mempraktekan yang diucapkannya.
Dan tak tau kenapa, Nazifa pun mengikuti persis seperti yang dicontohkan. Namun percuma, perasaannya malah semakin gelisah. Beberapa detik kemudian Ibunya masuk. Ibunya memeluk Nazifa sebentar, lalu memperhatikannya di cermin.
Gaun putih dipadukan dengan brokat warna biru tosca menjuntai anggun hingga mata kaki. Kerudung putih beraksen senada, dilengkapi dengan Mahkota siger dan untaian melati yang jatuh sampai ke tubuh, menghiasi bagian kepala dengan sempurna. Kedua punggung tangan Nazifa dihiasi inai.
"MasyaAllah, cantik sekali anak Ibu," ucap Ibunya dengan binar mata bahagia.
Tetapi Nazifa menjawab pujian yang ibunya lontarkan dengan isakan tangis. Ibunya yang melihat Nazifa menangis, langsung mengusap lembut bulir bening yang jatuh membasahi pipi.
"Ssstt ... Jangan nangis dong, Zee. Nanti make upnya luntur. Kasian tuh mbak periasnya, capek benerin terus," bisik Ibunya.
Mbak peni hanya nyengir mendengar ucapan Ibu Nazifa.
"Mbak ... Udah ditunggu di mesjid. Acaranya mau dimulai." Mbak Fitri, tante Nazifa, melongok dari balik pintu.
Akad nikah akan dilaksanakan di Mesjid dekat rumah. Tidak perlu menggunakan kendaraan, hanya berjalan kaki. Sedangkan acara resepsinya diadakan di depan rumah Ayahnya Nazifa yang cukup luas.
"Ayo, sayang," bisik Ibunya yang melihat Nazifa masih terpaku.
Namun kaki Nazifa seolah enggan untuk melangkah. Berat.
"Zee ...," panggil ibunya lembut.
Akhirnya dengan berat hati, Nazifa melangkahkan kakinya keluar rumah menuju masjid. Ibu dan Mbak Fitri mendampingi di sisi Kanan dan Kiri. Suasana diluar begitu ramai oleh para tamu dan warga yang menyaksikan acara ini. Nazifa tak berani mengangkat wajahnya. Kepalanya terus tertunduk sambil sesekali menoleh ke arah lain. Berharap seseorang akan muncul dan menghentikan pernikahan ini. Ibunya dengan cepat menyeka bulir bening yang sudah mengenang di sudut mata Nazifa. Nafas Nazifa terasa sesak.
"Bismillah dulu, sayang," bisik Ibunya.
Nazifa menghela napas. "Bismillah ...," ucapnya dengan suara pelan bergetar.
Dengan kaki yang gemetar, Nazifa menaiki tangga masjid. Sesekali matanya terus menoleh ke arah belakang. Namun hatinya langsung sedih saat tak didapatinya orang yang ia nantikan. Berjalan perlahan memasuki masjid, sosok jangkung Afnan sudah duduk menghadap meja yang dihiasi bunga. Air mata Nazifa sudah hampir terjatuh. Namun dengan sigap, ibunya cepat-cepat mengusapnya lembut.
Dengan perasaan yang semakin tak karuan, tak ia hiraukan lagi suara-suara di Mesjid ini. Pikiran Nazifa jauh melayang entah kemana.
Namun kesadarannya seketika kembali saat ia mendengar seseorang melantunkan surah Ar-Rahman dengan merdunya.
Siapa dia?
Nazifa memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya perlahan.
Mas Afnan? Dia yang membaca surah Ar-Rahman? MasyaAllah, ucapnya dalam hati.
Sempat mengaguminya untuk beberapa saat, namun kembali gelisah saat acara ijab qabul akan segera dimulai.
"Saudara Afnan Atma Purnama, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Nazifa Nuwaira dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan sebuah cincin."
"Saya terima nikah dan kawinnya Nazifa Nuwaira dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai," ucap Mas Afnan dengan lantang dan mantap.
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Saaaahhh," jawab para hadirin serentak. Dilanjutkan ucapan hamdallah.
Semakin deras air matanya mendengar lantunan do'a-do'a pernikahan. Nazifa mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti.
Ya Allah ... Jika memang ini jalan hidupku yang engkau kehendaki, ikhlaskan hati ini Ya Allah, ucapnya dalam hati.
Ibunya meminta Nazifa untuk memutar badan. Kini ia duduk berhadapan dengan Afnan. Afnan mengulurkan tangannya pada Nazifa. Nazifa masih bergeming. Ibunya mencolek lengan Nazifa. Memberi isyarat agar ia mengenggam tangan Afnan dan menciumnya.
Nazifa mengulurkan tangan kanannya dengan ragu. Namun Afnan menggenggam erat tangannya yang gemetar dan basah karena keringat dingin. Nazifa mencium punggung tangannya yang harum. Ia terisak. Afnan mengangkat dagu Nazifa.
Nazifa memberanikan diri ini untuk menatapnya. Tatapan mereka bertemu. Afnan tersenyum manis pada Nazifa. Namun Nazifa tak mampu membalas senyumnya. Ia menggigit bibirnya yang bergetar menahan tangis.
Maafkan aku, Mas Afnan, ucapnya dalam hati.
Afnan menarik bahu Nazifa pelan. Dia mencium keningnya. Kemudian menyematkan cincin di jari manis kiri Nazifa. Nazifa pun melakukan hal yang sama, menyematkan cincin di jari Afnan. Mata Afnan tak henti-hentinya memandang Nazifa dengan senyum di bibirnya.
"Maafin aku yang udah buat kamu nangis," ucap Afnan pelan seperti bergumam.
Namun Nazifa masih bisa mendengarnya. Ia mengangkat wajahnya menatap Afnan dengan tatapan bingung. Namun Afnan tetap menatap Nazifa dengan senyuman manisnya.
Mungkinkah yang dikatakan Orangtuaku itu benar? Kalau Mas Afnan memang orang yang baik?
★★★