Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 7 - Part 7–Lamaran

Chapter 7 - Part 7–Lamaran

Di pagi hari, rumah Afnan terlihat sedang sibuk mempersiapkan segala keperluan yang akan dibawa untuk melamar gadis pujaannya. Sudah ada keluarga dari Kakaknya Mama Afnan yang akan ikut menemani proses lamaran ini.

"Bang, semua Hantaran yang mau dibawa udah dimasukkin ke mobil, kan?" tanya Mama Afnan sedikit was-was.

Penampilan Mama Afnan terlihat anggun memakai kebaya berwarna Biru tua, rambutnya disanggul rapi. Begitupun dengan keluarga Paman Afnan. Warna pakaian mereka disenadakan dengan Mama Afnan, Biru tua.

"Semua udah dimasukkin, tenang aja. Kamu panggil aja Afnan, suruh turun. Kita harus jalan sekarang. Takutnya macet atau ada hambatan lain," kata Pamannya Afnan.

Mama Afnan pun bergegas pergi ke kamar anaknya.

"Afnan, sayang ... Kamu udah siap, Nak?" Mamanya masuk ke kamar Afnan yang pintunya sedikit terbuka.

Terlihat Afnan yang memakai setelan batik warna Biru Tosca, tengah berjalan mondar-mandir di kamarnya.

"Kamu kenapa, sayang?" tanya Mamanya yang melihat kegelisahan Afnan.

"Afnan deg-degan, Ma. Bagaimana kalau nanti dia nolak Afnan?" jawabnya gelisah.

Mamanya tersenyum simpul.

"Sayang ... Bukannya kamu, yang minta mama untuk percaya sama kamu?" Mamanya menggenggam tangan anaknya yang basah karena keringat dingin.

"Mama yakin kamu nggak akan ditolak. Percaya deh sama Mama," ucap Mamanya meyakinkan.

"Coba lihat penampilanmu ini." Mamanya Afnan membawa anaknya ke depan cermin.

"Siapa yang berani, menolak pria setampan anak Mama ini? Nggak akan ada," rayu Mamanya.

Afnan tersenyum dan mengangguk.

"Ayo, cepetan! Pamanmu udah nungguin. Kita mau berangkat sekarang," ajak Mamanya kemudian pergi keluar kamar diikuti Afnan.

Terlihat Afnan beberapa kali menarik nafas dan membuangnya perlahan untuk menghilangkan perasaan nervousnya.

"Ayo, jalan sekarang," ajak Pamannya saat melihat keduanya muncul.

Mamanya Afnan terlihat celingukan mencari seseorang.

"Loh, adikmu mana?"

"Mungkin masih siap-siap di kamar kali, Ma," jawab Afnan ikut celingukan.

"Bara! Bara! Cepet, sayang! Kita udah mau berangkat nih!" teriak Mamanya.

Yang dipanggil muncul keluar dari dalam kamar dengan penampilan masih acak-acakan.

Mamanya membelalakkan mata tak percaya dengan penampilan anaknya.

"Ya ampun, Bara! Kamu kenapa belum siap-siap? Kita udah mau jalan ini, sayang."

"Bara nggak ikut, Ma. Kepala Bara pusing," jawab Bara yang duduk di sofa.

Mamanya menghampiri Bara.

"Kamu sakit, Nak?" tanya Mamanya khawatir.

"Nggak, Ma. Bara nggak sakit. Cuma nggak bisa tidur aja semalem," jawab Bara sambil menyandarkan kepalanya ke senderan sofa.

"Memangnya kenapa? Kamu ada masalah?" tanya Mamanya lagi.

Gimana Bara mau bisa tidur, Ma. Kalau telpon sama pesan yang Bara kirim pada orang terkasih tak kunjung dibalas. Dibacapun nggak, jawab Bara dalam hati.

"Sayang ...." Panggilan Mamanya membuyarkan lamunan Bara.

"Bara nggak apa-apa, Ma. Mama berangkat aja," ucap Bara.

"Maaf ya, Bang. Aku nggak bisa ikut nganter," tambahnya lagi.

"Nggak apa-apa, Bar. Kamu istirahat aja di rumah. Nggak usah ke kantor dulu, ya," jawab Afnan.

Bara tersenyum tipis dan menganggukkan kepala.

"Ya udah, sayang. Kalau begitu kami berangkat dulu, ya. Kamu kalau pusing, langsung minum obat. Jangan didiemin," ujar Mamanya sebelum beranjak pergi keluar diikuti Afnan.

"Semoga lancar, Bang!" teriak Bara.

Afnan menoleh sebentar, tersenyum dan mengangguk.

"Haaahhh ....!" Bara meghembuskan nafas dengan kasar.

" Kamu lagi ngapain sih, Nazi? Kenapa Wa-ku nggak kamu bales-bales. Telpon juga nggak di angkat. Aarrggh!" Bara mengusap kasar rambutnya lalu merebahkan badannya di sofa.

"Jangan bikin aku khawatir, Nazi," ucapnya lirih sambil memandangi foto Nazi di galeri. Foto yang ia ambil diam-diam saat Nazi bekerja.

🌸🌸🌸

Sementara itu, Ibu Nazifa bergegas menghampirinya yang sedari pagi mogok makan.

"Zee," panggil ibunya saat melihat Nazifa masih meringkuk di kasur.

Nazifa tak menjawab panggilan Ibunya. Bisa ia rasakan kasur sedikit bergoyang. Ibunya duduk di samping Nazifa.

"Zee ... Makan dulu, yuk! Dari pagi kamu belum makan apa-apa, sayang," bujuk Ibunya.

"Zee nggak laper, Bu," jawabnya datar.

Ibunya terus membelai lembut rambut Nazifa.

"Ibu sama Bapakmu ini udah tua, sayang. Maafin Bapak sama Ibu ya,  yang sudah egois memaksakan kehendak kami sama kamu," ucap Ibunya dengan suara bergetar seperti menahan tangis.

Nazifa tak tahan untuk tak mengeluarkan air mata mendengar suara Ibunya.

"Ibu sama Bapak, hanya ingin ada yang bisa jagain dan lindungin kamu, Nak. Menyayangimu sebagaimana kami menyanyangimu, bahkan lebih! Seandainya Bapak sama Ibu udah nggak ada, kami nggak akan khawatir karena ada yang menggantikan tugas kami," ucap Ibunya sambil menangis.

Nazifa terkesiap mendengar ucapan Ibunya. Ia yang sedang meringkuk membelakangi Ibunya, langsung bangun dan memeluknya.

"Ibu ... Ibu jangan ngomong begitu, Bu. Zee takut. Jangan tinggalin Zee. Zee nggak mau, Bu." Nazifa menangis tersedu-sedu memeluk Ibu.

Ibunya melepaskan pelukannya pelan, mengangkat dagu dan menatap dengan tatapan yang penuh kasih sayang.

"Jangan nangis, sayang. Ibu nggak mau, anak kesayangan ibu ini jadi nggak cantik lagi karena kebanyakan nangis," goda Ibunya dengan tersenyum.

Ibunya menyeka air mata Nazifa yang tumpah ruah di pipi dengan lembut.

"Maafin Zee, Bu. Zee udah bikin ibu nangis," kata Nazifa masih dengan isakan. Ibunya kembali memeluk Nazifa.

"Nggak apa-apa, sayang. Ibu nangis karena Ibu bahagia. Ibu bahagia ternyata ada yang begitu mencintaimu selain Ibu sama Bapak," ucapnya lembut.

"Tapi kalau kamu memang ingin menolak lamaran ini, kamu bisa katakan langsung nanti, saat mereka datang melamar." ucap Ibunya lagi. "Kamu nggak perlu pikirin Bapak sama Ibu. Kami ikhlas. Kami yang salah, karena sudah mengambil keputusan tanpa bertanya padamu dulu," ujar Ibunya dengan nada lirih.

Nazifa kembali menangis tersedu-sedu mendengar perkataan Ibunya.

Bolehkah aku menolaknya, Bu? Lalu bagaimana dengan kalian? Apa Ibu sama Bapak tidak akan kecewa kalau aku menolaknya?

"Sekarang kamu makan dulu, ya. Dari pagi kamu belum makan apa-apa. Nanti kamu sakit, Ibu jadi sedih lagi. Apa kamu mau, liat Ibu sedih?" bujuk Ibunya.

Nazifa menggelengkan kepala cepat.

"Kalau begitu kita makan dulu, terus nanti Ibu bantuin kamu siap-siap. ya?" ucapnya lembut.

Nazifa menganggukan kepala perlahan, kemudian melangkahkan kaki keluar kamar mengikuti Ibunya.

Setelah menunaikan Shalat Ashar, ibunya membantu Nazifa bersiap-siap.

"Pake baju yang ini aja, Zee." Ibunya menyodorkan sebuah paper bag saat Nazifa hendak mengambil baju gamis dari lemari.

"Ibu beli baju baru buat Zee?" tanyanya saat menerima paper bag itu.

"Bukan Ibu yang beli." Ibunya menggelengkan kepala. "Calon suamimu yang ngasih itu saat dia datang kemari," jelasnya lagi.

Nazifa menghela napas dan meletakkan paper bag itu di kasur.

"Zee pake baju yang di lemari aja, Bu," tolaknya.

Nazifa berjalan ke arah lemari tapi ibunya menghentikan langkah Nazifa.

"Nggak boleh gitu, Zee. Nggak sopan. Kita harus menghargai pemberiannya."

"Iya, Bu," jawabnya pasrah.

"Ya sudah, cepet ganti. Habis itu Ibu bantuin kamu make-up."

Tak butuh waktu lama untuknya berganti pakaian. Bajunya sangat bagus, tapi ia merasa tak nyaman memakainya.

"Bu ... Apa ini nggak berlebihan? Bajunya terlalu bagus, Bu. Nggak cocok sama Zee." Nazifa merengek.

Pria itu memberinya gamis warna Biru Tosca yang dihiasi Brukat dan manik-manik, dilengkapi hijab syar'i dengan warna yang senada.

"Kamu cantik, sayang. Baju itu pas banget sama kamu. Cocok." Ibunya tersenyum puas melihat Nazifa.

Sedangkan Nazifa memasang raut muka cemberut.

"Jangan cemberut begitu. Duduk sini, cepetan. Ibu bantuin kamu make up. Keburu tamunya dateng," ucap Ibunya tak sabar.

"Apa harus pake make up segala, Bu?"

"Ya harus dong, Zee. Kan biar tambah cantik," jawab Ibunya sambil terus meriasku.

"Biarin aja jelek juga, Bu. Biar dia nggak jadi ngelamar," ketus Nazifa.

"Hush! Nggak boleh ngomong begitu. Ini juga pake make upnya cuma tipis-tipis kok."

Lima belas menit kemudian ibunya selesai merias Nazifa.

"Kamu tunggu di sini, ya. Ibu ke depan dulu. Nanti ibu panggil kalau mereka udah dateng."

Ibunya bergegas pergi keluar kamar. Terdengar suara Bapak dan Pak Rt yang sedang mengobrol.

Sekilas Nazifa memandangi wajahnya di cermin. Memang terlihat berbeda. Nazifa merasa ini bukan dirinya.

Ini pasti karena baju sama make up ibu, ucapnya dalam hati.

Namun seketika, hatinya kembali gelisah mengingat pria dan keluarganya itu akan segera tiba.

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku benar-benar bisa mengambil keputusan sendiri tanpa menyakiti Ibu dan Bapak?

🌸🌸🌸

Semakin dekat jarak rumah Nazifa, membuat Afnan semakin gelisah. Terlihat dari dadanya yang kembang kempis mengatur nafas. Mamanya yang melihat Afnan begitu nervous, menggenggam lembut tangan anaknya.

"Tenang, sayang. Semuanya akan baik-baik saja." Mamanya menenangkan Afnan.

Afnan mencoba tersenyum namun tetap saja perasaan nervous itu tak bisa ia sembunyikan. Afnan tidak menyetir mobil sendiri. Sesuai perintah Mamanya, ia menggunakan supir pribadi mereka. Pak Supri namanya. Sedangkan Paman dan keluarganya membawa mobil sendiri.

Akhirnya Afnan dan keluarganya pun tiba di rumah Nazifa, yang disambut hangat kedua Orangtuanya dan Pak Rt. Mereka dipersilahkan masuk dan berbincang santai sebelum mulai dengan obrolan yang serius. Ibu Nazifa menghidangkan minuman dibantu Bu Rt. Setelah itu, Ibunya Nazifa beranjak ke kamar untuk memanggil anaknya, karena acara lamaran akan segera dimulai.

Terlihat Nazifa keluar dari kamar digandeng ibunya. Pandangannya terus tertunduk. Semua orang di ruangan itu menatap ke arahnya dengan tersenyum.

Afnan. Bahkan Afnan terkesima melihat penampilan Nazifa yang muncul dengan memakai gaun yang ia berikan. Matanya terpana  menatap gadis pujaannya. Jantungnya berdegup kencang sekali seperti sedang berlomba.

MasyaAllah, ucap Afnan dalam hati.

Mamanya yang melihat ekspresi anaknya itu, tersenyum simpul kemudian mencolek lengan Afnan. Memberikan kode pada anaknya agar bisa mengontrol diri. Afnan yang menyadari hal itu, langsung tersipu malu. Ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah merona.

🌸🌸🌸

Nazifa berjalan keluar kamar dengan langkah yang berat dan mata yang terus tertunduk. Sedangkan Ibunya, ia terus menggandeng lengannya dengan senyuman bahagia yang menghiasi wajahnya.

Kemudian Nazifa duduk ditengah diapit Ibu dan Ayahnya.

"Anggun sekali calon istrimu, Nak," ucap Mama Afnan kagum.

Semua orang tersenyum bahagia kecuali satu orang. Nazifa. Nazifa bahkan tak ingin tersenyum sama sekali dengan semua kenyataan ini. Ia memberanikan diri ini untuk menatap sekilas wajah pria yang melamarnya.

Deg!

Detak jantung dan nafasnya seolah berhenti sesaat. Duduk mematung. Kaku. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Secepatnya Nazifa menundukkan kembali pandangannya dan berusaha mengatur nafas yang tiba-tiba terasa sesak.

Nggak mungkin! Aku pasti salah liat! pikirnya.

Ia pejamkan lagi matanya sesaat, lalu sekali lagi melirik pria itu untuk meyakinkan kalau matanya sedang tak bermasalah.

Ya Allah ... Ternyata apa yang aku lihat itu benar!

Pria itu!

Pria yang selama ini sering berkunjung ke kafe Mbak Hana dengan gelagat anehnya. Sekarang dia berada di hadapanku untuk melamarku? Bagaimana bisa?

Ya Allah ... aku berharap kalau ini hanyalah mimpi dan bukan kenyataan.

Nazifa sibuk dengan segala pemikirannya.

Pria itu terlihat rapi dengan setelan Batik warna Biru Tosca.

Tunggu!

Bahkan warna pakaian yang dia kenakkan pun sama dengan yang kupakai, batin Nazifa.

Ternyata, Ayah dan Ibunya juga memakai pakaian yang warnanya senada dengan rombongan dari pria itu. Tangannya tak berhenti meremas jari-jari. Jantungku berdetak dengan sangat cepat.

Bagaimana dia bisa mengetahui alamat kedua orangtuaku? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tidak masalahkah jika aku menolak lamaran ini?

Nazifa menyapukan pandangan pada semua orang yang ada di ruangan ini. Mereka semua terlihat bahagia termasuk Ayah dan Ibunya.

Akankah senyum dan tawa bahagia itu tetap ada jika aku menolak? Bagaimana dengan keluarga pria itu? Tidakkah mereka akan tersinggung dan marah?

Nafasnya terasa sesak, kepalanya pun terasa begitu berat memikirkan ini semua. Bahkan Nazifa tak bisa mendengar sedikitpun apa yang mereka bicarakan. Tubuh dan pikirannya seolah tak berada di tempat yang sama. Hingga sebuah pertanyaan, terlontar dari mulut Paman pria itu.

"Bagaimana, Nak? Apakah kamu menerima lamaran kami dan bersedia menikah dengan Afnan?" tanyanya lembut.

Nazifa bergeming. Lidahnya terasa kelu. Tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Ibunya mengusap lembut punggung tangannya yang sedari tadi tak berhenti meremas jari.

"Zee ...," panggil Ibunya lembut.

"I-i-iya, Bu," jawabnya tergagap.

"Berikan jawabanmu, sayang. Apa kamu menerima lamaran ini?" tanya Ibunya lagi dengan lembut.

Nazifa bersusah payah menelan ludah. Tenggorokannya mendadak terasa begitu kering. Ia mengalihkan pandangannya pada Ayahnya. Berharap mendapatkan sedikit dukungan untuk menolak lamaran ini.

Namun pandangan Ayahnya terus menatap lurus ke depan tak menoleh sedikitpun padanya.

Ibu? Bahkan Ibunya pun hanya menunduk sambil sesekali menyeka bulir bening di sudut matanya.

Ya Allah ... Apakah ini artinya, mereka berharap aku tak menolak lamaran ini?

Hatinya sakit sekali menyadari bahwa ia tak mendapatkan dukungan dari Orangtuanya. Tapi akan terasa lebih sakit lagi, kalau ia sampai membuat Orangtuanya malu dan menghilangkan senyum bahagia dari wajah mereka.

Suasana mendadak Hening. Semua mata tertuju menatap Nazifa. Nazifa memejamkan mata sesaat, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya memberikan jawaban.

Bismillahirrahmanirrahim, ucapnya dalam hati.

Akhirnya Nazifa pun menganggukan kepalanya perlahan, sebagai tanda setuju untuk menerima lamaran itu.

"Alhamdulillah," ucap mereka serempak.

Suasana yang tadinya sepi kembali ramai dengan ucapan syukur dan tawa dari mereka.

Pria yang dari tadi duduk di depannya terlihat tersipu malu. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah Nazifa. Ibunya memeluk Nazifa dengan lembut.

"Makasih, Zee," ucapnya lirih ditelinga Nazifa.

Mama Afnan menghampiri dan memeluk Nazifa.

"Mama udah deg-degan tadi. Takut ditolak calon mantu Mama. Makasih ya, sayang. Sudah mau menerima lamaran anak Mama," ucap Mamanya lembut.

Nazifa mengangguk dan berusaha tersenyum untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

Acara lamaran diakhiri dengan do'a yang dipimpin Pak Rt.

Atas kesepakatan bersama, tidak ada cincin lamaran. Cincin akan disematkan di jari masing-masing saat nanti akad nikah. Dan acara akad nikah akan diselenggarakan dua hari dari sekarang.

Harus secepat itukah? protesnya dalam hati.

Nazifa pamit izin ke belakang. Ia tak ingin air matanya yang sudah hampir terjatuh dilihat oleh mereka.

🌸🌸🌸

Senyum bahagia tak dapat Afnan sembunyikan lagi saat dirinya melihat Nazifa, gadis yang dia cintai, keluar kamar mengenakkan gaun yang dia berikan. Nazifa terlihat anggun. Make up tipis membuatnya terlihat lebih manis lagi. Ibunya terus menuntun Nazifa untuk duduk berhadapan dengan Afnan.

Raut wajah Nazifa tidak terlihat bahagia sama sekali. Ada kesedihan dan keterpaksaan di wajah ayunya itu. Hanya sesekali tersenyum dengan senyum yang dipaksakan.

Perasaan Afnan semakin tak menentu melihatnya seperti itu.

Mungkinkah Nazifa akan menolak lamaranku? tanyanya dalam hati.

Betapa bahagianya Afnan, saat melihat Nazifa menganggukan kepalanya perlahan yang mengisyaratkan bahwa telah diterimanya lamaran ini. Perasaan gundah gulana langsung hilang seketika berganti dengan senyum bahagia.

Begitupun dengan Mamanya dan semua orang yang hadir di sini. Ketegangan mereka hilang seketika.

Afnan tau, bahwa sebenarnya Nazifa belum sepenuhnya menerima atau bahkan bisa dibilang terpaksa menerimanya. Afnan bisa melihat hal itu dari raut wajahnya. Semua hanya butuh waktu. Hal yang wajar jika Nazifa belum bisa menerima Afnan. Karena baginya, Afnan benar-benar orang asing yang tiba-tiba melamarnya. Tapi tak mengapa.

Aku bahagia telah memilikimu. Akan kupastikan kamu tak akan pernah menyesali keputusan ini. Akan kubuat kamu jatuh cinta kepadaku sepenuhnya, bisik Afnan dalam hati.

Afnan melihat Nazifa pamit ke belakang. Namun setelah beberapa menit berlalu, Nazifa tak kunjung kembali. Afnan merasa khawatir. Ia pun berpura-pura meminta ijin ke kamar mandi. Ia ingin memastikan bahwa gadis yang dicintainya itu baik-baik saja. Langkahnya terhenti saat mendengar isakan tangis dari arah pintu belakang yang sedikit terbuka.

Dengan langkah hati-hati, Afnan mencoba mengintip ke luar pintu. Dilihatnya Nazifa tengah duduk bersandar tembok dengan memeluk lutut. Hati Afnan ikut terluka melihat gadis yang dicintainya itu menangis tersedu-sedu.

Afnan berdiri menyandarkan punggungnya di balik tembok tempat Nazifa berada.

Maafkan aku, Zee. Maafkan aku yang egois mencintaimu dan begitu ingin memilikimu, ucap Afnan dalam hati.

★★★