Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 6 - Part 6–Firasat

Chapter 6 - Part 6–Firasat

Saat Nazifa baru saja memejamkan mata, dering ponsel membangunkannya. Terlihat nama Ayahnya tertera di layar ponsel. Ia mengerjapkan mata yang terasa lengket dan menggeser tombol hijau ke atas.

"Assalamu'alaikum, Bapak," sapanya dengan suara parau.

"Wa'alaikumsalam, Zee. Bapak ganggu tidur kamu, ya?"

"Nggak kok, Pak. Nggak apa-apa. Tumben Bapak telponnya malem-malem begini, Pak."

"Zee ... Besok pagi kamu harus cepet pulang ke Tasik ya, Nak."

Nazifa memgernyitkan dahi mendengar Ayahnya yang tiba-tiba menyuruhnya pulang.

"Kenapa, Pak? Ada apa? Bapak sehat, kan? Ibu baik-baik aja kan, Pak?" tanyanya khawatir.

"Kami baik-baik aja, Zee. Tapi ada hal penting yang harus kami obrolin sama kamu. Dan nggak bisa ditunda-tunda lagi," jelas Ayahnya.

"Memangnya ada apa, Pak? Apa nggak bisa langsung diomongin sekarang aja, Pak?" tanya Zee penasaran.

"Nggak bisa, Zee. Pokoknya besok kamu harus pulang, ya. Bapak nggak mau dibantah! Naik bus yang jadwal pagi," Tegas Ayahnya dengan nada penuh penekanan.

"I-iya, Pak. Besok Zee pulang."

"Ya sudah. Kamu tidur lagi aja. Besok kabari Bapak kalau udah naik Bus, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Nazifa pelan.

Ia meletakkan kembali ponsel di sampingnya. Kembali merebahkan tubuh dengan mata menerawang langit-langit. Entah kenapa perasaannya jadi tak enak setelah menerima telpon dari Ayahnya tadi.

"Semoga aja nggak terjadi apa-apa, Ya Allah. Aamiin," gumamnya pelan.

Pagi-pagi pukul 06.00, Nazifa sudah selesai bersiap-siap hendak pergi ke terminal. Mbak Hana pun sudah ia hubungi untuk meminta izin. Nazifa  diberikan cuti libur selama 3 hari.

Setelah pamit dengan Bu Yati dan Pak Yanto, ia pun bergegas berjalan keluar rumah kost untuk naik angkutan umum ke Terminal. Belum jauh kaki melangkah, terdengar bunyi klakson motor yang dibunyikan berkali-kali dari arah belakang. Tak lama motor itu berhenti di depannya.

"Bara? Ada apa, Bar? Kok pagi-pagi ke sini?" tanyanya heran.

"Mau ngajak kamu nyari sarapan," jawab Bara santai.

"Maaf, Bar. Aku nggak bisa."

"Kenapa?"

"Aku harus pulang ke kampung sekarang. Semalem Bapakku telpon nyuruh aku pulang," jelasnya.

"Emang ada masalah apa? Mereka baik-baik aja, kan?" tanya Bara.

"Alhamdulillah. Mereka baik-baik aja. Aku juga belum tau ada masalah apa."

"Ya udah, ayo naik. Aku anter kamu ke Terminal," ucap Bara.

nazifa menerima tawaran Bara untuk mengantarnya ke Terminal. Setengah jam kemudian, mereka sudah tiba di Terminal. Bara bersikeras ingin membayarkan tiketnya. Tapi Nazifa menolaknya. Akhirnya Bara duduk menunggu di bangku depan Loket.

Nazifa menghampiri Bara dan ikut duduk di bangku untuk menunggu keberangkatan Bus. Ia segera menghubungi Ayahnya untuk mengabari kalau ia sudah ada di Terminal Bus. Ayahnya terdengar senang dan menasehatinya untuk berhati-hati.

"Kamu ternyata orang Tasik, ya," ucap Bara setelah Nazifa menyimpan kembali ponsel ke dalam tas.

"Hmm," jawabnya singkat.

"Kok nggak pernah cerita?"

"Kamu nggak pernah nanya," jawab Nazifa menaikkan satu alis.

Nazifa mengeluarkan masker dari dalam saku gamisnya dan cepat-cepat memasangnya.

Bara mengerutkan kening melihatnya.

"Mau sarapan dulu nggak? Masih ada waktu kok," ajak Bara.

Nazifa hanya menggelengkan kepala.

"Kok kamu pake masker segala, sih?" tanya Bara penasaran.

Nazifa tak menjawabnya. Hanya tertunduk dengan tangan kanan terus memijat kening.

Bara sedikit menundukkan kepalanya dan menyipitkan mata memandang Nazifa.

"Kamu mabok perjalanan, ya?" Telunjuknya menunjuk ke arah Nazifa.

Nazifa mendelikkan mata padanya dan mengarahkan jari telunjuk ke bibirnya sebagai isyarat Bara untuk diam. Karena jujur, memang sekarang ia tak ingin berkata apa-apa, pusing sekali.

Tapi Bara malah menertawainya dengan keras.

Nazifa tak memperdulikan hal itu. Ia  sedang tak ingin meladeninya. Tangannya fokus memijat kening.

"Nanti kabarin ya, kalau udah sampe rumah," ucap Bara sesaat setelah berhenti tertawa.

Nazifa hanya menjawab dengan anggukan.

Tak lama waktu keberangkatan Bus pun tiba. Penumpang sudah mulai terlihat mengisi tiap bangku kosong.

"Aku pergi dulu. Makasih, Polem," ucap Nazifa dengan suara tertahan masker.

Bara tersenyum dengan anggukan kepala. Nazifa pun bergegas naik ke bus dan duduk di kursi dekat jendela. Bara terdiam menatap kepergiannya.

Kenapa perasaanku jadi nggak enak begini saat melihatmu pergi? gumam bara dalam hati sambil memegang dadanya.

Nazifa melihat Bara masih berdiri mematung di tempatnya. Namun tak lagi terlihat ia tersenyum. Entahlah. Nazifa tak mengerti dengan ekspresi temannya itu. Nazifa melambaikan tangan saat bus mulai berjalan. Bara pun balas melambaikan tangannya.

🌸🌸🌸

Perjalanannya memakan waktu sekitar 5-6 jam. Nazifa tak suka setiap kali melakukan perjalanan seperti ini. Perjalanan seperti ini selalu berhasil menyiksanya.

Setibanya di rumah, ia melihat ada sesuatu yang berbeda. Ternyata rumah Ayahnya telah di cat dengan warna yang  baru. Dari warna Cream menjadi warna Biru muda.

Tumben. Biasanya di cat pas mau idul fitri aja, gumam Nazifa dalam hati.

Terlihat ada Pak Rt yang tengah berbincang dengan Orangtuanya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka kompak.

Nazifa mencium tangan Orangtuanya dan menganggukan badan ke Pak Rt.

"Alhamdulillah, kamu sampe juga, Zee." Ibu membelai lembut kepalanya.

Nazifa adalah anak tunggal. Ibunya selalu begitu lembut memperlakukannya. Ayahnya juga baik tapi tegas. Hal itu membuatnya tak berani untuk membantah apapun kata-katanya.

"Kamu pasti capek kan, Zee? Istirahat aja dulu di Kamar,"  usuk Ayahnya.

Ibunya mengusap-usap punggung Nazifa.

"Iya, Pak. Zee ke kamar dulu ya, Bu. Permisi, Pak Rt." Nazifa menganggukan kepala ke Pak Rt.

"Mangga, Neng," jawab Pak Rt.

Nazifa melangkah menuju ke kamarnya. Ia membuka pintu perlahan. Ia sesaat termenung melihat kamar tidurnya. Kamar yang diisi kasur berukuran sedang, meja belajar, dan lemari kayu dua pintu yang sudah keropos itu telah berubah catnya. Ternyata bukan hanya Dinding luar rumah saja yang di cat, tapi dinding kamarnya pun di cat baru. Di cat jadi warna Putih. Ia meletakkan tas di meja belajar dan membaringkan tubuh di kasur.

Ponsel berdering saat ia baru saja hendak memejamkan mata. Nazifa meraih kembali tasnya dan mengambil ponsel dari dalamnya. Terlihat sudah ada beberapa pesan Wa yang belum terbaca dan panggilan tak terjawab. Karena selama dalam perjalanan, Nazifa mengabaikan ponselnya. Melihat layar ponsel di mobil, hanya akan membuatnya tambah pusing dan mual.

Ternyata pesan Wa dan panggilan tak terjawab itu dari Bara. Segera ia buka pesan itu.

[Udah sampe mana, Nazi?]

[Kamu masih pusing, ya?]

[Kalo udah nyampe, langsung kabarin]

[Nazi?]

[Udah nyampe belum?]

Nazifa hanya nyengir membaca pesan-pesan itu. Tak lama Bara menghubunginya kembali. Ia menggeser tombol hijau ke atas.

"Assalamu'alaikum," sapa Nazifa.

[Wa'alaikumsalam. Kok Wa nggak di bales-bales?] tanya Bara.

Bawel sekali kamu ini, Polem, gerutu Nazifa dalam batin.

"Iya, maaf. Aku baru buka hapeku. Kalo di mobil liat layar hape, suka bikin tambah pusing, Bar." jelasnya.

[Ooh gitu. Tapi kamu udah sampe, kan?]

"Udah barusan. Ini baru rebahin badan di kasur."

[Ya udah. Kamu istirahat. Aku juga mau berangkat ke Kampus dulu]

"Iya. Assalamu'alaikum."

[Wa'alaikumsalam] jawab Bara.

Nazifa memejamkan lagi matanya, mencoba tidur untuk mengurangi rasa pusing.

🌸🌸🌸

Setelah selesai makan malam bersama, Orangtuanya mengajak Nazifa duduk di ruang depan.

"Ada apa, Pak? Bapak mau bicarain masalah apa?" tanyanya.

Orangtua Nazifa diam sesaat. Mata mereka saling menatap sekilas. Ayahnya berdehem sebelum akhirnya mulai bicara.

"Besok ada yang mau ngelamar kamu, Zee," ucap Ayahnya langsung.

Nazifa terkesiap mendengar perkataan Bapak.

"M-m-melamar? Bapak pasti lagi becanda, kan?" tanyanya tak percaya. "Bapak ini lucu. Hampir aja bikin jantung Zee mau copot." Nazifa tertawa ringan.

"Bapak nggak becanda, Zee," ucap Ayahnya dengan nada serius.

Tawa Nazifa langsung terhenti. Ia bersusah payah menelan ludah.  Terlihat sekali dari ekspresinya, kalau Ayahnya sedang tidak main-main. Ia mengalihkan pandangan ke arah Ibunya. Ibunya menganggukan kepala tanda meng-iyakan pernyataan Ayahnya. Nazifa diam mematung tak percaya dengan yang didengarnya.

"Bapak sudah bilang padanya, kalau Bapak sama Ibu setuju tentang lamarannya," tambah Ayahnya lagi.

Nazifa mengerutkan kening mendengar pernyataan Ayahnya.

"Kenapa Bapak langsung setuju begitu aja, Pak? Kenapa nggak tanya sama Zee dulu?" protesnya.

"Dia pria yang baik, Nak. Bahkan sikapnya sangat sopan saat pertama kali bertemu Bapak sama Ibu," kata Ibunya penuh keyakinan.

"Tapi siapa pria itu, Bu? Apa Zee mengenalnya?"

"Mungkin kamu belum kenal dia tapi kalian sering bertemu. Itu yang diceritakan pria itu sama kami," tutur Ibunya.

"Namanya Afnan. Dia pria yang tampan dan baik, Zee," kata Ibunya bersemangat.

Afnan? Aku bahkan tak pernah mendengar nama itu, batinnya kesal.

"Zee nggak mau, Bu. Zee nggak mau nikah sama orang yang nggak Zee kenal." Nazifa merengek dengan wajah memelas.

Ibunya menggenggam kedua tangan Nazifa.

"Nak, kami yakin kalau dia pria yang tepat untukmu, sayang. Bahkan Bapakmu yang tadinya akan menolak permintaan pria itu, berubah pikiran setelah melihat keseriusannya," ucap Ibunya meyakinkan.

"Tapi Zee belum mau nikah, Bu. Apalagi sama orang yang nggak Zee kenal. Zee nggak mau!" Nazifa menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa kamu nggak percaya sama Bapak, sama Ibu, Zee?" tanya Ayahnya dengan nada penuh penekanan. "Apa kamu pikir, Bapak sama Ibu akan menjodohkan kamu dengan pria yang tak baik?"

Nazifa terus menunduk tak menjawab pertanyaan Ayahnya. Tangan meremas-remas rok. Perasaannya benar-benar tak karuan. Kesal, kecewa. Matanya pun sudah mulai terasa panas.

"Tapi kenapa Bapak sama Ibu bisa yakin kalo dia pria yang baik?" tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis.

"Zee, sayang ... Apa kamu tau, apa yang dilakukan pria itu untuk mendapat restu kami?" Ibunya mengusap lembut kepala Nazifa yang daritadi tertunduk. "Dia sampai bersimpuh di kaki Bapak sama Ibu, untuk meminta ijin dan restu melamarmu, Nak."

Nazifa menoleh menatap Ibunya seolah tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Ibunya mengangguk pelan mengisyaratkan kalau yang dikatakannya itu benar.

"Tapi Zee tetep nggak mau, Bu. Zee masih muda. Zee maunya nikah sama orang yang Zee cinta. Setidaknya dengan orang yang Zee kenal bukan dengan orang asing." Isakan tangis Nazifa sudah tak bisa tertahan.

"Cinta itu bisa datang seiring waktu Zee. Cinta akan datang perlahan setelah pernikahan," bujuk Ibunya.

Nazifa semakin terisak mendengar kata-kata Ibunya.

Bagaimana bisa, aku menikah dengan orang asing yang sama sekali tak kukenal? Hatiku sakit. Kenapa Orangtuaku begitu mudahnya memutuskan untuk setuju dengan lamaran itu, tanpa menanyakan padaku terlebih dulu? Apakah mereka tidak memperdulikan kebahagiaanku?

Ayahnya terlihat beranjak dari tempat duduknya dan beralih duduk di samping Nazifa.

"Zee ...." Ayahnya menarik bahu Nazifa agar menghadapnya. "Lihat Bapak, Nak," perintahnya lembut.

Pelan-pelan Nazifa mengangkat wajah menatapnya.

"Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu, Nak. Kami sayang padamu. Bapak sama Ibu ingin yang terbaik buatmu."

Entah kenapa kata-kata manis Ayahnya terasa begitu menyakitkan baginya. Sakit sekali. Perih! Isak tangisnya semakin tak tertahankan. Air mata saling berlomba keluar tak terbendung lagi.

Ayahnya memeluk Nazifa dengan lembut. Tapi tangisnya malah semakin menjadi tak terhenti.

Ibunya pun terus mengusap-usap lembut punggung Nazifa.

"Zee, Ibu sama Bapak memang sudah bilang setuju dengan lamaran itu. Tapi semua keputusan tetap ada padamu. Pikirkan lagi baik-baik ya, Nak," tutur Ibunya lembut.

Nazifa pamit pada Orangtuanya untuk kembali ke kamar. Menghempaskan tubuhnya dan menenggelamkan wajah ke bantal. Tak peduli lagi dengan air mata yang tumpah ruah membasahi bantal.

Bolehkah aku kecewa dengan keputusan kedua Orangtuaku?

Jika memang mereka sayang padaku, bukankah seharusnya mereka tak mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya padaku lebih dulu?

Tak ia hiraukan lagi ponselnya yang berdering berkali-kali. Nada pesan Wa masuk pun selalu terdengar. Nazifa tak peduli. Ia sedang tak ingin berbicara dengan siapapun. Ia hanya ingin menangis. Entah sampai berapa lama ia menangis. Karena tanpa sadar, Nazifa telah tertidur dan bangun pagi dalam keadaan mata yang sembab.

★★★