Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 5 - Part 5–Masa Lalu

Chapter 5 - Part 5–Masa Lalu

Hari ini Nazifa bekerja hanya setengah hari di Kafe. Setelah mendapat izin dari Mbak Hana, akhirnya ia putuskan untuk ikut melihat pertandingan Basket Bara. Nggak ada salahnya juga. Sekalian menghilangkan rasa penasaran. Gimana sih suasana Kampus itu?

Jam sudah menunjukan pukul 13.00, segera Nazifa bergegas mengganti seragam kerja dengan pakaiannya tadi pagi. Gamis terusan biru dan hijab instant. Saat sedang berganti pakaian, ponselnya berbunyi.

Ting!

Ada pesan Wa masuk.

[Aku udah di depan kafe]

Nazifa pamit ke Mbak Hana dan teman kerjanya lalu bergegas keluar. Hari ini Bara memang mau menjemputnya supaya bisa berangkat bareng ke Kampusnya. Sebetulnya ia  sudah bilang pada Bara kalau ia bisa berangkat sendiri. Bara hanya perlu memberitahunya nama Kampus dan alamanya saja. Tapi Bara menolak. Alasannya takut nanti Nazifa nyasar.

Nazifa melihat Bara sedang memperhatikan ke arahnya saat ia sedang berjalan mendekat. Tapi sayang, Nazifa tak bisa melihat ekspresi wajah Bara. Karena helmya masih terpasang.

Apa jangan-jangan ... dia sedang menertawaiku? batin Nazifa.

"Ayo, Bar," ajak Nazifa saat sudah di depannya.

"Manis," ucap Bara pelan.

"Apa?" tanya Nazifa.

"Nggak apa-apa. Nih, pake helmnya dulu."

Nazifa pun segera memakai helmnya dan langsung naik ke atas motor Bara.

"Udah?" tanya Bara memastikan.

"Udah," sahut Nazifa. "Jangan ngebut ya, Bar. Aku takut."

Bara menjawab dengan menganggukan kepala.

Setengah jam kemudian mereka sampai di parkiran Kampus. Kampusnya benar-benar luas. Bagus. Suasana di Kampus ini juga lumayan ramai. Apa selalu seperti ini, atau karena mau ada pertandingan Basket? Entahlah.

"Gimana Kampusnya, Bagus nggak?" tanya Bara pada Nazifa yang sedang sibuk memperhatikan sekeliling.

"Ehm." Nazifa menganggukan kepala dan tersenyum.

Saat mereka hendak pergi, terdengar seseorang memanggil Bara.

"Ooy! Bara!"

Bara dan Nazifa serempak menoleh ke arah suara itu.

"Gebetan baru, ya? Gue baru liat," tanya teman Bara antusias.

"Bukan bro. Calon istri gue ini," jawab Bara seenaknya.

Nazifa yang kaget mendengar ucapannya, langsung melotot ke arahnya. Bara yang melihat ekspresinya malah tertawa.

"Becanda sayang ... Eh, salah! Becanda Nazi," ucap Bara sambil mengedipkan sebelah mata.

"Ecieee ... Cieee ... Suit-suit!" Teman-teman Bara tertawa menyoraki mereka sambil berlalu pergi.

Bara malah semakin terbahak mendengarnya. Sedangkan Nazifa memalingkan pandangan ke arah lain. Malu sekali ia diledek begitu.

Nyebelin banget si Polem ini, batin Nazifa.

"Ayo!" ajak Bara menahan tawa.

Nazifa mendengus kesal dan mulai mengikuti langkah kakinya.

Baru beberapa langkah dari parkiran, langkah Nazifa seketika terhenti. Matanya tertuju pada seseorang yang tengah berjalan di kejauhan.

Sepertinya mirip seseorang yang kukenal, batin Nazifa. Apa dia ...

"Kenapa? ada yang kamu kenal, Nazi?" pertanyaan Bara menyadarkannya dari lamunan.

Mata Bara ikut melihat ke mana arah mata Nazifa tertuju.

"Ah-ehm-nggak ada, Bar. Cuma salah liat aja."

"Ooh ... Kirain ngeliat mantan," ledek Bara.

"Aku nggak pernah pacaran, polem," jawab Nazifa kesal.

Bara hanya tersenyum mendengar jawabannya.

Nazifa melihat suasana di lapangan Basket sudah ramai. Kursi-kursi pun sudah hampir terisi penuh. Bara mengantarnya ke kursi paling depan barisan.

"Duduk di sini, ya. Aku harus siap-siap dulu sebelum tanding. Nanti kita ketemuan di parkiran selesai pertandingan. Ok?"

Nazifa menganggukan kepala dan Bara pun bergegas pergi.

Pertandingan berjalan dengan lancar dan seru. Semua penonton bersorak-sorai mendukung tim masing-masing. Nazifa melihat Bara begitu lihai dalam permainan Basket. Ia selalu terlihat menguasai bola. Nazifa pun tak ketinggalan tertawa dan bertepuk tangan saat Bara berhasil menembak bola ke ring. Menyenangkan sekali. Tidak salah ia ikut menonton pertandingan Bara. Beberapa kali Bara menoleh ke arahnya saat ia berhasil menembak bola. Nazifa tersenyum dan mengacungkan dua jempol yang membuat dirinya semakin tersenyum lebar.

Pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh tim Bara. Penonton pun mulai membubarkan diri keluar Aula Basket. Begitupun dengan Nazifa. Ia berjalan keluar Aula Basket menuju parkiran. Namun baru beberapa langkah dari pintu keluar, ada seseorang yang memanggil namanya.

"Zee! Zifa!" teriaknya.

Nazifa menoleh ke arah suara itu.

"Di-Dimas ...." Mata Nazifa membelalak tak percaya.

Dimas berlari menghampirinya. Nazifa hanya berdiri mematung memandangnya. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Dimas di sini. Ternyata yang ia lihat tadi itu beneran Dimas.

"Zee ...," panggil Dimas lembut.

Terlihat dia masih mencoba mengatur nafas yang tersengal-sengal setelah berlari.

"A-aku nggak nyangka kita bisa ketemu di sini, Zee," ujarnya dengan wajah sumringah.

"Aku tadi liat kamu di Aula Basket. Aku pikir aku salah liat. Ternyata itu bener kamu, Zee."

Nazifa hanya tersenyum tipis menanggapi.

"Kamu kok bisa ke sini? Sama siapa?" tanyanya beruntun.

"Temen," jawab Nazifa singkat.

"Kamu ada waktu, Zee? Ada yang mau aku omongin sama kamu."

"A-aku ...."

"Please, Zee ...." pintanya memelas.

Nazifa pun akhirnya meng-iyakan.

"Kita ngobrol di sana, ya." Dimas menunjuk bangku taman di dekat parkiran.

Nazifa mengangguk dan mereka pun berjalan ke arah taman.

Hening. Untuk beberapa saat tak ada satupun dari mereka yang mulai bicara. Nazifa merasa canggung. Mungkinkah Dimas juga merasa begitu?

"Zifa ...."

"Dimas ...."

Ucap mereka berbarengan. Mereka tertawa kecil menyadari suasana canggung ini.

"Zee ... aku minta maaf. Aku benar-benar telah menyakiti hatimu waktu itu. Aku memang benar-benar pengecut." Dimas mulai bicara.

"Udahlah Dim. Itu juga bukan sepenuhnya salahmu. Aku yang salah karena terlalu berharap lebih," timpal Nazifa.

Mereka sama-sama terdiam beberapa saat hingga ...

"Zee ... Aku mau kita menikah," ucap Dimas tiba-tiba. Matanya menatap pada Nazifa penuh keyakinan.

Nazifa terkesiap mendengar ucapannya. Mata mereka saling menatap untuk beberapa saat. Ada keseriusan di mata Dimas. Namun Nazifa segera menundukkan kembali pandangannya.

Apa aku tidak salah dengar? batin Nazifa.

"Zee ...," panggil Dimas saat melihat Nazifa yang hanya diam mematung.

"A-aku nggak bisa Dim," jawab Nazifa terbata.

Sesaat ia merasa senang mendengar ucapan Dimas. Tapi juga sedih, kenapa baru sekarang? Saat rasa itu telah hilang.

"Kenapa, Zee? Bukankah kita punya perasaan yang sama?"

"Itu dulu Dimas. Aku ... Aku sudah ikhlas dengan keputusanmu, dan melupakan perasaanku. Mungkin kita memang nggak berjodoh," terang Nazifa.

"Tapi aku nggak, Zee. Aku nggak bisa lupain kamu. Kamu tau kan, aku sudah menaruh hati sama kamu sejak kita masih sekolah," tutur Dimas penuh penekanan.

"Benarkah?" Nazifa tersenyum sinis mendengar perkataanya.

"Dim ... Apa kamu tau? Betapa bahagianya aku saat kamu mengungkapkan perasaanmu itu? Kamu juga tau, kalau aku nggak mau pacaran. Aku mau pacaran halal setelah menikah. Itulah kenapa aku memintamu menemui orang tuaku kalau kamu memang serius. Tapi apa jawabanmu?" Mata Nazifa terasa panas. Ia berusaha menahan bulir bening itu agar tak jatuh.

"Aku tau, Zee. Aku salah. Tapi waktu itu aku bener-bener belum siap," ucap Dimas lirih.

Air mata Nazifa sudah menggenang di pelupuk mata. Ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Rasa sesak itu kembali terasa.

"Aku bisa mengerti kalau saat itu kamu memang belum siap. Aku ngerti Dim. Dan aku nggak kecewa. Sungguh! Aku pun tak memaksamu. Kamu memintaku untuk menjaga hatiku dan bersabar menunggumu, aku bersedia." Nazifa menggigit bibirnya yang bergetar menahan tangis.

"Tapi apa yang aku dapatkan Dimas? Aku memergokimu berpacaran dengan gadis lain. Kau tau bagaimana perasaanku saat itu? Sakit Dimas. Perih. Aku kecewa," ucap Nazifa dengan nada bergetar menahan tangis.

Dimas tak mengeluarkan sepatah katapun. Terlihat raut penyesalan di wajahnya. Dia meremas kasar kedua lututnya.

"Kamu memintaku menjaga hati. Sedangkan kamu? Kamu bebas menjalin hubungan dengan gadis lain di luar sana? Kamu egois, Dimas! Egois!"

Tumpah sudah air mata yang sedari tadi coba ia tahan. Nazifa menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tak peduli orang-orang yang menatapnya. Ia hanya ingin menangis. Membuang jauh rasa sakit ini dari hatinya Agar tak tersisa lagi sedikitpun. Setidaknya Nazifa bisa merasa lega setelah melepaskan semua beban itu.

"Lihat aku, Zee," pinta Dimas memelas.

Nazifa berusaha menghentikan tangisnya, menghapus air mata dan memandang Dimas.

"Maaf Zee ... Maaf," ucap Dimas lirih.

Mata Dimas menatap Nazifa dengan penuh penyesalan. Nazifa bisa melihat ada kesungguhan di sana. Namun Nazifa segera memalingkan kembali pandangannya ke depan dan berusaha mengatur nafas sebelum

berkata,

"Aku udah maafin kamu, Dimas. Aku juga ingin hubungan kita baik lagi. Tapi hanya sebatas teman, tidak lebih!" tegas Nazifa.

Dimas membelalakkan mata kaget mendengar ucapannya. Keningnya berkerut.

"Nggak, Zee. Aku nggak mau!" Dimas menggeleng-gelengkan kepala.

"Terserah kamu, Dimas. Yang penting aku udah jujur. Rasa itu telah hilang. Kini aku hanya menganggapmu sebagai teman," tegas Nazifa lagi.

"Aku harus pergi sekarang, Dimas. Maaf." Nazifa beranjak dari bangku dan melangkah pergi.

Namun langkahnya terhenti saat tangan Dimas mencekal pergelangan tangannya dengan kuat. Ia kaget dengan apa yang dilakukan Dimas.

"Lepasin, Dim!"

"Nggak! Aku nggak akan lepasin kamu sebelum kamu mau menerimaku!" ucap Dimas dengan nada tinggi.

Tangannya semakin kuat mencengkram pergelangan tangan Nazifa. Kini pergelangan tangan Nazifa mulai terasa panas, perih.

"Sakit, Dimas. Lepas!" Nazifa berusaha melepas cengkeraman itu dengan tangan kirinya.

"Zee! Aku serius dengan perasaanku! Kalau perlu, aku akan membawa orang tuaku hari ini juga untuk melamarmu!" Bara mulai menarik paksa Nazifa untuk pergi dari situ.

"Kamu nggak boleh kayak gini, Dim. Ini bukan Dimas yang aku kenal. Kumohon lepasin tanganku," ucap Nazifa lirih meringis menahan sakit.

"Nggak! Kamu harus ikut aku! Kita pulang ke Tasik sekarang juga!" bentak Dimas sambil menarik paksa Nazifa agar mengikutinya.

Nazifa berusaha meronta melepaskan tangannya. Tapi tenaga Dimas begitu besar. Semakin ia meronta, cengkramannya semakin kuat. Beberapa orang hanya memperhatikan mereka tanpa satupun yang berusaha menolong. Mungkin mereka mengira, Dimas dan Nazifa ini adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar dan mereka tak mau ikut campur.

🌸🌸🌸

Sementara itu di tempat lain, Bara terlihat sedang celangak celinguk mencari Nazifa.

"Kemana dia?" gumam Bara menggaruk kepala yang tak gatal.

Tak lama ia pun mendapati sosok yang ia cari tengah ditarik kasar oleh seorang pria.

Matanya membelalak tajam melihat pemandangan itu. Rahangnya mengeras menahan emosi. Bara berlari dengan cepat ke arah Nazifa. Hingga ...

Bugh!

Dengan sekali tendangan, Dimas terjungkal ke depan.

Nazifa menjerit tertahan melihat hal itu. Matanya membelalak membungkam mulut dengan kedua telapak tangan.

Tak memberinya kesempatan, Bara menerjang ke arah Dimas dan meninjunya bertubi-tubi.

"Jangan Bara! Berhenti!" teriak Nazifa ketakutan.

Namun percuma, Bara tak mengindahkan ucapannya. Kini Dimas tak mau kalah. Ia mendorong kasar tubuh Bara dan balas meninjunya.

"Brengsek!" teriak Dimas penuh emosi. Dimas meninju Bara hingga tersungkur.

Dengan cepat Bara kembali bangkit. Kembali mendekati Dimas dengan mengepalkan tangan. Namun kali ini Dimas berhasil mengelak dari pukulan Bara.

"Siapa lu? hah!" bentak Dimas.

"Lu nggak perlu tau siapa gue! Jangan jadi banci loe! Beraninya sama cewek, cuih!" cela Bara.

Rahang Dimas mengeras. Mereka saling menarik baju bagian dada dengan tangan saling mengepal. Orang-orang semakin berkerumun melihat pertengkaran ini.

Nazifa berlari cepat ke arah mereka, berdiri di tengah-tengah dua pria berbadan tegap dan atletis ini. Dengan perasaan takut, ia berusaha dengan susah payah memisahkan mereka.

"Stop!" teriak Nazifa.

"Udah, Bara! Udah!" Dengan sekuat tenaga Nazifa mendorong tubuh Bara menjauh dari Dimas.

Bisa ia rasakan jantung Bara berdetak cepat tak beraturan saat mendorongnya menjauh. Bara masih dipenuhi emosi.

"Bara, please ...," ucap Nazifa lirih.

Bara memandangnya. Terlihat dia berusaha mengendalikan emosinya.

Nazifa segera melepaskan tangannya dari tubuh Bara.

"Jangan ikut campur! Gue ada urusan sama Zifa! Bukan sama loe!" bentak Dimas menunjuk ke arah Bara.

"Udah Dim, udah! Apa kalian nggak malu jadi tontonan di sini? hah!" Ucap Nazifa dengan mata mulai berembun.

Dimas terdiam melihat sekeliling.

"Ayo, Nazi. Kita pulang," ajak Bara dengan melirik tajam ke arah Dimas.

Nazifa menuruti kata-katanya. Berjalan beriringan meninggalkan Dimas yang terlihat berdiri mematung menatap kami.

"Tunggu, Bar." Nazifa menghentikan langkahnya. Berbalik badan kemudian menghampiri Dimas. Ia mengambil sebuah saputangan dari dalam tas.

"Bersihkan darahmu, Dim." Nazifa menyodorkan saputangan.

Dimas memandangnya dan menerima saputangan itu.

"Aku pergi dulu," ucap Nazifa kemudian berlalu pergi.

"Zee!" Dimas memanggil namanya.

Nazifa tak mengindahkan panggilannya dan terus berjalan ke arah Bara, yang sedari tadi terlihat menatap tajam ke arah Dimas.

Kenapa harus jadi seperti ini, Dimas, batin Nazifa.

Nazifa menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipi. Bara melirik ke arahnya.

"Udah. Nggak usah nangisin aku. Aku nggak apa-apa kok," goda Bara.

Nazifa tersenyum mendengar celotehnya.

Iissh ... bisa-bisanya dia masih bercanda dengan wajah babak belur begitu, gerutu Nazifa dalam batin.

Sebelum Bara memakai helm, Nazifa memberikan tisu padanya.

"Dilap dulu darahnya." Nazifa menunjuk sudut bibir Bara yang berdarah.

Bara tersenyum dan mereka pun pergi meninggalkan kampus itu.

"Mampir ke mushola dulu ya, Bar," pinta Nazifa di tengah perjalanan. Bara meng-iyakan.

Setelah mereka selesai menunaikan ibadah shalat ashar yang sempat tertunda karena insiden, Bara menghampiri Nazifa yang sedang mengikat tali sepatu.

"Nanti kita mampir cari makan dulu, ya. Kamu lapar, kan?"

Nazifa menggelengkan kepala. "Aku mau langsung pulang aja."

"Ok." Bara hanya manggut-manggut.

Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah kost.

🌸🌸🌸

"Duduklah," ucap Nazifa saat mereka sudah tiba.

Bara duduk di kursi rotan di halaman depan. Nazifa melenggang pergi ke arah kamar kemudian dapur. Ia kembali ke depan dengan membawa es batu, dua saputangan, kain kasa dan seledri yang ditumbuk.

"Nih, kompres dulu bibirnya." Nazifa  memberikan saputangan yang di dalamnya ada es batu.

"Baik, Tuan Putri," jawab Bara terkekeh.

Nazifa diam tak merespon candaannya.

"Siniin tangan kamu," ucap Nazifa datar.

Bara pun mengulurkan tangan kanannya.

Nazifa mengompres tangan kanan Bara yang memar dengan saputangan lainnya. Tanpa sepengetahuannya, Bara menatap lekat ke arah Nazifa yang sedang menunduk.

Andai bisa terus bersamamu seperti ini, aku rela meskipun harus babak belur Nazi, gumam Bara dalam hati.

Bara tersentak kaget saat melihat Nazifa yang tiba-tiba terisak.

"Kamu kenapa? Kok nangis?" tanyanya cemas.

Air mata Nazifa mengalir begitu saja tak dapat  ia tahan.

"A-aku takut Bar. Aku takut kalo liat orang berantem," ucap Nazifa di tengah isakan tangis. "Apalagi kalo sampe berdarah. Aku suka langsung lemes gemeteran kalo liat darah, Bar. Untung aja darahnya nggak banyak. Bisa-bisa aku pingsan di sana tadi." tutur Nazifa dengan terus menunduk sambil mengusap air matanya kasar.

"Maaf ...," ucap Bara lirih.

Tangan kirinya terulur hendak mengusap kepala Nazifa, namun terhenti sebelum benar-benar menyentuhnya. Dikepalkan tangannya itu kemudian menariknya kembali perlahan.

"Siapa cowok itu?" tanyanya menyelidik.

"Temen," jawab Nazifa singkat setelah berhenti menangis.

"Masa? Keliatannya lebih dari temen tuh." Bara menaikkan satu alisnya.

"Bener, Bara. Dia temen sekolahku dulu. Aku merantau ke sini bareng dia," jelas Nazifa sambil menempelkan seledri di tangan kanan Bara kemudian membalutnya dengan perban.

"Ooh," jawab Bara datar.

Terlihat sekali dia tidak percaya kata-kata Nazifa. Tapi Nazifa tak memperdulikannya. Karena ia tak ingin membahas masa lalunya.

"Ini seledri fungsinya buat apaan?"

"Mengurangi rasa nyeri, Bara. Memarnya juga nanti jadi cepet sembuh," jelas Nazifa.

"Udah selesai nih."

"Thanks," ucap Bara tersenyum.

"Kamu mau makan dulu, Bar?"

"Emang kamu masak?" tanya Bara bersemangat.

"Nggak," jawab Nazifa singkat.

Bara terbahak mendengarnya.

"Ngapain nawarin kalo gitu, Nazi. Jangan-jangan kamu juga nggak bisa masak lagi," ledeknya.

"Enak aja. Bisalah," sahut Nazifa.

"Ya udah. Kapan-kapan masakin buatku, ya," pintanya dengan mata berbinar-binar.

"Ngarep," jawab Nazifa mengerucutkan bibir.

Bara tertawa keras melihat ekspresinya.

"Aku pulang dulu deh. Udah mau maghrib. Tar dicariin emak," ucap Bara setengah berbisik.

Nazifa mengangguk menahan tawa.

"Nanti di rumah, memarnya dikompres lagi, ya," ucap Nazifa.

"Iya, Nyonya."

Nazifa mengerucutkan bibirnya  mendengar ocehan Bara.

Bara tertawa lalu memakai helm. Dia melambaikan satu tangannya sebelum akhirnya melajukan sepeda motornya dan pergi dari sana.

★★★