Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 3 - part 3–Harapan dan Impian yang sama

Chapter 3 - part 3–Harapan dan Impian yang sama

Tak butuh waktu lama untuk Nazifa menjadi semakin akrab dengan Bara. Bara yang memang tipe orang ceria dan lucu selalu bisa mencairkan suasana. Nazifa bersyukur mendapatkan teman baru yang baik dan menyenangkan sepertinya. Bara bisa membuatnya sedikit melupakan luka di masa lalu. Obrolan mereka selalu dipenuhi dengan canda tawa. Dan Nazifa suka itu. Tak bisa ia pungkiri sedikit demi sedikit luka yang ditorehkan Dimas di masa lalu menguap hampir tak tersisa. Nazifa sadar, kalau hal itu tak sepenuhnya salah Dimas. Itu karena Nazifa yang terlalu berharap lebih dengan perasaannya.

Hari ini saat Nazifa sedang bersiap menutup Kafe, terdengar klackson motor dibunyikan berkali-kali dan tak lama kemudian sebuah motor berhenti.

"Bara."

Seperti biasa dia selalu terlihat keren dan modis. Nazifa merasa bangga juga punya teman keren seperti Bara. Barama membuka helmnya dan berjalan mendekat pada Nazifa yang sedang mengunci pintu.

"Udah mau pulang, kan?" tanyanya.

"Keliatannya gimana?" Nazifa balik bertanya. "Kamu ngapain ke sini?

"Mau minta makan," jawab Bara cuek.

Nazifa menahan tawa mendengar jawabannya.

"Ya udah. Ayo, pulang," ajak Bara.

"Iya. Ini juga aku mau pulang. Udah sana kamu balik."

Bara mendecak sebal. "Orang gue ke sini mau nganterin loe pulang kok. Nggak peka banget sih." Bara cemberut.

"Iya ... Tau. Tapi nggak usah keseringan juga kali Bar," ucap Nazifa. "Aku bisa pulang sendiri kok."

"Eh, ini tu udah malem Nazi. Jam 10. Nggak baik cewek pulang malem-malem sendirian. Nanti kalau ada yang nyulik gimana?" Bara menakutinya.

"Nggak usah nakut-nakutin, deh."

"Siapa yang nakut-nakutin? Emang beneran Nazi. Penjahat tu ada di mana-mana," terang Bara. "Lagi musim begal sama culik," bisik Bara.

"Mana ada sih, yang mau nyulik cewek jelek kayak aku Bar, miskin lagi. Yang diculik tu orang cantik, orang kaya." Nazifa tertawa menutup mulut.

Namun tawanya terhenti seketika saat melihat Bara  diam dengan tatapannya yang tajam mengarah padanya.

Waduh, salah ngomong ini mah kayaknya, batin Nazifa.

"Gue nggak suka tiap loe ngomong gitu," ucap Bara tanpa senyum.

Nazifa menundukan pandangan, menggigit bibir bawahnya merasa tak enak hati.

"Jangan suka ngerendahin diri sendiri. Gimana orang bisa mandang kelebihan loe, kalau loe sendiri ga menghargainya," ujar Bara.

"Iya Bara. Maaf," ucap Nazifa lirih.

Bara tidak menjawabnya. Ia melipat kedua tangannya di dada, pandangan matanya kini menatap lurus ke depan. Terlihat jelas raut kesal di wajahnya.

"Maaf Bara. Beneran deh. Aku janji nggak bakal ngomong gitu lagi." Nazifa mengangkat dua jarinya ke atas.

Bara beralih memandangnya dan tersenyum.

"Bener, ya?" Telunjuknya mengarah pada Nazifa.

Nazifa menganggukan kepala. Tangannya tak berhenti memainkan ujung hijab yang ia pakai.

"Itu kerudungnya nggak usah digulung-gulung begitu. Kasian. Cukup hati gue aja yang loe gulung." Bara tersenyum menggoda.

"Apaan, sih." Nazifa tertawa.

"Ya udah, ayo."

Nazifa mengangguk kemudian mengikuti langkah Bara yang  mulai berjalan menuntun motor. Nazifa berjalan di samping kanan motornya. Mereka berbincang dan tertawa bersama selama perjalanan. Bara selalu bisa membuatnya tertawa dengan kata-kata dan tingkahnya. Memang setiap kali Bara mengantarnya pulang, mereka hanya berjalan kaki tanpa menaiki motornya.

"Kali-kali motornya dinaekin apa. Masa iya tiap gue anterin, motornya cuma dituntun," celetuk Bara di tengah obrolan. "Tar orang ngira, motor gue nggak ada bensinnya lagi. Masa orang sekeren ini nggak mampu beli bensin." Bara merapikan poninya yang tidak kusut sama sekali.

Nazifa menahan senyum melihat tingkahnya. "Itung-itung olahraga. Lagian kan jaraknya juga deket," sahut Nazifa.

"Bilang aja biar loe bisa lama-lama deket gue." Bara tertawa.

"Diih ... Pede banget." Nazifa menaikan satu alis. "Sejak kapan sih, kadar kepedeanmu itu melebihi batas normal?"

"Sejak orok." Bara menaik-turunkan alisnya.

Nazifa tertawa geli melihatnya.

"Loe punya pacar nggak, sih?" tanyanya tiba-tiba.

"Kepo."

"Ih ... Orang serius nanya juga."

"Mau tau aja apa mau tau bangeett," goda Nazifa.

"Tempe," sahut Bara kesal.

"nggak punya," jawab Nazifa santai.

"Seriusan?" Mata Bara membulat. "Berarti loe masuk kategori jones dong," Bara menertawakannya.

"Enak aja. Aku mah bukan jones, tapi jopy," timpal Nazifa.

"Apaan tu?"

"Jomblo happy."

Nazifa melihat Bara tersenyum lebar. Matanya menatap lekat ke arahnya. Entah apa maksud dari pandangannya itu. Nazifa tak mengerti. Lekas Nazifa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia melirik Bara sekilas dari sudut mata dan ternyata Bara masih menatapnya.

"Kamu kenapa sih, Bar?" Nazifa mengernyitkan dahi.

"Nggak ... Nggak apa-apa." Bara mengarahkan pandangannya kembali ke depan. "Loe hari sabtu libur nggak?"

"Nggak. Kenapa?" tanya Nazifa.

"Gue hari sabtu mau ada acara tanding basket di kampus. Loe dateng ya," ujar Bara bersemangat.

"Aku kan kerja, Bar. Jadi maaf, nggak bisa dateng."

"Yah ... Jangan gitu dong. Izin kek ke mbak Hana buat masuk setengah hari. Acaranya mulai jam 2 kok. Dia kan baik tu. Pasti dibolehin. Ya? Please ...." Bara memasang raut wajah memelas.

Nazifa pun jadi tak tega menolaknya.

"Iya. Nanti aku coba ngomong ke mbak Hana."

"Janji ya?"

"Iya, poleeem."

Bara terlihat senang mendengar jawaban Nazifa.

"Bentar-bentar. Kayaknya ada yang salah ni sama kuping gue." Bara mengorek-ngorek kuping yang tak gatal. "Tadi loe manggil gue apa?"

"Polem," jawab Nazifa cuek.

"Apaan itu?"

"Poni lempar," jawab Nazifa tertawa.

Bara pun ikut tertawa. "Sialan. Poni udah keren gini malah diledekin." Bara mengusap-ngusap poninya.

"Tapi nggak apa-apa. Gue anggap itu panggilan sayang loe ke gue." Bara mengedipkan sebelah matanya kepada Nazifa.

"Au ah!" Nazifa berjalan mendahuluinya.

"Ooy! Tungguin dong!"

Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah kost. Bara memarkirkan motornya di depan gerbang.

"Bentar, ya." Nazifa bergegas ke dalam dan kembali membawa minum. "Nih, minum dulu."

"Tau aja kalau gue haus." Bara nyengir.

Ia duduk di atas motor dan meminumnya.

"Thanks." Bara menyodorkan botol minum itu padanya. "Aku langsung balik, ya. Jangan lupa tar tanyain ke mbak Hana." Bara kembali memasang helm.

Nazifa mengangguk. "Hati-hati."

Bara membunyikan klaksonnya beberapa kali sebelum berlalu pergi. Nazifa pun bergegas masuk ke kamarnya.

🌸🌸🌸

"Ma ... Ada yang mau aku omongin sama mama." Afnan duduk mendekati ibunya yang sedang menonton TV.

"Kenapa sayang?" Kamu ada masalah di kantor?" tanya Mamanya lembut.

Afnan menggelengkan kepala. "Bukan Ma. Di kantor baik-baik aja kok. Mama nggak perlu cemas."

Mamanya mengangguk-anggukan kepala. Afnan diam sejenak.

"Aku ... akan segera menikah dalam waktu dekat ini Ma," ucapnya tiba-tiba yang berhasil membuat ibunya tersentak kaget.

"Kamu serius, Nak?" Mata mamanya membulat seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Secara Afnan selalu saja menghindar setiap kali mamanya berbicara tentang pernikahan.

"Sama siapa? Kenapa nggak pernah kamu bawa ke sini? Apa mama kenal sama gadis itu?" tanya Mamanya beruntun.

"Mama nggak kenal sama dia. Aku juga baru mengenalnya 2 bulanan ini Ma. Tapi Aku yakin kalau dia wanita yang selama ini Afnan cari. Aku yakin dia bisa jadi istri yang baik buat Afnan," jelasnya.

"Sejak kapan kamu menjalin hubungan sama dia?"

Afnan terdiam sesaat. "Aku nggak pernah ada hubungan apa-apa sama dia, Ma. Bahkan dia nggak mengenal Afnan sama sekali," jawab Afnan pelan.

Mamanya mengernyitkan dahi tak mengerti.

Afnan menghembuskan nafas perlahan kemudian berkata.

"Aku cinta sama dia, Ma. Aku jatuh cinta saat pertama kali melihatnya. Aku juga nggak ngerti kenapa. Yang jelas Aku bahagia setiap kali ketemu sama dia. Aku jadi gelisah kalau sehari saja tak melihatnya." 

Afnan menyandarkan diri ke sofa. Matanya menerawang ke langit-langit. Mamanya menggenggam tangan Afnan.

"Nak ... Siapapun gadis yang kamu pilih, mama pasti akan setuju. Mama serahkan semua keputusan padamu. Karena yang menjalani pernikahan itu kamu, Nak. Asalkan dia wanita baik-baik. Bagi mama yang terpenting kamu bahagia. Mama hanya berharap kamu nggak salah pilih. Karena pernikahan itu sesuatu yang sakral bukan untuk main-main. Cukup sekali seumur hidup. Apa kamu sudah yakin dengan pilihanmu?" Mamanya menegaskan.

Afnan mengangguk dengan tatapan yakin.

"Tapi, bagaimana jika gadis itu menolakmu? Bahkan dia belum mengenalmu, kan?" Mamanya sedikit ragu.

Afnan beralih dari sofa dan mengambil posisi bersimpuh di depan mamanya. Tangan Afnan menggenggam lembut tangan ibunya.

"Mama percaya Afnan, kan? Afnan nggak akan mengecewakan Mama. Afnan butuh restu dan do'a mama." Afnan menyandarkan kepala di kedua lutut mamanya.

Mamanya memandang lekat Afnan dan tersenyum bahagia.

"Mama bahagia melihat kesungguhanmu, Nak. Dari dulu mama sudah berharap kamu segera menikah. Mama senang, akhirnya mama akan punya menantu yang bisa menemani mama ngobrol di rumah. Mama merestui niatmu Nak." Mamanya mengusap lembut rambut Afnan.

Terlihat matanya berembun menahan haru.

"Makasih, Ma." Afnan mencium kedua tangan ibunya.

Keduanya tersenyum bahagia. Afnan kembali duduk di samping Mamanya.

"Rencananya kapan kamu akan melamar gadis itu?"

"Besok Afnan akan ke Tasik untuk menemui orang tuanya dulu, Ma. Afnan mau meyakinkan mereka dulu sekaligus memperkenalkan diri. Setelah itu baru kita ke sana untuk melamarnya," tutur Afnan.

Mamanya menganggukan kepala.

"Ngomong-ngomong ... nama calon istrimu itu siapa? Jangan bilang kalau kamu belum tahu namanya." Mamanya menyipitkan mata.

Afnan menahan senyum mendengar ucapan mamanya.

"Namanya Na—."

"Assalamu'alaikum." perkataan Afnan terpotong ucapan salam Bara.

"Wa'alaikumsalam," jawab Afnan dan mamanya serempak.

"Tumben nih mama belum tidur," Bara mencium tangan ibunya dan duduk di sofa depan Mamanya.

"Tadi ada sedikit yang dibicarain sama abangmu. Gimana kuliah kamu? Nggak pernah balapan lagi kan?"

"Kuliah aku lancar, Ma. Mama juga nggak usah khawatir. Bara udah nggak pernah balapan lagi kok

." Bara sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.

"Bagus kalau begitu. Mama seneng dengernya," ucap Mamanya tersenyum.

Bara terlihat mendengus kesal melihat layar ponsel kemudian meletakkannya di meja.

"Ma ... Aku pengen mulai kerja di kantor Papa, ya," ujarnya bersemangat menegakkan posisi duduknya.

"Hmph ...," Afnan yang sedang minum jadi terkejut dan hampir menyemburkan airnya.

"Yaelah, Bang. Segitu kagetnya apa? sampe keselek."

Afnan menahan tawa. "Ada angin apa kamu mendadak tertarik sama kerjaan?" Mata Afnan menyipit menyelidik. "Biasanya juga ogah banget kalau disuruh ke kantor." Afnan menggelengkan kepala tak percaya.

"Bosenlah Bang maen-maen terus. Aku juga pengen menata masa depan."

"Kamu serius Nak, mau mulai kerja di kantor?" tanya Mamanya memastikan.

"Seriuslah, Ma. Masa bercanda."

"Mama seneng dengernya, Bar. Akhirnya kamu bisa berpikir lebih dewasa. Mama yakin, almarhum Papamu pasti bangga sama kamu, Nak." mamanya mendekat memeluk Bara.

"Ngomong-ngomong, apa yang bisa bikin kamu berubah gini Bar?" tanya Afnan.

"Persiapan buat masa depanlah. Jadi pas nanti nikah dan punya istri kan udah nggak malu-maluin. Udah mandiri," tuturnya bangga.

"Pfft ...." Afnan menahan tawa.

"Kenapa, sih? Nggak percaya?"

"Kayak udah punya calon aja," celetuk Afnan cuek.

"Punyalah. Emangnya bang Afnan.  Jones," ujar Bara dengan ekspresi meledek.

Mamanya yang melihat tingkah kedua anak laki-laki itu hanya menggelengkan kepala dan pergi ke kamar.

"Abang tu bukan jones, tapi selektif. Nggak kayak kamu. nemplok sana nemplok sini."

"Kali ini beneran bang, rasanya beda!" tegasnya.

"Paling juga buat main-main doang kayak biasanya." Afnan terkekeh.

"Apaan sih, Bang! Orang aku serius juga." Bara melempar bantal kecil ke kakaknya dan beranjak pergi ke kamar.

Afnan tertawa melihat ekspresi adiknya yang kesal.

"Aku juga sebentar lagi mau nikah Bar!" Teriak Afnan.

"Bodo amat!" Bara menutup pintu kamar.

Dia merebahkan dirinya di kasur.

Memandangi layar ponselnya.

"Kok nggak di baca sih?" gerutunya.

Dia mencoba mengirim pesan lagi.

[Kok nggak dibaca?? Udah tidur?]

Tik tok ... tik tok.

Beberapa menit berlalu ternyata pesan yang ia kirimkan belum juga tercentang biru. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Meletakkan ponsel di meja samping tempat tidur kemudian pergi masuk ke kamar mandi.

Keesokan paginya, Bara yang sudah terlihat rapi dengan setelan kemeja biru dan dasi bergegas turun untuk sarapan. Ia melihat Mamanya sedang menata makanan di meja.

"Bang Afnan mana, Ma? Kok nggak keliatan?" Bara celangak celinguk.

"Abangmu tadi jam 6 udah berangkat ke Tasik. Jadi ga sempet sarapan."

"Ke Tasik? ngapain, Ma? Tugas luar kota?" Bara mulai menikmati sarapannya.

"Bukan. Mau nemuin calon mertua."

"Uhuk ... Uhuk ...." Bara kaget mendengar ucapan Mamanya.

Buru-buru ia meminum air di gelas yang ada di depannya.

"Pelan-pelan dong makannya, Nak."

"Jadi yang bang Afnan bilang semalem itu beneran, Ma? Kalau bang Afnan bakal secepetnya nikah?" Mata Bara membulat tak percaya.

Mamanya menjawab dengan anggukan kepala.

"Kirain Bara bang Afnan cuma bercanda ngeledekin aku," gumamnya sambil terus mengunyah makanan.

"Calonnya siapa, Ma?"

"Mama juga belum tau, sayang." Mamanya menggelengkan kepala pelan. "Afnan juga baru cerita sama mama semalem."

"Ooh .... Trus aku gimana dong? udah rapi begini. Hari ini kan aku mau mulai kerja di kantor Papa, Ma."

"Ya nggak gimana-gimana. Kamu langsung aja ke kantor. Tadi abangmu udah telfon Pak Fikri asistennya. Nanti dia yang akan nunjukin ruangan kamu sekaligus jelasin tugas-tugas kamu di kantor."

Ting!

Ada sebuah notifikasi pesan wa masuk. Wajah Bara langsung sumringah saat melihat nama kontak pengirimnya. Cepat-cepat ia buka pesan itu.

[Maaf Bar. Semalem aku langsung tidur. Jadi baru sekarang baca wa kamu].

[Ok. Nggak apa-apa. Kamu udah sarapan belum?] balas Bara.

Beberapa saat belum ada balasan, hingga ...

Ting!

[Kamu nggak lagi sakit kan Bar?]

Bara mengerutkan kening membaca pesan itu.

[Nggak. Kenapa emangnya?] Bara membalas.

[Tumben kamu ngomongnya aku kamu, nggak loe gue] balas Nazifa disisipi emot tawa.

Bara hanya nyengir membaca pesan itu.

[Emang kenapa? Nggak boleh?] balas Bara lagi.

[Bolehlah. Alhamdulillah malah. Aku lebih suka denger kamu ngomong aku kamu, polem].

Bara tak dapat menahan senyum di bibirnya. Ia tak dapat menyembunyikan perasaan bahagianya saat ini. Pipinya yang terasa menghangat, membuatnya malu sendiri. Mamanya yang sedari tadi memperhatikan tingkah Bara,  tersenyum simpul.

"Pacarmu, ya?" celetuk Mamanya.

"Ah ... Ehm ... Bukan Ma. Temen." Bara gelagapan kepergok Mamanya.

"Bukan pacar kok ditanya jadi grogi gitu. Mukamu merah udah kayak tomat mateng," goda Mamanya.

Bara tertawa mendengar celoteh ibunya. "Mama bisa aja."

Bara kembali mengirim pesan.

[Hari ini aku mulai kerja di kantor. Do'ain semua lancar ya]

[Iya. Aamiin] balas Nazifa.

Bara memasukkan ponsel ke dalam saku celananya setelah selesai membaca pesan itu. Kemudian ia hendak bergegas pergi ke kantor.

"Bara berangkat dulu ya, Ma," ucap Bara seraya mencium tangan Ibunya.

"Hati-hati. Kerjanya yang bener, ya. Tunjukin keseriusan kamu Bar."

"Iya, Ma," jawabnya seraya berlalu keluar rumah.

★★★