Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 2 - part 2–mengagumimu dalam diam

Chapter 2 - part 2–mengagumimu dalam diam

"Tok ... Tok ... Assalamu'alaikum Neng." Bu Yati mengetuk pintu kamar kost saat Nazifa sedang santai melahap mie instant sebagai sarapan pagi.

"Wa'alaikumsalam." Nazifa bergegas membuka pintu. "Iya. Ada apa, Bu?"

"Ini Neng, kayak biasa. Ada yang nganter ini." Bu Yati menyodorkan bucket bunga mawar merah itu padanya.

"Lagi?" Nazifa mengernyitkan dahi.

Selama sebulan belakangan ini, memang hampir setiap hari ia menerima kiriman bucket bunga mawar lengkap dengan sepucuk suratnya. Tapi entah dari siapa karena tidak pernah tertera nama pengirimnya. Sebenarnya ada sedikit perasaan senang juga setiap kali menerima bucket mawar ini. Hanya saja ia ragu.

Benarkah ini memang kiriman untuknya? Jangan-jangan ... Kurirnya yang salah kirim. Secara penampilannya yang biasa saja dan sederhana ini, mana ada yang tertarik.

"Dari pacarnya ya, Neng?" Goda Bu Yati tersenyum. "Duuh ... Romantisnya. Ibu jadi pengen muda lagi, Neng." Bu Yati terkekeh.

Nazifa tertawa mendengar perkataan Bu Yati.

"Zifa ga punya pacar, kok. Beneran deh." Ia mengacungkan dua jari ke atas.

Bu Yati hanya menanggapinya dengan senyuman.

"Ya sudah, ibu mau ke dapur lagi Neng."

"Makasih ya, Bu."

"Sama-sama, Neng," jawab Bu Yati sambil berlalu.

Bu Yati adalah pemilik rumah kost ini. Usianya kira-kira seumuran dengan ibunya. Hal itu membuatnya selalu teringat dengan Ibu ketika melihatnya.

Nazifa mencium bunga mawar itu. Hhmm ... Wanginya seperti biasa, lembut. Ia suka. Nazifa melihat ada Pak Yanto yang sedang menyapu halaman depan. Segera ia hampiri dan seperti biasa, ia berikan bucket bunga itu padanya.

"Buat istri bapak," bisik Nazifa kemudian berlalu kembali ke kamar.

Pak Yanto tertawa menanggapi. Ia sudah terbiasa dengan hal ini. Setiap kali kiriman itu datang, pasti Nazifa berikan padanya. Tentu saja ia berikan setelah sebelumnya mengambil suratnya terlebih dahulu.

Nazifa melanjutkan lagi aksi menyantap mie instant yang sudah terlihat mulai menyusut kuahnya. Tidak perlu waktu lama untuk menghabiskannya. Ia membuka surat itu dan mulai membacanya.

__________________

Nazifa Nuwaira,

Gadis istimewa yang selalu menghantui pikiran dan hatiku.

Entah apa yang membuatku begitu menggilaimu.

Sehari saja tak melihat wajahmu, membuatku gelisah tak menentu.

Melihat senyum manismu, membuatku rasanya ingin berlari dan mendekapmu ke dalam pelukku.

Bahagia yang tak dapat kulukiskan setiap kali mata ini menatapmu.

Kamu mungkin belum mengenalku. Tapi aku tahu semua tentangmu.

Tunggulah aku, tak lama lagi kita akan bersatu.

"Salam cinta dari yang mengagumimu."

_______________________________

Ada perasaan bahagia dan menggelitik setiap kali membaca surat yang Nazifa terima. Senyum tak henti-hentinya mengembang di bibirnya. Tapi siapa dia? Eh?

Tunggu dulu!

Dia tadi menulis namaku. Berarti selama ini memang bunga dan surat itu ditujukan untukku, pikirnya.

Nazifa mengira tadinya bisa saja kurir itu salah alamat. Tapi ternyata dugaannya salah. Ia merasa lega setelah mengetahui hal ini.

"Tapi siapa dia?" Gumam Nazifa sambil mengetuk-ngetukan jari telunjuk ke dagu tanda sedang berpikir.

Dimas ... jangan-jangan dia Dimas? tanya Nazifa dalam hati.

"Ah, nggak mungkin. Aku kan sama Dimas udah lama kenal," gumamnya yakin.

Ia letakkan surat itu di kasur dan berlalu ke kamar mandi. Tak perlu butuh waktu lama baginya untuk mandi. Nazifa memandang sekilas penampilannya di cermin. Rok Denim warna hitam, dipadukan dengan atasan kemeja pink polkadot dan hijab instan dengan warna yang senada. Ia melirik surat itu saat hendak bergegas keluar kamar.

Buang jangan ya?

Akhirnya ia putuskan untuk menyimpan surat ini. Nazifa meletakkannya ke dalam laci. Karena biasanya ia akan membuang surat-surat itu setelah selesai membacanya. Tapi untuk kali ini, ia ingin menyimpannya. Nazifa menyambar tas punggungnya dan juga sepatu lalu bergegas keluar kamar.

"Udah mau berangkat kerja, Neng?" tanya Pak Yanto saat melihatnya sedang mengikat tali sepatu.

"Iya. Berangkat dulu ya, Pak. Assalamu'alaikum," ucap Nazifa seraya berjalan keluar kost.

"Wa'alaikumsalam."

Nazifa melirik jam di tangannya. Jam 9:15, Kafe mulai dibuka pukul 10:00. Masih cukup lama. Jadi jalannya bisa santai nggak perlu setengah berlari.

🌸🌸🌸

Drrt ... Drrt .... Ponsel Afnan bergetar.

"Ya. Ada apa?" sahut Afnan ditelepon.

[...]

"Bagus. Sudah kamu pastikan kalau dia menerimanya?"

[...]

"Baik. Terima kasih," ucapnya lalu menutup telfon.

Tak lama kemudian Afnan menghubungi sekretarisnya.

"Nina, tolong panggil Cepi dan suruh menghadap ke ruangan saya."

"Baik pak."

Beberapa menit kemudian ...

"Tok ... Tok .... Anda memanggil saya pak?" Cepi masuk ke ruangan Afnan.

"Duduklah,"

"Ada yang bisa saya bantu pak?"

"Tolong kamu carikan data keluarga dan alamat orang tuanya," Afnan menyodorkan file disertai sebuah foto.

"Secepatnya ya Cep. Kalo sudah selesai, segera kabari saya."

"Baik pak. Kalau begitu, saya permisi dulu." Cepi pamit di jawab dengan anggukan kepala Afnan.

Afnan menyambar jas yang diletakkan di senderan kursi dan segera pergi keluar ruangan.

"Nin, saya mau keluar makan siang. Kalau ada yang mencari saya, suruh tunggu aja ya," Afnan berlalu pergi dengan senyum mengembang di bibirnya.

"Si Boss kenapa tu Nin? Perasaan tiap mau keluar makan siang, keliatan sumringah banget ya," ujar salah satu karyawan yang muncul mendekati Nina.

"Ketemu pacarnya kali," cuek Nina.

"Seriusan Nin, si Boss udah punya pacar?" Tanyanya antusias.

"Emangnya kenapa? Boss itu umurnya udah 32 tahun. Udah waktunya cari pendamping, nggak kayak kamu ... Jones," Nina terkekeh.

"Yaah ... banyak yang patah hati dong kalo si Boss beneran udah punya calon,"

Nina mendecak sebal.

" Au ah. Kepo banget sih!" Nina berlalu ke arah kantin meninggalkan temannya yang terlihat mengerucutkan bibir.

🌸🌸🌸

Perjalanan dari kantor ke tempat makan siang tidak terlalu jauh sebenarnya. Sekitar 20 menit kalau jalanan lancar. Hanya saja saat ini jalanan sedikit macet. Afnan menghela nafas panjang. Melirik jam di tangannya. Entah kenapa meskipun di dalam mobil ber-AC, Afnan merasa gerah. Gerah karena perasaan tak sabar ingin bertemu gadis pujaan hatinya. Perasaannya gelisah tak menentu. Gadis itu telah berhasil merebut segala ketenangan dalam diri Afnan.

Semua berawal saat Afnan janjian makan siang dengan temannya di Kafe tempat gadis itu bekerja. Dia melihat gadis itu sedang melayani pesanan pelanggan lain. Entah kenapa ada yang aneh dengan perasaan Afnan saat pertama kali melihatnya. Ada getaran aneh di dada. Matanya tak bisa berhenti menatapnya. Terlebih lagi saat gadis itu menghampiri mejanya. Perasaan nervous tiba-tiba muncul tapi ia tetap berusaha terlihat stay cool. Gadis itu tersipu malu dan menundukan pandangan saat teman Afnan menggodanya.

Deg-deg ... Deg-deg ...

Jantung Afnan berdegup kencang saat melihat senyumnya.

Apa yang terjadi padaku? batin Afnan.

Sesaat setelah gadis itu beranjak dari mejanya, Afnan menarik nafas dan menghembuskanya perlahan untuk mencoba menetralkan kembali degup jantungnya. Ada perasaan bahagia saat melihat gadis itu tertawa renyah bersama teman kerjanya. Sulit bagi Afnan untuk menahan bibir ini agar tidak terus tersenyum. Sejak saat itulah, wajah gadis itu selalu muncul di pikiran Afnan. Membuatnya sulit untuk memejamkan mata saat hendak tidur. Ada perasaan yang berkecamuk dalam dada, tidak nyaman. Ingin rasanya setiap saat selalu melihat gadis itu. Itu yang Afnan rasakan sejak pertama kali bertemu.

Apa ini yang disebut cinta pada pandangan pertama? Entahlah. Senyum gadis itu sudah menjadi candu baginya. Membayangkan senyum gadis itu saja, sudah membuatnya malu sendiri. Sejak pertemuan itu, Afnan memerintahkan salah satu asisten pribadinya untuk mencari tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan Nazifa. Kegiatannya, teman-temannya dan tidak ketinggalan alamat kost-nya.

30 menit berlalu, akhirnya Afnan bisa bernafas lega karena akhirnya ia tiba di depan Kafe. Bergegas ia turun dari mobil dan melesat masuk ke dalam kafe. Matanya menyapu ke seluruh ruangan. Mencari gadis pujaannya. Senyumnya mengembang saat matanya menangkap sosok yang ia cari. Kemudian ia memilih duduk di kursi pojok dekat jendela. Terlihat gadis itu menghampirinya.

Tapi tunggu!

Kenapa aku melihat ... sepertinya ada ekspresi takut di wajah gadis itu setiap kali dia hendak menghampiriku?

Apa tampangku ini begitu menyeramkan? Gerutu Afnan dalam batin.

🌸🌸🌸

Nazifa hendak menghampiri tamu Kafe yang baru saja masuk. Ada perasaan tidak nyaman setiap kali melihatnya. Nazifa merasa risih. Apalagi terkadang Nazifa memergokinya sedang senyum-senyum sendiri dengan terus menerus menatapnya. Sebenarnya tampangnya tidak menyeramkan sama sekali. Hidung mancung, kulit putih, wajahnya dihiasi jambang tipis. Nazifa suka pria dengan jambang tipis. Seperti kebanyakan pria-pria timur tengah. Menurutnya, jambang tipis membuat pria terlihat lebih macho tapi sekaligus manis. Hanya saja gerak gerik dari pria itu yang membuat Nazifa risih.

"Selamat siang, mau pesan apa pak?" Nazifa tersenyum menyodorkan daftar menu.

Nazifa melihat pria itu tersenyum. "Seperti biasa. Salmon scrambled minumnya ice blue ocean."

"Baik, Pak. Tunggu sebentar, ya." Nazifa berbalik arah hendak pergi.

Namun baru saja beberapa langkah tiba-tiba ...

"Nazifa!" Pria itu memanggilnya.

Nazifa memutar balik badan ke arahnya.

"Ya? Apa ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Ehm ... Tidak ada. Terima kasih." Pria itu tersenyum lagi.

Nazifa menghela napas perlahan dan berusaha tetap tersenyum ramah.

"Kalau begitu saya permisi." Nazifa menganggukan badan dan berlalu meninggalkan pria itu, yang masih tetap bertahan dengan senyuman di bibirnya.

Nazifa melihat Mbak Hana sedang berbicara dengan Opik teman kerjanya. Ia melangkahkan kaki menghampiri mereka. Melihat kedatangannya, Mbak Hana tersenyum.

"Kamu kenapa, Zee? Mukanya kok ditekuk begitu."

"Nggak apa-apa, Mbak. Ehm ... Mbak, nanti yang anterin pesanan meja 8, Opik aja ya mbak. Jangan saya," pinta Nazifa memelas.

Mbak Hana melirik sekilas ke meja 8 lalu tersenyum simpul.

"Memangnya kenapa, Zee? Bukannya itu pelanggan tetap kita, ya? Kamu ada masalah sama dia?" tanya Mbak Hana penuh selidik.

"Nggak ada apa-apa mbak. Cuma ...." Kalimat Nazifa terhenti mendengar Opik terkekeh.

"Kamu kenapa ketawa?" tanya Nazifa cemberut.

"Lagi masa kamu ga nyadar, sih. Oom-oom itu udah lama naksir kamu," kata Opik menahan tawa.

"Iish ... Kamu mah ngarang aja," ucap Nazifa tak percaya.

"Udah-udah. Sana cepetan anterin pesenannya Zee," Mbak Hana menepuk pundaknya.

"Iya, Mbak."

Tanpa membantah Nazifa mengantarkan pesanan itu.

Pria itu terlihat tengah sibuk memainkan ponselnya dengan sesekali pandangannya melirik ke arah Nazifa.

"Silahkan dinikmati pesanannya, Pak," ucap Nazifa seraya tersenyum ramah.

"Terima kasih," jawab pria itu.

Nazifa menganggukan badan dan beranjak pergi meninggalkan pria itu.

Setengah jam berlalu, Nazifa baru saja selesai mencuci piring-piring kotor di dapur. Kembali ke depan dan melihat meja pria itu sudah kosong. Ia  merasa lega mengetahui pria itu sudah pergi. Tiba-tiba perutnya terasa sakit. Nazifa pun bergegas pergi ke kamar mandi. Hingga beberapa menit kemudian, Dani mengetuk pintu kamar mandi dan memanggilnya.

"Zee! Ada yang nyariin kamu, tuh!"

"Iya, Dan. Sebentar."

Setelah selesai urusan di kamar mandi, segera Nazifa menghampiri Dani yang sedang menyiapkan pesanan.

"Siapa Dan yang nyariin?"

Dani mengangkat kedua bahunya. "Tuh!" Dani menujuk pria yang sedang duduk dekat jendela.

Mata Nazifa mengikuti kemana arah telunjuk Dani.

"Dia ...." Nazifa tertegun sesaat.

Bara mengenakan celana jeans hitam yang sobek di kedua lututnya, sepatu sneaker dan dilengkapi dengan jaket motif. Ia terlihat langsung bediri saat melihat Nazifa. Tangannya melambai dengan wajah tersenyum ceria. Entah kenapa Bara terlihat begitu senang hari ini.

Jangan-jangan mau bahas masalah kemarin, batin Nazifa khawatir.

Nazifa melangkahkan kakinya ragu ke arah Bara.

"Hey! ketemu lagi kita," sapa Bara ceria. Nazifa tersenyum.

"Duduk sini, dong," pinta Bara.

Nazifa pun duduk tak membantah.

"Kamu mau minum?" tanya Bara  setelah menyeruput minuman di depannya.

"Nggak usah, Mas. Makasih."

Jari Nazifa tak hentinya memainkan ujung kaos seragam kerja.

"Ehm ... Anu mas. Soal yang kemarin, aku minta maaf. Aku bener-bener nggak sengaja," ucap Nazifa lirih.

"Iya. Nggak apa-apa, kok."

Nazifa menghela nafas lega.

"Jangan panggil Mas, dong. Tua banget kayaknya gue." Bara cemberut.

"Bukannya emang udah tua?" tanya Nazifa polos.

"Dih! Enak aja. Baru juga 20 tahun," protes Bara.

"Trus, panggil apa?"

"Panggil nama lah," ujar Bara santai.

Hening sejenak.

"Jangan bilang kalau loe lupa nama gue," ujar Bar.

Nazifa hanya menggangguk.

"Haissh ...." Bara menepuk jidat.

Matanya menatap Nazifa. Dengan gerakan cepat Bara mengangkat tubuh dan mendekatkan wajahnya ke arah Nazifa seraya berbisik ...

"Bara. B-A-R-A."

Nazifa tersentak kaget karena wajahnya yang tiba-tiba mendekat. Refleks Nazifa memundurkan kepalanya ke belakang sambil mengucap, "Astaghfirullahaladzim!"

"Emangnya gue setan." Bara kembali duduk menahan tawa.

"Ya kamu sih, tiba-tiba begitu. Aku kan kaget." Nazifa tertunduk. "Kamu ada perlu apa? Kalau ga ada perlu lagi, aku mau balik kerja ya. Nggak enak sama yang lain."

Bara menopang dagu dengan kedua tangannya di atas meja. Tersenyum lebar sambil memiringkan kepalanya. Matanya terlihat mengerjap pelan beberapa kali. Nazifa pun jadi salah tingkah sendiri ditatap dengan cara seperti itu. Siapapun gadis yang ditatap dengan senyuman lebar nan manis, pasti akan grogi. iya, kan?

Nazifa mengalihkan pandangannya ke arah samping. Jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja.

"Cepetan,Bara. Nggak enak sama Mbak Hana."

"Minta nomer wa," pinta Bara langsung.

"Nggak mau."

"Ayolah. Masa sama temen sendiri pelit sih." Bara pasang tampang memelas.

"Sejak kapan kita temenan?" tanya Nazifa heran.

"Sejak sekarang," jawab Bara santai seraya mengedipkan sebelah mata.

Nazifa menahan tawa melihat tingkahnya.

Genit banget sih ni cowok, batinnya.

"Cepetan mana nomernya. Katanya mau balik kerja." Bara menyerahkan ponselnya pada Nazifa.

Nazifa mendecak kesal. Ia memasukkan nomer wa-nya ke ponsel Bara.

"Nih, udah."

"Ok." Bara yang menerima ponselnya tersenyum puas. "Aku mau balik ke kampus dulu. Thanks, ya." Bara tersenyum dan beranjak pergi ke kasir.

"Bye-bye Nazi." Bara melambaikan tangan di pintu keluar. Nazifa hanya menganggukan kepala.

"Temenmu, Zee?" tanya Mbak Hana.

"Iya, Mbak."

"Hati-hati kalau milih temen ya, Zee. Jangan sampai bawa pengaruh buruk sama kamu," ujar Mbak Hana menasehati.

Nazifa menganggukan kepala dan tersenyum.

Sejam kemudian, suasana kafe sudah tidak begitu ramai. Mereka bisa sedikit bersantai. Ponsel Nazifa  bergetar saat sedang mengobrol dengan Dani. Ia melihat sebuah notif di ponselnya. Ada pesan wa masuk dari nomor baru. Nazifa membaca pesan itu.

[Ini gue Bara. Gue udah nyampe kampus].

[Nggak nanya] balas Nazifa.

Bara membalasnya dengan emot tertawa.

[Di save ya nomer gue Nazi. Awas kalo nggak] balas Bara lagi disisipi emot boom.

Nazifa tertawa membaca pesannya.

Nazifa menyimpan no Wa-nya dengan nama 'Bara Api'. Nazifa terkekeh sendiri melihat nama kontaknya.

★★★