Gadis dengan kaus kuning kunyit dan celana jeans putih itu duduk sambil mengaduk lemon tea-nya. Sejak tadi perhatiannya tertuju ke jalanan ibu kota yang ramai bertepatan dengan weekend itu. Weekend selalu dinanti oleh sebagian besar orang, kecuali Rein.
Sore ini dia memilih duduk di kafe bawah apartemen untuk menenangkan diri. Beberapa waktu terakhir dia sangat sibuk dan jarang melakukan quality time. Belum lagi para wartawan yang sering mengikutinya.
Setidaknya masa itu sekarang telah berakhir. Dia kembali bisa berakivitas normal, bahkan untuk duduk sendirian di kafe tidak jadi masalah. Dia yakin, apartemen ini punya penjagaan ketat. Jika, ada sesuatu yang mengusiknya dia tinggal berteriak lalu para petugas keamanan akan menolongnya.
"Lo Rein bukan?"
Suara berat itu membuat perhatian Rhea teralih. Dia menoleh dan mendapati lelaki dengan kaus polo berwarna abu-abu berdiri di depannya. Rein mengernyit, mengingat wajah berbentuk lonjong dengan rambut yang disisir ke belakang itu. "Dava?" tanyanya sambil berdiri. Dia menatap lelaki itu sekali lagi, takut salah sangka.
Lelaki yang disebut Dava itu tersenyum kemudian mengulurkan tangan ke Rein. "Gimana kabar lo?"
Rein berdiri dengan satu tangan memegangi ujung meja. Dia tidak menyangka bisa bertemu dengan Dava, mantan pacarnya dulu. Lelaki itu tetap terlihat tampan dengan rambut yang selalu disisir ke belakang. Lalu saat tersenyum terlihat dua lesung pipi yang cukup dalam itu. "Kabar gue baik," jawabnya sambil menjabat tangan Dava.
"Gue boleh duduk sini?"
"Emmm...." Rein menunduk bingung harus menjawab apa. Akhirnya dia menggerakkan tangan mengizinkan Dava untuk bergabung. "Duduk aja," jawabnya sambil kembali duduk.
Dava menatap Rein yang hari ini mengikat rambutnya itu. Gadis itu tetap terlihat manis dengan mata yang selalu terlihat hidup. Menurutnya Rein tidak begitu mengalami banyak perubahan. Wajah gadis itu tidak diubah seperti artis lainnya. "Lo nggak syuting?" tanyanya mulai membuka percakapan.
"Enggak," jawab Rein sambil melirik Dava sekilas. "Lo kapan balik ke Indo?"
"Kemarin." Dava tersenyum melihat Rein yang terlihat canggung itu. "Terus mama lo ngasih tahu alamat apartemen lo."
Seketika Rein mengangkat wajah dan menatap Dava penuh selidik. "Lo masih sering kontakan sama mama gue?"
Dava mengangguk tidak menutup-nutupi semuanya. "Kalau gue hubungin lo, pasti nggak lo tanggapin."
Sekarang, Rein tidak tahu lagi harus bagaimana. Memang benar kenyataannya seperti itu, dia jarang mengangkat panggilan Dava. Dia pikir lelaki itu akan mundur dengan sendirinya.
"Waktu mama lo minta buat gue deketin lo lagi, gue sempet bingung." Dava memajukan tubuh dan menatap Rein saksama. "Gue masih inget alasan kita putus tepat di hari kelulusan."
"Lo yang nggak mau berjuang sama hubungan kita," jawab Rein cepat.
Dava mengangguk mengakui semuanya. "Gue nggak bisa LDR, Rein. Gue takut nggak bisa jagain lo."
"Lebih tepatnya lo nggak mau coba." Rein seketika membuang muka. Dia ingat momen menyedihkan itu, saat Dava tiba-tiba memutuskannya. Awalnya Rein hanya menganggap itu hanya bercandaan, tapi ternyata lelaki itu pergi ke Singapura tanpa berpamitan kepadanya.
"Gue mau tebus semua kesalahan gue." Dava beranjak lalu duduk di samping Rein. Dia menarik tangan gadis itu dengan menggenggamnya erat. "Please... Kasih gue kesempatan."
Rein melirik tangannya yang digenggam Dava. Dia lalu menatap lelaki yang pernah mengisi hari-harinya di masa remaja itu. "Dav. Semua udah berlalu."
"Tapi gue pengen ubah semuanya."
"Gue belum bisa ambil keputusan." Perlahan Rein menarik tangannya kemudian membuang muka. Dia lebih memilih menatap jalan raya yang padat merayap itu.
"Gue ngerti dan gue kasih lo waktu." Dava menatap Rein sambil mengingat momen bahagia yang pernah mereka lalui bersama. "Jangan menghindar dari gue, ya, Rein."
Rein menoleh dan mendapati Dava masih duduk di sampingnya. "Lo mau pesan apa?" tanyanya mengalihkan topik.
"Gue nggak pesen apapun. Tujuan gue ke sini buat nemuin lo." Dava tersenyum melihat bola mata Rein yang berputar itu. "Dari dulu gue selalu suka mata lo, kelihatan hidup."
"Gara-gara mata ini juga gue dibilang judes."
"Tapi aslinya lo gemesin."
Dulu, jika Dava berucap manis, Rein akan tersipu malu. Sekarang dia tidak lagi merasakan hal yang sama. Bahkan dia malah ingin menghindar dari perbincangan seperti ini. "Gue nggak bisa lama-lama, Dav," ucapnya sambil pura-pura melihat jam di ponsel.
Dava seketika kecewa melihat Rein yang buru-buru itu. "Lo mau ke mana?"
"Gue harus persiapan syuting." Rein berdiri dan menatap Dava yang mendongak ke arahnya itu. "Gue duluan, ya."
"Tunggu!!" Sebelum Rein beranjak, Dava mencekal pergelangan gadis itu. Dia berdiri lalu menatap wajah Rein yang terlihat bingung itu. "Nanti gue telepon, ya. Jangan menghindar lagi."
Rein menatap mata Dava yang terlihat serius itu. Dia mengangguk kemudian menarik tangannya dari cekalan Dava. "Bye, Dav." Setelah mengucapkan itu Rein buru-buru keluar dari kafe.
Sedangkan Dava, masih berdiri di posisinya sambil menatap Rein yang terlihat terbirit-birit itu. "Gue yakin lo pasti sengaja hindarin gue, Rein."
***
Rasanya Rein bisa bernapas lega setelah menjauh dari Dava. Berkali-kali dia mengusap dadanya naik turun. Niat awal ingin mencari ketenangan tapi dia malah dibuat gelisah oleh kedatangan Dava. Rein harus memberi perhitungan ke mamanya yang telah memberi tahu tempat tinggalnya dengan begitu mudah ke Dava.
Tring.
Pintu lift terbuka dan Rein buru-buru keluar. Dia berjalan dengan langkah lebar menuju unitnya. Namun, setelah dekat dengan pintu apartemen langkahnya terhenti. Perhatiannya tertuju ke seorang pria berjaket denim yang bersandar di depan pintu dengan kedua tangan terlipat di dada itu. Kepala lelaki itu menunduk tapi Rein bisa melihat rahang lelaki itu mengeras. "Le... Lean...."
Perlahan Lean mengangkat wajah dan melihat Rein berdiri beberapa langkah darinya itu. Tanpa mengubah posisinya dia berkata, "habis ketemu cowok?"
Mata Rein membulat mendengar pertanyaan itu. Dia merasa Lean sempat melihatnya bersama Dava. Seketika Rein mendekat dan menatap Lean penuh khawatir. "Tadi bukan siapa-siapa kok! Lo nggak marah, kan?"
Lean menatap Rein yang terlihat gelisah itu. Dia terus menatap Rein hingga gadis itu membuang muka dan meliriknya takut-takut. Lean tersenyum kecil lalu menarik Rein ke dalam pelukan. "I miss you...."
Tubuh Rein tertarik ke depan karena pelukan itu. Lalu dia merasa kepala Lean bersandar di pundaknya. "Lo.... Lo ng...gak ma...rah?" tanyanya terbata.
Diam-diam Lean tersenyum mendengar suara Rein yang bergetar itu. "Takut banget gue cemburu, ya?"
"Huh...." Rein seketika menghela napas lega. "Ih.... Pasti ngerjain gue, ya?"
"Iya," bisik Lean lembut. "Gue udah lama nggak ketemu lo. Mana mungkin gue sia-siain kesempatan ini."
"Nyebelin!!!" Rein melepas pelukannya lalu menatap Lean yang tersenyum semringah itu. "But, i miss you, too."
Lean tersenyum, senang mendengar pengakuan itu. "Gue tahu gue ngangenin."
"Apaan, sih!!" Rein bergeser kemudian membuka pintu. Dia berjalan masuk dengan Lean yang mengekorinya. "Lo mau minum apa?"
Brak...
Lean menutup pintu dengan kaki kemudian berjalan menuju sofa panjang. Dia berbaring di sana sambil memeluk bantal sofa. "Gue nggak mau minum."
"Terus?" tanya Rein. "Mau makan?"
"Pengen lihat wajah lo aja." Lean berbaring miring kemudian menatap Rein. "Udah berapa lama kita nggak ketemu?"
Rein mengangkat bahu tak acuh. Dia lupa kapan terakhir bertemu Lean. Namun, dia ingat bagaimana dia tersiksa tidak bisa bertemu lelaki itu. "Kabar lo gimana?" tanyanya sambil duduk di sofa single di hadapan Lean.
"Patah hati," jawab Lean sambil berbaring terlentang. "Gue lihat cewek yang gue suka malah berduaan sama cowok lain."
"Yang tadi itu Dava."
Mendengar nama Dava disebut, Lean langsung terduduk. "Dava mantan lo yang mau dijodohin sama lo itu?"
Rein mengangguk karena Lean mampu menjawab dengan benar. "Tiba-tiba dia dateng nemuin gue."
Rahang Lean seketika mengeras. "Kalau tahu dia Dava, tadi langsung gue samperin."
"Terus kenapa tadi nggak langsung samperin?" tantang Rein sambil menahan tawa.
Lean menggaruk tengkuk. "Gue takut lo marah."
"Tumben. Biasanya lo langsung temuin gue."
"Emm..." Lean bingung harus menjawab apa. "Kenapa malah ngalihin pembicaraan, sih?" geramnya.
Seketika Rein membuang muka sambil menahan tawa. Menurutnya lucu melihat Lean yang tidak bisa berkata-kata itu.
"Jadi dia Dava? Ngapain dia nemuin lo?" tanya Lean penuh selidik.
Rein menatap Lean sambil menggigit ujung bibirnya. Dia bingung harus memberi tahu Lean atau tidak. "Dia... Dia..."
"Jawab jujur, Sayang," pinta Lean penuh penekanan.
"Dia minta kesempatan kedua." Rein menjawab lalu memejamkan mata.
Seketika Lean berdiri dan mengacak rambut. Dia pikir dia tidak lagi memiliki saingan, tapi ternyata muncul Dava. Bahkan lelaki itu pernah menjadi pacar Rein. "Terus lo ngasih dia kesempatan?"
"Gue bingung mau jawab apa."
"Tanya hati lo," jawab Lean getir. Dia tidak tahu isi hati Rein seperti apa. Bisa jadi gadis itu masih ada rasa dengan Dava lalu meninggalkannya. Pemikiran itu membuat Lean frustrasi. "Gue nggak apa-apa kok kalau lo balikan sama Dava."
Kalimat itu membuat Rein mengernyit bingung. Dia memperhatikan Lean yang mengeraskan rahang itu. "Lo serius?"
"Serius. Asal lo bisa bahagia," jawab Lean sambil menatap Rein.
Rein memperhatikan raut Lean yang dibuat serius tapi gagal karena rahang lelaki itu mengeras. Seketika Rein berdiri lalu memeluk Lean dari samping. "Nggak usah sok kuat. Gue tahu lo pasti sedih kalau gue balikan sama Dava."
"Shit!!!" Lean memaki karena Rein mampu menebak dengar benar. "Gue beneran cinta sama lo, Sayang. Dan gue nggak suka lo balikan sama Dava."
"Terus kenapa barusan sok-sokan pengen gue balikan sama Dava?" tanya Rein sambil mendongak menatap Lean.
Lean mengangkat bahu pelan lalu memeluk Rein dengan erat. "Seperti janji gue waktu itu, gue bakal perjuangin lo."
Mata Rein seketika berkaca-kaca. Dia ingat mamanya yang menentang hubungannya dengan Lean. "Ya gue percaya...," jawabnya dengan suara serak.
Drtt...
Getar ponsel itu menginterupsi pelukan dua orang itu. Lean seketika melepas pelukan dan tersenyum ke Rein. "Angkat. Siapa tahu mama lo. Gue nggak mau ketahuan."
"Iya... Iya..." Rein menunduk mengambil ponsel di atas meja. Saat melihat deretan angka yang tertera dia melirik Lean takut-takut.
"Siapa, Rein?" tanya Lean sambil memeluk pundak Rein.
"Kayaknya Dava."
Seketika Lean melepas pelukan dan menatap Rein dengan senyum getir.