Pukul sembilan pagi, Lean berdiri di depan jendela sambil menyesap kopi kemasan. Dia menatap jalan raya yang terlihat padat merayap itu. Hari Senin selalu terlihat ramai. Semua orang berbondong-bondong ingin cepat sampai kantor walau hatinya tidak menginginkan itu.
Senin kali ini, Lean sedikit tenang. Dia tidak ada jadwal manggung dan tidak ada acara lainnya. Dia sengaja meminta libur sehari untuk mengisi tenaganya yang terkuras habis. Namun, belum apa-apa Lean mulai bosan hanya berdiam diri di apartemen.
"Apa gue ajak Rein pergi?" gumamnya.
Lean berbalik lalu mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang. Dia mencari kontak Rein dan menghubungi gadis itu.
"Halo...." Suara lembut itu mulai terdengar.
"Lo sibuk nggak hari ini?" tanya Lean cepat.
"Rein... Setelah ini belok ke mana?"
Satu alis Lean terangkat mendengar suara berat itu. "Lo sama Dava, ya?" tebaknya cepat.
"..."
Lean menunggu dengan harap-harap cemas. Namun, dia yakin Rein sedang bersama Dava. Kemarin lelaki itu menghubungi Rein dan bisa saja mereka sekarang pergi bersama. "Ya udah gue tutup aja, ya," putusnya kemudian mengakhiri panggilan itu.
Lean berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Dia bingung kenapa kisah cintanya serumit ini. Andai maminya dan mama Rein tidak bermusuhan, pasti dia sudah pacaran dengan gadis itu.
Drtt....
Getar ponsel itu membuat lamunan Lean terputus. Dia mengapai benda itu dan mendapati sebuah pesan masuk dari Rein.
Rein: Nanti gue hubungin lagi, ya.
Rein: Good morning, Lean.
"Huh...." Meski Rein mengirimkannya pesan, hati Lean tetap saja tidak tenang. Dia kembali duduk kemudian membalas pesan itu.
Lean: Kencan sama Dava, ya?
Drttt...
Rein: Dia cuma anter ke lokasi syuting.
Lean: Kenapa nggak bilang gue? Gue bisa anterin lo.
Rein: Tiba-tiba dia dateng sama mama. Oh, ya mama sekarang tinggal sama gue.
"Shit!!!" Lean berteriak setelah membaca pesan itu. Tiba-tiba dia terbayang tidak bisa leluasa lagi bertemu dengan Rein. Lean mengacak rambutnya kemudian membalas pesan itu.
Lean: Sedih banget nggak bisa leluasa ketemu lo.
Lean: Rasanya gue pengen tinggal di lemari kamar lo.
Rein: Hahaha.
Lean meletakkan ponsel kemudian mengusap wajah. Perhatiannya kemudian tertuju ke depan. Baru kemarin dia menuntaskan rindu bersama Rein, sekarang sudah ada penghalang.
Tet....
Bel apartemen membuat perhatian Lean teralih. Dia berdiri dan berjalan sambil menyeret kaki. Saat pintu telah terbuka, dia mendapati gadis berkucir kuda dengan senyum khasnya.
"Hai... Baby Lean!!" Nana menelusup masuk kemudian duduk di sofa panjang. "Gue yakin kalau lo belum berangkat syuting."
Brak...
Lean menutup pintu kemudian berjalan menuju sofa single. "Ada apa ke sini?"
Nana cemberut melihat Lean yang selalu ogah-ogahan setiap bertemu dengannya itu. "Gue kangen ke lo. Udah berapa hari kita nggak ketemu?"
"Tapi gue capek banget, Na." Lean mengacak rambutnya pelan.
Tindakan itu justru membuat Nana terdiam dengan bibir membentuk sebuah senyuman. "Ganteng banget, sih!!"
Satu alis Lean terangkat kemudian mengangkat bahu tak acuh. "Gue mau tidur, Na."
"Ya udah tidur aja gue bisa nungguin lo."
"Ya mana bisa kayak gitu!!" Lean harus berusaha ekstra sabar menghadapi Nana. "Lo balik dulu nggak apa-apa, ya?"
Nana seketika melipat kedua tangan di depan dada. "Gue belum lima menit duduk di sini Baby Lean!!"
Lean sadar, tidak sopan mengusir Nana begitu saja. "Ya udah terus mau lo apa?"
"Kita sarapan bareng!" ajak Nana sambil mengedipkan mata beberapa kali. "Gue yang masak atau gimana?"
"Terakhir lo masak dapur gue berantakan!" Lean berdiri kemudian berjalan menuju kamar. "Tunggu situ! Kita sarapan di bawah!!"
"Bakal gue tunggu, Sayang!!" Nana tersenyum senang karena Lean mau sarapan bersamanya. Sambil menunggu lelaki itu ganti pakaian, Nana membuka ponsel dan mengabadikan momen ini di Instastory-nya.
"Ayo!!" Lean keluar dan mendapati Nana mengarahkan kamera ke arahnya. "Jangan lo jadiin story!!"
Nana memasukkan ponsel kemudian berdiri. "Buat koleksi pribadi kok, Sayang."
Tidak ada respons dari Lean. Dia berjalan menuju pintu dan Nana mengkorinya. Setelah sampai lorong, lengannya langsung ditarik dan Nana menyandarkan kepala di sana. Refleks Lean menarik tangannya dan bergeser menjauh. "Gue belum mandi, Na. Jangan deket-deket."
"Tapi lo wangi, tahu!" jawab Nana sambil menahan senyuman.
Lean tidak memedulikan itu dan berjalan menuju lift. Dia tidak ingin terlalu lama dengan Nana. Jika, bukan karena menghargai Nana sebagai tamu, Lean pasti akan mengusir gadis itu lalu dia bisa menenangkan diri.
***
"Cut!!!"
Rein berbalik dan melihat beberapa kru mengangkat jempol ke arahnya. Dia tersenyum puas kemudian berjalan menuju ruang make up. Sampai sana dia melihat Oliv sedang membaca script dengan rol rambut di bagian depan.
"Lo belum take sama sekali, Liv?" tanya Rein sambil duduk di samping temannya itu.
"Gimana mau take, Miko aja belum dateng."
Miko. Nama itu masih sering hinggap di pikiran Rein. Hubungan mereka sekarang seperti dua kubu yang saling perang dingin. Sejak putus Rein jarang mengobrol dengan Miko. Lelaki itu juga sering meninggalkan lokasi saat tidak ada take.
"Dia ke mana, sih, akhir-akhir ini sering telat?" Oliv menutup lembaran script lalu menatap Rein penuh tanya.
"Gue nggak tahu."
"Ya siapa tahu kalian masih berhubungan."
Rein menggeleng tegas. "Gue sama sekali nggak tahu."
Oliv menatap wajah Rein yang berubah kaku itu. Dia tahu, urusan cinta pasti menimbulkan bekas yang sangat lama. "Oh, ya, lo tadi dianter siapa?"
Pertanyaan itu tiba-tiba membuat Rein menoleh. "Lo tahu?" tanyanya tak yakin. Dia tadi sengaja berhenti di ujung gang agar tidak ketahuan teman-temannya jika dia diantar Dava.
"Tahu. Gue baru aja turun dari mobil dan lihat lo." Oliv mulai tersenyum menggoda. "Pacar baru, ya? Siapa? Lean, bukan?"
"Kok malah Lean?" tanya Rein sambil menggeleng pelan.
"Terus siapa dong kalau bukan Lean? Pasti Lean, kan? Udah jadian sama dia?"
"Ehm...."
Dehaman itu membuat Rein dan Oliv serempak menoleh ke sumber suara. Mereka mendapati Miko berdiri dengan rahang mengeras. "Take, Liv!" ucapnya kemudian pergi.
Oliv menoleh ke Rein sambil menggigit ujung bibirnya. "Gue nggak tahu kalau Miko udah dateng," ucapnya. "Dia denger nggak, ya? Kalau dia salah sangka gimana?"
Rein tersenyum kecut lalu menepuk pundak Oliv. "Gue udah nggak ada apa-apa sama dia. Santai aja."
"Tapi tetep aja, Rein." Oliv memeluk temannya itu karena merasa bersalah. "Sorry."
"Santai aja." Rein melepas pelukan Oliv kemudian tersenyum. "Sana, take! Jangan peduliin yang tadi."
Oliv berdiri sambil memukul bibirnya. "Mulut gue bener-bener, deh!!"
Rein geleng-geleng melihat Oliv yang berjalan sambil terus memukul bibir itu. Sudut bibirnya kemudian tertarik ke bawah. Sebenarnya dia penasaran tanggapan Miko seperti apa setelah mendengar ucapan Oliv tadi. Terlebih wajah Miko masih terlihat penuh amarah.
***
Pukul sebelas malam, Rein baru selesai syuting. Dia keluar dengan tangan kanan membawa botol air mineral. Rein mengedarkan pandang mendapati lokasi syuting mulai sepi. Jika, seperti ini dia harus mencari taksi online. Biasanya ada teman lainnya yang rela mengantarnya pulang.
Tin... Tin...
Dari arah depan terdengar suara klakson. Rein mengangkat wajah dan melihat mobil hitam terparkir. Keningnya mengernyit, lalu wajahnya berubah saat melihat Dava keluar dari mobil itu. "Ngapain, sih, dia!!" Lalu dia buru-buru mendekat.
"Pulang, yuk, Rein!" ajak Dava sambil menarik tangan Rein.
Seketika Rein menarik tangannya dan mundur satu langkah. "Ngapain lo jemput gue?"
"Mama lo yang minta."
"Huh..." Rein membuang napas pelan. Mamanya pasti dengan sengaja membuatnya selalu dekat dengan Dava. "Ya udah anter gue! Gue udah capek."
Dava tersenyum kemudian membuka pintu penumpang untuk Rein. Setelah gadis itu masuk dia berlari menuju pintu kemudi. "Kita nggak jadi dinner, ya. Lo pulangnya larut banget," ucapnya sambil melajukan mobil.
Rein duduk bersandar tanpa merespons Dava. Sebenarnya dia tidak begitu lelah. Pulang terlalu larut sudah menjadi rutinitas baginya. Namun, dia malas saja jika harus dinner bersama Dava.
"Tapi lo udah makan, kan, Rein?"
"Udah."
"Syukur, deh. Gue nggak mau lo telat makan." Dava melirik Rein yang memejamkan mata di sebelahnya itu. "Lampunya mau dimatiin aja nggak, Rein? Biar lo bisa tidur."
"Kalau dimatiin gue nggak bisa tidur!" jawab Rein masih sambil memejamkan mata.
"Lo masih sama, ya, kayak dulu. Kalau tidur selalu lampunya nyala." Dava terkekeh dan mulai terlarut dalam lamunannya. "Lo juga masih nggak suka minum susu sebelum tidur?"
Rein melirik sekilas kemudian kembali memejamkan mata. "Tidur gue jadi nggak nyenyak."
"Gara-gara lo pengen pipis?"
"Hmm...."
Dava tersenyum mengingat kebiasaan Rein. "Bener kata orang, SMA itu emang masa paling indah," ucapnya. "Banyak orang juga yang nemuin cinta sejatinya di masa SMA, loh!"
Kali ini Rein tidak merespons. Jika, dilanjutkan dia takut Dava kembali membahas masalah hati. Rein memilih pura-pura tidur, tapi sayangnya matanya tidak bisa diajak kerja sama. Akhirnya dia mengambil ponsel dan pura-pura sibuk melihat Instagram.
"Oh, ya, gue mau ngasih tahu. Mulai hari ini gue bakal antar jemput lo."
Duk!!
Ponsel yang dipegang Rein langsung jatuh begitu saja. Dia lalu menatap Dava penuh selidik. "Ngapain lo antar jemput gue?"
Dava tersenyum mendapati Rein yang masih saja ceroboh itu. "Permintaan mama lo. Selain itu gue emang niat antar jemput lo. Biar lo nggak capek."
Rein mendengus sambil mencari ponselnya yang terjatuh. Sayangnya dia tidak kunjung menemukan benda itu. "Bisa berhenti dulu nggak? Ponsel gue nggak ketemu."
"Oke..." Dava menggerakkan mobil ke bahu jalan dan berhenti. Dia ikut menunduk dan mencari ponsel Rein. "Ini, Rein!" ucapnya saat jemarinya menyentuh sesuatu. Dia mengangkat benda itu lalu membersihkan debu yang menempel. Saat itulah, Dava bisa melihat wallpaper ponsel Rein. "Lo pelukan sama siapa ini, Rein?"
Seketika Rein merebut ponselnya dan memasukkan ke tas. "Bukan siapa-siapa."
"Gue kayak kenal sama postur tubuh itu," jawab Dava sambil menatap Rein saksama. "Atau dia penyanyi yang lagi digosipin sama lo itu?"