Lean melirik gadis berpiyama biru dongker yang terlelap di sofa panjang itu. Dia tersenyum melihat Rein tertidur dengan sebagian wajah tertutup rambut. Lean lalu menunduk, menyelesaikan mengemas keperluan pribadinya kemudian menarik koper itu hingga dekat sofa. Barulah dia mendekati Rein dan menepuk pipi gadis itu. "Rein..."
Gadis di depan Lean sama sekali tidak merespons. Lean tersenyum, merasa jika Rein sangat lelah. Sebenarnya dia tidak tega membangunkan Rein seperti ini. Namun, sebentar lagi Ocit datang menjemputnya. "Rein... Bangun, Rein...."
"Emmh..." Rein mengucek mata kemudian menghalau rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Saat membuka mata, dia terkejut melihat wajah Lean. "Lean?"
Lean tersenyum sambil merapikan anak rambut yang masih menutupi sebagian wajah Rein itu. "Lo ketiduran di apartemen gue."
"Sekarang jam berapa?" Rein seketika terduduk sambil mengedarkan pandang. "Lo telat ke bandara, dong."
"Sekarang jam enam. Lima belas manit lagi gue berangkat."
Rein menutup wajah, malu karena ketiduran di sofa milik Lean. Gadis itu membuka mata kemudian tersenyum tak enak. "Ya udah gue pulang dulu. Gue takut mama curiga," ucapnya sambil berdiri.
"Bawa ini, Rein." Lean mengambil buket bunga dari atas meja dan menyerahkan ke Rein. "Lo simpen."
"Tapi nanti mama curiga." Sebenarnya Rein ingin membawa bunga itu, tapi dia enggan diinterogasi oleh mamanya.
"Lo juga bawa ini." Lean mengambil kresek putih dan menyerahkan ke Rein. "Kalau mama lo tanya, bilang aja lo habis cari makan. Terus bunga ini dari fans."
Rein menatap dua benda di tangan Lean itu sambil tersenyum. "Lo udah mikirin semuanya?"
"Iya, dong. Biar nggak ketahuan." Lean berdiri dan menyerahkan dua benda itu ke Rein. "Bawa. Biar nggak ada yang curiga."
Tidak ada alasan lagi untuk Rein menolak pemberian Lean. Dia mengambil benda itu lalu tersenyum kecil. "Gue balik, ya, Le. Hati-hati dan selalu jaga kesehatan."
Kalimat itu membuat Lean rasanya enggan berjauhan dari Rein. Lelaki itu merentangkan tangan meminta Rein masuk ke pelukannya. Rein yang mengerti kode itu langsung mendekat dan memeluk Lean erat. Matanya mulai berkaca-kaca seolah enggan berjauhan dari Lean.
"Nanti malem gue telepon, ya," bisik Lean yang langsung mendapat anggukan mantap dari Rein.
"Jaga diri," ucap Rein dengan suara serak. Saat air matanya hendak turun, dia langsung mendongak dan memaksa bibirnya untuk tersenyum.
"Lo juga. Jaga hati lo buat gue." Lean melepas pelukan dan menyadari Rein yang hendak menangis itu. Refleks dia mengusap bagian bawah mata Rein dengan ibu jari. "Jangan nangis, dong. Gue jadi nggak tenang perginya."
"Gue juga nggak tahu kenapa nangis," jawab Rein sambil menahan tawa.
"Kita foto dulu, yuk! Momen ini harus diabadiin."
"Enggak! Gue belum mandi."
Lean seolah tidak peduli dengan alasan Rein. Dia mengeluarkan ponsel dan membuka kamera. Pertama Lean tersenyum menghadap kamera sedangkan Rein mengerucutkan bibir. Kedua, Rein terlihat menjulurkan lidah sedangkan Lean mencium sisi kepala gadis itu. Ketiga, Lean mencium pipi Rein sedangkan gadis itu tersenyum lebar. "Udah jangan banyak-banyak nanti lo keterusan, Rein."
"Nggak salah?" tanya Rein dengan senyum mengejek. "Gue balik, ya. Makasih bunga dan sarapannya."
"Sama-sama." Lean mengekori Rein yang berjalan keluar itu. "Kapan-kapan sempetin waktu ke sini lagi, ya!"
"Nggak janji!" Rein berjalan menuju lift dengan dua tangannya membawa barang pemberian Lean. "Bye, Le!" ucapnya tanpa menoleh.
Lean berdiri di lorong sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Rein!!" panggilnya kala gadis itu masih menunggu lift.
Rein menoleh dan melihat Lean yang memberinya cium jauh itu. Dia mendengus lalu menjulurkan lidah.
"Kok malah gitu balesnya?" tanya Lean sebal.
"Bodo amat."
"Awas, ya, nanti pas gue telepon nangis bilang kangen."
Kepala Rein bergerak ke kiri dan ke kanan sedangkan ekspresi wajahnya terlihat menggoda Lean. "Nggak mungkin."
Tring...
Pintu lift terbuka, lalu Rein memberi senyuman ke Lean. "Bye, Le!" ucapnya kemudian buru-buru masuk.
"Bye, Rein!" jawab Lean sambil menatap kepergian Rein dengan sedih.
***
"Nggak ada yang ketinggalan, kan, Bos?"
Lean memperhatikan penampilannya sekali lagi lalu menatap koper yang telah dia siapkan. Kemudian dia menggeleng, merasa tidak ada barang yang tertinggal. "Nggak ada."
"Bener?" tanya Ocit memastikan. Terkadang bosnya itu pelupa, jika ada barang yang tertinggal maka Ocit yang harus kelabakan mencari pengganti.
"Sebenernya hati gue yang ketinggalan," jawab Lean dengan senyum segaris. Dia menunduk, memakai sepatunya sambil membayangkan Rein. Belum apa-apa saja dia sudah rindu ke gadis itu, bagaimana mau berjauhan?
"Nana ya, Bos?" tanya Ocit sambil menaikturunkan kedua alis.
Sontak Lean menoleh dengan raut kaget. "Enak aja lo ngomong."
"Hahaha." Ocit tertawa terbahak. "Kalau gitu siapa dong?"
"Jelas lo bisa tebak dia siapa." Lean berdiri lalu merapikan kausnya. Dia mengedip pelan ke Ocit. "Lo tahu apa yang terjadi."
Ocit geleng-geleng melihat wajah semringah bosnya itu. "Anak tetangga, kan?"
Lean mengangkat bahu acuh tak acuh. "Mending sekarang kita berangkat." Dia menggeret koper kemudian keluar dari apartemen. Sambil berjalan, Lean merogoh ponsel, mencoba menghubungi Rein.
Tut. Tut. Tut.
"Mau pamitan, ya?" goda Ocit yang berdiri di belakang Lean.
"Nggak usah sotoy."
"Samperin kali, Bos. Biar gentle gitu."
Tring.
Pembicaraan mereka terinterupsi oleh suara lift. Lean masuk lebih dulu kemudian bersandar di pojok sebelah kiri. Keningnya mengeryit, tampak memikirkan ucapan Ocit barusan. "Kayaknya gue emang perlu pamitan."
Ocit seketika menoleh dengan wajah kaget. "Lo nggak takut ketahuan?"
"Masa bodo!" jawab Lean tidak peduli. Ini tentang hidupnya dan tentang perasaannya, kenapa harus menuruti omongan orang?
"Tapi lo harus mikirin perasaan Rein, dong! Apalagi bentar lagi lo jauhan sama dia."
Sontak Lean menoleh. Benar juga apa yang dikatakan asistennya itu. Dia tidak ingin Rein terkena masalah. Apalagi saat dia tidak bisa di samping gadis itu. "Shit!! Kenapa hidup gue rumit gini, sih?"
"Sabar, Bos. Akan ada masa yang indah."
Tring.
Ocit menepuk pundak Lean lalu keluar lebih dulu. Sambil berjalan dia tersenyum, mulai membayangkan nanti malam saat Lean marah-marah karena merindukan Rein. Bosnya memang seperti itu, gampang merindukan seseorang.
"Masih keburu nggak kalau gue pergi bentar?" tanya Lean sambil menatap jam tangan hitamnya. "Lima menit aja."
"Mau ngapain lagi, Bos? Nggak keburu!"
"Ya udah, deh!" Lean berjalan dengan langkah berat. Rasanya dia ingin mengajak Rein ke bandara. Dia butuh asupan tenaga untuk menjalani hari-hari tanpa Rein.
"Stt!!"
Desisan itu membuat Lean mengernyit. Dia menoleh dan melihat gadis berpiyama berdiri di samping mobil warna merah. "Rein!" panggil Lean dengan senyum semringah.
Ocit yang mendengar teriakan bosnya seketika menoleh. Dia geleng-geleng melihat Rein yang bersembunyi di dekat mobil sambil menggerakkan tangan itu. "Lima menit, Bos. Ngobrol dalem mobil aja."
Mendengar kalimat itu Lean langsung menghampiri Rein. Dia menarik gadis itu lalu mengajaknya masuk mobil. "Gue pikir lo udah balik."
Rein tersenyum malu-malu. "Gue berubah pikiran."
"Apanya?" Lean bergeser mendekat agar bisa melihat pipi Rein yang bersemu itu.
"Jangan natap gue kayak gitu!" Rein mendorong kening Lean dengan jari telunjuk. "Lean!!" panggilnya kala lelaki itu masih saja menatapnya menggoda.
Bukannya berhenti, Lean tetap menatap Rein. "Kenapa tiba-tiba nyamperin? Udah kangen, ya?"
Mata Rein seketika melotot. "Palingan lo yang kangen gue."
"Belum," jawab Lean sambil mengedip genit. "Jadi kenapa tiba-tiba nyamperin?"
Rein membuang muka menatap mobil-mobil yang terparkir di basement. "Gue juga nggak tahu tiba-tiba nyamperin lo. Rasanya gue kepengen aja."
"Didorong sama hati lo, ya?" tanya Lean sambil tersenyum.
"Mungkin." Rein kembali menatap Lean lalu mengusap rambut lelaki itu. "Jaga diri, ya, di sana."
Lean menarik tangan Rein dan mencium punggung tangan itu. "Udah berkali-kali lo ingetin itu, Sayang," jawabnya. "Ada yang pengen lo omongin?"
Dada Rein bergemuruh melihat tatapan Lean yang begitu memujanya itu. Sekarang dia mulai tidak yakin bisa berjauhan dengan Lean. "Gue bingung mau ngomong apa."
"Jujur aja sama perasaan lo," pinta Lean sambil menggenggam tangan Rein erat.
Selama beberapa detik, mereka saling tatap tanpa sepatah kata. Rein lalu menunduk dan menyandarkan kening di dada Lean. "Gue bingung sama perasaan gue, Le. Gue ngerasa nyaman sama lo. Tapi gue bingung."
Lean tersenyum mendengar kalimat itu. Dia menepuk pundak Rein lalu berbisik pelan. "Katakan kalau lo emang sayang ke gue."
Rein memejamkan mata. Dia takut salah mengartikan perasaannya. Dia takut kisah cintanya seperti saat bersama Miko. "Gue bingung."
"Sini lihat gue." Perlahan Lean menarik dagu Rein hingga gadis itu sepenuhnya menatapnya. Kedua tangan Lean lalu menangkup pipi Rein sambil ibu jarinya bergerak mengusap. "Mungkin lo udah ada rasa ke gue. Cuma lo nggak mau memperjelas itu."
Rein mengangguk, membenarkan ucapan Lean. "Gue cuma...."
"... takut?" potong Lean cepat. "Apa yang lo takuti? Lo takut gue nyakitin lo? Lo takut perasaan lo nggak berbalas? Lo jelas tahu gue cinta sama lo."
Mata Rein berkaca-kaca mendengar kalimat itu. "Tapi orang-orang gimana?"
"Nggak usah dengerin apa kata orang," jawab Lean lelah. "Yang punya perasaan itu lo sama gue. Bukan orang lain, mereka cuma penonton nggak ada hak mencampuri perasaan kita, Sayang. Ngerti, kan?"
"Iya..." Rein memegang tangan Lean yang masih berada di pipinya itu. "Lo beneran cinta sama gue, Le?"
Lean mengangguk mantap. "Bener-bener cinta, Rein," jawabnya. "I do love you."
Hati Rein membuncah mendengar kalimat itu. "Gue juga sayang sama lo. Dan sepertinya cinta," akunya sambil tersenyum malu.
"Nah, gitu dong ngaku." Lean memajukan tubuh kemudian mencium bibir Rein. "I do love you, Baby. So much much and much," lanjutnya lalu mencium pipi Rein.
"Le... Geli...," Rein menggeliat karena Lean masih saja mencium pipinya. "Udah, Le. Lo harus berangkat ke bandara."
Kenyataan itu menghentak Lean. Dia kembali menatap Rein dengan wajah sendu. "Gue pengen ajak lo ikut."
"Gue juga pengen ikut."
Lean menyandarkan keningnya di kening Rein. "Gimana kalau lo ikut gue?"
"Tapi...."
"... lo takut apa kata orang?"
Rein memejamkan mata lalu mengangguk pelan. "Gue nggak sekuat lo, Le. Gue cuma cewek yang bisa sakit hati dengerin omongan orang."
Rasanya Lean ingin menghilang dari dunianya sekarang. Dia ingin menjadi orang biasa yang bebas memilih kepada siapa cintanya dia berikan. Dia ingin menjadi orang biasa yang tidak tersorot kamera sehingga dia bisa melalukan apapun yang dia mau. "Janji sama gue, mulai sekarang jangan peduliin apa kata orang."
"Gue..."
"Please..." Lean menegakkan tubuh dan melihat Rein yang masih memejamkan mata itu. "Just you and me."
Perlahan Rein membuka mata dan melihat tatapan teduh dari Lean. Gadis itu mengangguk kemudian tersenyum kecil. "Ya. Gue percaya lo selalu lindungi gue."
"Pastinya!" Lean menarik Rein ke dalam pelukan. "Gue peluk dulu sebelum gue berangkat. Bakalan kangen lo, Sayang."
Rein menyandarkan dagunya di pundak Lean. "Gue juga kangen sama lo."
"Ulangi," pinta Lean sambil tersenyum kecil.
"Nggak mau."
"Ulangi kalau lo emang sayang ke gue."
Bola mata Rein memutar mendengar kalimat itu. "Gue bakal kangen lo, Lean yang pamaksa."
Lean mencium puncak kepala Rein dengan gemas. "Tapi lo cinta, kan?"
"Hmm..." Rein lalu tersenyum kecil.
Perlahan Lean melepas pelukan dan menatap Rein. "Gue janji bakal perjuangin perasaan kita. Gue janji nggak bakal ninggalin lo."
Rein mengangguk, yakin Lean bisa membuktikan kalimatnya. "Gue sayang lo, Le."
"Gue cinta lo, Rein." Lean menjawil hidung Rein dengan gemas. "Gimana kalau lo ikut gue? Sekali aja."
Satu alis Rein seketika terangkat. "Nemenin lo manggung?"
"Ya," jawab Lean dengan senyum semringah. "Kita bangun dunia kita berdua. Kita lupain orang-orang yang menghalangi hubungan kita."
Rein menggigit ujung bibir, tampak bingung harus menjawab apa. "Le...."
"Atau kalau perlu kita kawin lari." Lean menggenggam Rein dan menatap penuh harap.