"Gue kayak kenal sama postur tubuh itu," jawab Dava sambil menatap Rein saksama. "Atau dia penyanyi yang lagi digosipin sama lo itu?"
Rein menggigit ujung bibirnya. Jelas postur tubuh Lean mudah dikenali karena lelaki itu public figure. Namun, dia tidak menyangka jika Dava juga mengenali Lean.
"Jadi lo emang deket sama dia?" tanya Dava kala tidak kunjung mendapat jawaban.
"Bukan dia kok." Rein membuang muka dan lebih menatap deretan ruko yang telah tutup itu. "Jalan lagi, Dav. Gue udah capek."
Dava menatap Rein yang terlihat menghindarinya itu. Entah kenapa Dava yakin jika Rein memiliki hubungan spesial dengan Lean.
"Dav...." panggil Rein kala Dava tidak kunjung melajukan mobil.
"Gue harap lo emang nggak ada hubungan apa-apa sama dia." Dava melajukan mobil sambil sesekali melirik Rein. Dia tidak menyangka jika malam ini mendapat satu fakta tentang Rein. Dia pikir gadis itu tidak lagi dekat dengan lelaki lain setelah Miko.
Sedangkan Rein, sibuk merutuki dirinya sendiri. Dia terlalu ceroboh dengan menjatuhkan ponsel. Parahnya Dava melihat wallpaper yang dia gunakan. Sekarang Rein menyesal kenapa menjadikan foto itu—saat dia berpelukan dengan Lean kemarin—sebagai wallpaper. Harusnya dia menyimpan foto itu untuk dokumentasi pribadi.
"Mama lo tahu nggak soal ini?" tanya Dava tiba-tiba.
Tubuh Rein seketika menegang. Dia menoleh dan menatap Dava yang menyetir dengan satu tangan itu. "Lo mau ngadu ke mama?"
"Ngapain? Lo tahu gue bukan tukang ngadu."
"Siapa tahu sekarang lo berubah," jawab Rein sambil membuang muka. Dia ingin segera sampai apartemen dan mengganti wallpapernya. Dia cukup pintar tidak mengganti wallpaper itu di depan Dava. Bisa-bisa lelaki itu curiga, atau lebih parahnya besar kepala.
Dava berkali-kali melirik Rein yang terlihat gelisah itu. Hatinya terusik, penasaran apakah Rein memiliki rasa untuk Lean. "Belum apa-apa gue udah punya saingan, ya."
"Maksud lo?"
"Lean."
Lo sama Lean nggak bisa dibandingin. Lo masa lalu gue, jerit hati Rein. Namun, dia tidak ingin mengutarakan itu dan membuat Dava semakin banyak tanya.
"Tapi gue percaya, nggak ada usaha yang sia-sia." Dava melirik Rein dengan senyuman. Dia berharap bisa menjalin hubungan lagi dengan gadis itu.
***
Saat sampai apartemen, Rein mendapati hampir semua ruangan telah gelap. Dia berjalan pelan tidak ingin membuat mamanya yang mungkin saja tidur jadi terbangun. Setelah sampai kamar, Rein menyalakan lampu dan duduk di depan meja rias. Dia mengambil kapas dan menuang micelar watter di atasnya. Sambil membersikan make up, dia ingat percakapannya dengan Dava. Lelaki itu benar-benar ingin mengejarnya lagi.
Drtt...
Samar-samar getar ponsel itu terasa. Rein membuka tas di pangkuannya dan mendapati ponselnya menampilkan nama Lean. Seketika Rein berlari menuju kamar mandi dan menyalakan shower. "Halo..."
"Lo lagi di mana?" tanya Lean.
"Di apartemen."
"Kayak di toilet."
Rein berdiri di depan kaca sambil menahan tawa. Dia mendapati setengah wajahnya masih mengenakan make up, sedangkan sisinya sudah bersih. "Gue nggak mau ketahuan mama," jawabnya. "Ada apa lo telepon gue?"
"Ya kangen, dong."
Pipi Rein seketika memerah. "Baru ketemu kemarin."
"Emang salah kalau gue kangen?"
"Ya enggak, sih." Rein terkekeh geli karena ucapan Lean. Padahal kemarin mereka bertemu, lalu tadi pagi sempat berkomunkasi. "Lo sekarang di mana?" tanyanya saat Lean tidak lagi bersuara.
"Gue lagi di apartemen. Lo mau ke sini?"
Mata Rein seketika melotot. "Ya kali cewek ke apartemen cowok malem-malem."
"Loh emang kenapa? Kan cuma ngobrol," jawab Lean sambil menahan tawa. "Lo takut khilaf, ya, deket-deket gue?"
"Apaan, sih!!!" Rein menghentak karena Lean terus saja menggodanya itu.
"Jadi beneran mama lo tinggal di apartemen?" tanya Lean mengganti topik pembicaraan.
Rein seketika menunduk. Bukannya dia sedih karena mamanya tinggal bersamanya, tapi dia jadi tidak leluasa bertemu Lean. "Iya. Kayaknya dia takut kita jalin hubungan diem-diem. Jadinya gini, deh."
"Kalau mama lo udah kayak gitu, pasti mami gue juga makin protektif."
"Ya terus gimana?" tanya Rein mulai putus asa.
"Ya harus berjuang yakinin orangtua kita, dong."
"Gue nggak yakin."
"Kok nggak yakin?"
"Huh...." Rein menghela napas panjang. "Mama makin serius jodohin gue sama Dava. Bahkan Dava mulai antar jemput gue."
"What?!!" Di apartemennya Lean berjingkat kaget. Dia menendang udara meluapkan emosi yang tiba-tiba bergejolak. "Gue kalah start, dong?" tanyanya sambil menyugar rambutnya ke belakang.
Rein mengangkat bahu pelan. "Ya intinya gitu."
"Tiap pagi sama malem, kita harus teleponan. Gue nggak mau hati lo berpaling ke Dava. Gue nggak terima penolakan!" putus Lean.
Sudut bibir Rein tertarik ke atas. Dia merasa itu bentuk usaha Lean untuk melindunginya. "Iya... Iya..."
"Jangan cuma iya aja," jawab Lean cepat. "Kalau gue belum hubungin lo, lo harus hubungin gue duluan."
"Kok gitu?" tanya Rein kaget. Dia malu jika harus menghubungi Lean lebih dulu. Selain itu, rasanya dia tidak bisa mengendalikan perasaannya jika menghubungi lebih dulu.
"Harus! Gue nggak terima penolakan!"
"Iya... Iya..."
"Oke dimulai dari besok!" putus Lean terdengar tegas tak terbantahkan.
Rein tersenyum, tidak sabar esok hari Lean menghubunginya. "Ya udah, udah malem, nih. Gue belum bersih-bersih."
"Good night, Sayang."
"Bye." Rein menutup sambungan secara sepihak lalu menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dan mendapati wajahnya cukup berantakan dengan pipi yang memerah.
Di ujung sana, Lean berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Jika, dia membiarkan Dava mengantar jemput Rein, dia takut hati gadis itu berpaling. Meski Lean belum bisa memastikan hati Rein untuknya, tapi dia tidak ingin hati gadis itu berubah kepadanya.
"Gue harus ngelakuin sesuatu, nih!"
Lean bertolak pinggang dengan sorot mata tajam. Dia tidak terima jika kalah dengan Dava, apalagi jika dia tidak bisa berusaha apapun. "Gue harus nekat deketin Rein. Apapun yang terjadi."
***
Drtt....
Rein menggeliat mendengar suara getar ponsel. Dia menarik selimut dan menutup telinganya dengan tangan. Matanya terus terpejam, ingin kembali terlelap. Namun, getar ponsel yang tidak mau berhenti itu terus mengusiknya.
"Ih!!!" Rein menyibak selimut kemudian membuka mata. Sepersekian detik dia hanya diam, hingga ingat janjinya dengan Lean semalam. Seketika Rein bangkit dan mengambil ponselnya di nakas.
Leander calling.
Sudut bibir Rein tertarik ke atas lalu mengangkat panggilan itu. "Halo...."
"Lama banget!"
"Hoam...." Rein menutup mulut sambil kembali berbaring. Dia menatap langit-langit kamar sambil mengumpulkan kesadarannya. "Gue masih tidur."
"Ayam aja udah bangun," jawab Lean. "Good morning, Sayang."
Refleks Rein menatap jam dinding dan menyadari jarum jam masih berada di angka empat. "Pagi banget, sih, Le!! Gue baru tidur tiga jam."
"Kan lo udah sepakat buat komunikasi pagi hari."
Rein memutar bola matanya malas. Dia pikir pagi hari itu sekitar jam tujuh sampai delapan pagi. Tidak tahunya malah subuh Lean menghubunginya. "Besok lo hubungin gue jam tujuh aja."
"Keburu mama lo bangun terus lo nggak bisa gue telepon! Gue nggak mau!" tolak Lean cepat. "Lagian kenapa, sih, kalau bangun pagi?"
Sebenarnya Rein tidak mempermasalahkan soal bangun pagi. Hanya saja, dia tidurnya terlalu larut dan dia masih butuh istirahat. "Nggak kenapa-napa. Hoam..." jawabnya setelah itu menguap. "Kok lo jam segini udah bangun?"
"Gue ada manggung di Palembang."
"Terus lo sekarang udah siap-siap?"
"Iya. Mau ke apartemen gue nggak?"
Rein mengucek matanya yang terasa panas. Dia masih sangat mengantuk, tapi dia juga tidak ingin melewatkan sesi bertelepon ria dengan Lean. "Gue takut ketahuan mama."
"Cuma bentar. Sejam, deh."
"Lihat nanti."
"Gue tunggu." Setelah mengucapkan itu Lean mematikan sambungan secara sepihak.
Di ranjang, Rein kembali memejamkan mata. Namun, saat hendak terlelap dia buru-buru terjaga. Gadis itu meloncat dari ranjang lalu bergegas ke kamar mandi. Tidak ada salahnya dia menemui Lean sebentar.
Lima belas menit kemudian, Rein keluar kamar sambil mengendap. Dia mendapati lampu ruang tamu masih gelap seperti semalam. Dia melangkah pelan hingga berhasil keluar dari apartemen. Setelah itu dia berjalan cepat menuju apartemen Lean.
Tet...
Rein menunggu sambil mengedarkan pandang. Dia tidak ingin ketahuan siapapun, atau lebih parahnya tiba-tiba Tante Atika datang dan memarahinya.
Ceklek...
Suara grendel pintu membuat Rein mendesah lega. Dia bergerak masuk, lalu perhatiannya tertuju ke buket bunga yang berada di hadapannya. Pipinya seketika bersemu, yakin Lean sudah merencanakan ini. "Lean...."
Lean muncul dari balik pintu dengan cengiran khasnya. Dia menarik Rein mendekat dan memeluk gadis itu erat. "Gue pikir lo nggak ke sini."
Rein menyandarkan kepalanya di dada Lean sambil menghirup aroma parfum lelaki itu. "Lo udah rencanain semuanya, ya?"
"Iyalah." Lean melepas pelukan lalu menyerahkan bunga itu ke Rein. "Kalau sampai lo nggak dateng, mungkin mawar ini bakal kering."
Perhatian Rein tertuju ke mawar putih dan pink pemberian Lean itu. Dia mendekap bunga itu dan menghirup aromanya. "Makasih, ya!"
Seketika Lean menunduk dan menggerakkan pipinya. "Sebagai balasan."
Tindakan itu membuat wajah Rein langsung memerah. Dia menempelkan jari telunjuk dan jari tengah ke bibir kemudian menempelkan ke pipi Lean. "Udah, kan?"
"Maunya langsung!" jawab Lean gemas.
"Itu juga sama aja." Rein tersenyum puas lalu duduk di sofa panjang.
Sedangkan Lean masih berdiri di posisinya sambil menatap Rein. "Selama gue di luar kota jangan kangen, ya. Kan, bisa telepon gue duluan."
Rein seketika mengangkat wajah lalu mendengus. "Palingan juga lo yang kangen."
"Kok lo bisa nebak, sih?" tanya Lean sambil mendekati Rein. Dia lalu mengambil ponsel dan menunjukkan wallpaper ponselnya. "Biar gue nggak kangen. Meski lo cuma kelihatan punggungnya doang."
Diam-diam Rein tersenyum. Lean juga menjadikan foto pelukan itu sebagai wallpaper.