"Kayaknya Dava."
Seketika Lean melepas pelukan dan menatap Rein dengan senyum getir. "Ya udah angkat aja."
Rein memperhatikan wajah Lean terlihat sebal itu lalu melirik ponsel. Seketika dia meletakkan benda itu dan duduk di sofa panjang. "Gue nggak mau lo marah."
Lean seketika menoleh dan mendapati Rein duduk menatap depan dengan tubuh kaku. Dia duduk di samping Rein lalu menarik ponsel gadis itu. "Gue beneran nggak apa-apa."
"Udah mati juga," jawab Rein sambil menatap ponselnya yang kembali ke mode awal.
Drtt....
Ponsel di tangan Lean kembali bergetar. Dia menyerahkan benda itu ke Rein sambil mengangguk pelan. "Lo angkat aja. Siapa tahu penting."
Ada keraguan di wajah Rein. Dia tahu Lean pasti tidak suka melihatnya mengangkat telepon dari Dava. Namun, Lean terlihat tidak ingin menjadi lelaki posesif. Perlahan Rein mengambil ponsel dan mengangkat panggilan itu. "Halo, Dav," sapanya cepat.
"Rein.... Gue pikir lo nggak mau angkat panggilan gue."
Rein menggigit ujung bibirnya sambil menatap Lean yang masih menatapnya itu. "Ada apa, ya?"
"Huh...." Terdengar helaan napas panjang di sana. "Besok lo ada acara nggak? Gue mau ajak lo dinner."
Samar-samar Lean mendengar ajakan itu. Seketika dia membuang muka sambil menahan dadanya yang bergemuruh. Saat merasakan lengannya di peluk, Lean menoleh dan mendapati Rein menggeleng pelan. Terpaksa Lean tersenyum walau hatinya sangat cemburu.
"Gue nggak tahu besok ada acara atau enggak," jawab Rein sambil menatap Lean.
"Yah... Padahal gue pengen ajak lo dinner di tempat pertama kita kencan."
Wajah Rein memerah karena ucapan Dava itu. Bukan karena dia tersanjung, tapi lebih tepatnya malu karena Lean pasti juga mendengar kalimat itu. "Lihat besok aja, ya, Dav."
"Oke... Besok gue hubungi lagi."
"Ya...," jawab Rein sambil menjauhkan ponsel.
"Rein...."
Panggilan Dava membuat Rein kembali mendekatkan ponsel. "Apa lagi, Dav?"
"Nggak apa-apa. Gue tadi belum ungkapin sesuatu. Gue kangen sama lo."
"Emmm...." Rein memeluk lengan Lean lebih erat. "Bye, Dav," lanjutnya sambil mematikan sambungan secara sepihak.
Lean tersenyum kecut melihat wajah Rein berubah khawatir itu. "Dia bilang apa ke lo?"
"Enggak bilang apa-apa kok." Rein duduk bersandar kemudian memejamkan mata.
"Nggak usah bohong. Gue denger kok." Perlahan Lean mendekat. Tangan kirinya menyangga kepala sedangkan arah pandangnya tetap tertuju ke Rein. "Dia bilang kangen, kan, sama lo?"
Seketika Rein membuka mata dan mendapati wajah Lean beberapa centi dari wajahnya. Gadis itu tersenyum kemudian mendorong kening Lean. "Kepo!!"
"Gue nggak kepo... Gue denger..."
"Ya... Ya... Ya.... Terserah lo," jawab Rein sambil memutar bola matanya.
Melihat Rein yang kembali menggemaskan seketika Lean mendekat dan mencium pipi gadis itu. "Selama ini lo baik-baik aja, kan? Gue sering lihat lo di tv."
Rein menatap mata Lean dan seolah terlarut oleh tatapan lembut itu. "Baik-baik aja," jawabnya. "Selama ini lo ke mana?"
Lean duduk bersandar sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Gue ada manggung dan mami terus ngikutin gue."
"Sama. Mama juga gitu."
"Katanya mereka udah pernah ketemu," ujar Lean sambil menatap Rein.
Rein mengangguk, ingat percakapannya dengan sang mama. "Tapi mereka tetep ngekang kita. Padahal apa salahnya kita berteman?"
"Teman?" Seketika Lean menghadap Rein dengan wajah kaget.
"Iya... Te... teman....," jawab Rein terbata. Kedua matanya bergerak menatap wajah Lean yang terlihat kaku itu.
"Gue udah ungkapin cinta ke lo. Dan lo masih gue anggep teman?" tanya Lean dengan hati teriris. "Apa nggak ada sedikit rasa buat gue?"
"Le..." Rein menangkup pipi Lean sambil tersenyum. "Gue belum tahu jalan di depannya kayak gimana. Nggak apa-apa, kan, kalau kita temenan dulu?"
Lean seketika membuang muka. Setelah beberapa bulan dekat dengan Rein dan dia sudah mengutarakan perasaannya tetap saja dia dianggap teman. "Gue nggak mau jadi temen lo, Rein."
"Terus lo maunya jadi apa?"
"Pacar."
"Emang lo nembak gue?" Setelah mengucapkan itu Rein menutup mulut.
"Jadi pengen gue tembak, nih?" goda Lean sambil mendekat.
Rein menggeleng pelan kemudian berlari menuju dapur. Sungguh, dia malu telah mengajukan pertanyaan itu. "Bego!!" geramnya sambil menepuk kening.
Sedangkan di posisinya Lean tersenyum penuh kemenangan. Dia berdiri kemudian berjalan ke arah dapur. Senyum Lean semakin mengembang melihat Rein yang berkali-kali menepuk kening itu. "Daripada ditepuk, mending sini gue cium."
Gerakan Rein seketika terhenti. Dia menoleh dan mendapat kedipan pelan dari Lean. "Lo mau minum apa?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Lean mendekat kemudian melipat kedua tangan di depan dada. "Gue nggak mau minum apapun," jawabnya sambil menunduk. "Gue pengen cium kening lo," lanjutnya kemudian mencium kening Rein.
Tindakan itu membuat Rein refleks menutup mata. Dia merasa hidupnya begitu tenang. Semua masalah yang dia hadapi seolah hilang begitu saja. Kedua tangan Rein bergerak kemudian memeluk leher Lean.
"Gue sengaja nggak nembak lo, karena gue tahu hati lo belum sepenuhnya milik gue," ucap Lean setelah mengakhiri kecupannya. "Tapi gue bakal langsung nembak lo setelah yakin lo bener-bener cinta ke gue."
Pipi Rein seketika memerah. "Beri aku waktu," pintanya lalu memeluk Lean.
Lean mendekap Rein begitu erat. Dia yakin jalan di depannya semakin susah. Tidak hanya itu, dia pasti akan sulit bertemu Rein dan bisa meluangkan waktu seperti ini. Namun, apapun itu dia akan berjuang untuk cintanya.
***
Bip...
Rein buru-buru keluar saat mendengar pintu apartemennya terbuka. Dia mendapati mamanya berjalan masuk dengan dua kantong berukuran besar.
"Bawa masuk, Dav..."
Mata Rein melebar mendengar ucapan mamanya. Dia semakin kaget saat sosok Dava muncul dengan kantong belanjaan yang jauh lebih banyak.
"Rein... Jangan cuma dilihatin. Bantuin, dong, Dava." Sarah berjalan masuk sambil melirik anaknya yang masih terbengong itu.
Bukannya menuruti permintaan mamanya, Rein tetap diam sambil menatap Dava yang berdiri di depan pintu itu. "Kalian habis belanja?" tanyanya penuh selidik.
Dava meletakkan kantong belanjaan lalu duduk di sofa single. "Tante Sarah katanya pengen isi kulkas lo. Jadi ya gue bantuin."
Rein seketika menoleh ke arah kepergian mamanya. "Ma... Ngapain belanja banyak-banyak?"
"Mama bakal tinggal di sini!!"
Tubuh Rein seketika menegang. Dia tidak memiliki kebebasan jika harus tinggal bersama mamanya lagi. Sebelum-sebelumnya dia terpaksa tinggal di rumah seperti permintaan mamanya. Selain itu dia merasa tidak leluasa lagi bertemu Lean.
"Mulai pagi ini mama tinggal di sini. Mama akan jagain kamu." Sarah kembali ke ruang tengah dan mengambil beberapa barang belanjaan.
"Biar Dava bantu, Tante." Dava dengan sigap mengambil kantong belanjaan itu dan mengekori Sarah.
"Makasih, ya, Dav. Kamu itu bener-bener bisa diandelin."
Di ruang tamu menyisakan Rein yang masih terdiam. Dia yakin tidak bisa mengajak Lean ke apartemennya lagi. Setelah kemarin dia bisa berduaan dengan lelaki itu, pagi ini ada lagi penghalangnya. "Sabar, Rein.... Sabar...." Rein mengusap dadanya naik turun.
"Kamu mau dimasakin apa, Rein?!" teriak mamanya dari arah dapur.
"Terserah, Ma. Tapi Rein buru-buru mau ke lokasi syuting." Rein berjalan masuk, dan berpapasan dengan Dava.
Dava tersenyum melihat wajah segar Rein. Rambut gadis itu hanya dicepol asal tapi tetap terlihat cantik.
"Permisi, Dav..." Rein bergerak kemudian berlalu menuju kamar.
"Biar dianter Dava ya, Rein!!!" teriak Sarah.
Di depan kaca, Rein memejamkan mata sejenak. Dia yakin pasti mamanya akan meminta Dava untuk mengantarnya. Tanpa menjawab, Rein memasukkan beberapa alat make up lalu membawa tas kecil itu di tangan kiri. Setelah itu Rein mengambil tas slempang dan menyampirkannya di bahu kanan.
"Mau berangkat sekarang, Rein?"
Rein menoleh dan mendapati Dava duduk di sofa single. "Gue nggak bisa nolak perintah mama gue, kan?" tanyanya pasrah. "Ya udah cepet gue buru-buru."
"Tan... Dava sama Rein berangkat, ya!!" teriak Dava kemudian keluar dari apartemen. Dia berjalan cepat mengejar langkah Rein, kemudian menarik tas di bahu kanan gadis itu. "Biar gue bantu."
"Makasih. Tapi gue bisa sendiri." Rein menyampirkan tas itu ke pundak kemudian masuk lift.
"Huh...." Dava mengembuskan napas kecewa karena Rein menolak bantuannya. Namun, itu tidak begitu berarti karena dia tetap bisa membantu Rein dengan mengantar gadis itu ke lokasi syuting. "Nanti lo pulang jam berapa?"
Rein melirik Dava yang berdiri di pojok sebelah kiri itu. "Nggak tahu. Gue belum dapet script-nya."
"Nanti gue jemput, ya."
"Nggak usah!" tolak Rein cepat. "Lo pasti sibuk."
Dava memasukkan kedua tangannya ke saku celana, lalu bersandar di tembok lift. "Selama beberapa bulan ke depan gue nggak ada kerjaan, Rein."
Seketika Rein menoleh sambil menatap penuh selidik. "Seorang Dava nggak mungkin buang-buang waktu begitu saja."
"Lo kenal gue banget, ya, Rein," jawab Dava dengan cengiran khasnya. "Tapi gue lagi butuh istirahat. Sebelum gue sibuk sama pasien-pasien gue."
"Ya kenapa nggak dari sekarang aja?"
"Gue belum diwisuda dan ijazah gue belum kelar. Sambil nunggu urusan gue kelar, gue mau santai." Dava tersenyum seolah puas dengan keputusannya.
Rein hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. Namun, di hatinya tebersit rasa khawatir. Dia takut Dava semakin mendekatinya dan mamanya mendukung keputusan itu.
"Mama lo juga minta biar gue jagain lo."
Kalimat itu seolah petir di siang bolong. Rein kembali menoleh dan menatap Dava dengan senyum segaris. "Gue udah cukup dewasa. Jadi lo nggak perlu jagain gue."
Dava berdiri tegak kemudian menghadap Rein. "Lo tahu, kan, kalau seorang Dava nggak suka buang-buang waktu?" tanyanya. "Karena mulai detik ini gue bakal ngejar lo."
Tring...
"Ayo, Rein! Gue nggak mau lo terlambat." Dava keluar lebih dulu dengan senyum mengembang.
"Huh...." Beberapa langkah di belakang Dava, Rein keluar sambil menghela napas pelan. Tiba-tiba dia membayangkan bagaimana kehidupannya selama beberapa bulan ke depan. Dava mengejarnya dan mamanya memilih tinggal bersamanya. Rein tidak lagi bisa bertingkah seenaknya dan tidak bisa menghubungi Lean seleluasa biasanya.
"Ayo, Rein!!" ajak Dava kala Rein berjalan cukup pelan itu.
Akhirnya Rein mempercepat langkah sambil memijit pelipis. Mendadak dia pusing.