"Rein lo harus cerita, kenapa ada gosip lo sama Lean?"
Rein yang baru sampai lokasi syuting dan langsung mendapat pertanyaan itu dari Oliv—sahabatnya. Rein meletakkan tas di sofa dan menghempaskan tubuhnya di sofa panjang, tanpa menjawab pertanyaan itu.
"Rein!! Cerita dong!!"
Rein menoleh menatap Oliv yang sedang melepas rol itu. "Males ah bahas itu. Seharian dari pagi sampai sekarang keluarga gue, temen gue dan kru dari depan sampai lo pada nanyain itu."
Oliv beranjak dari posisinya, berjalan mendekati Rein dan duduk di pinggiran sofa. "Gimana gak tanya Rein, kan gosip itu masih baru. Wajarlah banyak yang nanya."
Rein membenarkan posisinya. Dia duduk sambil memeluk kedua lutut dan mengangkat kakinya ke sofa. "Intinya gue gak sadar, sampai tuh gosip muncul."
"Terus mama lo?"
"Ya mama marahlah. Lo tahu, kan mama gue musuh bebuyutan sama Tante Atika."
"Sabar, ya. Moga gosip ini gak banyak berimbas ke kehidupan lo."
Rein mengangguk. Dia juga berharap gosip itu hilang seiring berjalannya waktu. Dia tidak bisa membayangkan jika gosip itu terus beedar. Bukan hanya dirinya dan Lean saja yang jengah oleh gosip itu, tapi keluarga besar mereka.
"Gue siap-siap dulu, deh." Tak ingin kembali memikirkan gosip, Rein turun dari sofa dan hendak ber-make up.
"Rein!!"
Panggilan itu membuat Rein tersentak. Dia menoleh dan mendapati Miko pemeran utama di sinetron yang sedang dia bintangi. Rein mendekat ke sofa ruang tamu saat melihat lelaki itu duduk di sana.
"Gosip itu nggak bener, kan?" tanya Miko setelah Rein menghempaskan diri di sebelahnya.
Pertanyaan itu lagi, batin Rein kesal. Rein menatap Miko yang menunggu jawabannya itu. Hubungan Rein dan Miko cukup dekat, mereka melakukan pendekatan saat mulai syuting awal bulan lalu. Namun, sampai sekarang belum ada kejelasan lebih lanjut. "Enggak, Mik."
"Harusnya semalem gue dateng dan jagain lo."
Rein memejamkan mata saat merasakan telapak tangan Miko membelai pipinya. Gadis itu baru membuka mata saat Miko menghentikan usapannya. "Bukan salah lo."
"Nanti malem mau ngggak jalan?"
Mendengar tawaran itu, Rein mengangguk antusias. Mana mungkin dia menolak ajakan lelaki yang dia suka. Sekaligus dia ingin bersenang-senang dan melupakan gosip yang menerpanya. "Tentu dong."
"Setelah syuting kita berangkat!" Miko mengusap rambut Rein kemudian beranjak dan kembali melakukan syuting.
Sedangkan Rein, masih menatap kepergian Miko dengan senyumannya. Andai dia digosipkan dengan Miko, mungkin dia tidak akan sesebal ini.
***
"Gitu dong dari tadi, senyum."
Rein menunduk malu mendengar kalimat itu. Sedangkan Miko tersenyum melihat Rein yang malu-malu itu. Sangat kontras dengan peran judes Rein yang tadi di lokasi syuting.
"Lo mau ice cream gue nggak? Nih, coba!" Rein menyendokkan sesendok ice cream vanilla ke Miko agar lelaki itu tidak terus menggodanya.
"Sini!" Miko memajukan tubuh dan menerima suapan dari Miko.
Pipi Rein bersemu melihat Miko tersenyum dan mengerling. "Rasa vanilla enak, kan?"
"Masih enak rasa strawberry."
"Enakan vanilla."
"Terserah."
Bibir Rein mengerucut mendengar ucapan Miko. Terserah? Entah Rein sedang sensitif atau bagaimana dia merasa ucapan Miko sebagai tanda mengakhiri perdebatan kecil mereka. Gadis itu menunduk dan mengaduk ice cream-nya dengan gerakan pelan.
"Loh? Kok sekarang diem?" Miko menatap Rein yang mendadak diam itu. Miko menggaruk tengkuk yang tak gatal, merasa salah bicara.
"Nggak apa-apa kok."
"Nggak apa-apanya cewek artinya ada apa-apa. Lagu lama banget itu."
Rein diam saja. Dia lebih memilih menyantap ice cream vanilla daripada menjelaskan keanehan dirinya malam ini.
"Sttt!! Pelan-pelan!!"
Suara itu mmebuat Rein menoleh ke arah luar. Matanya membulat saat melihat beberapa reporter membidikkan kamera lalu ada beberapa yang nekat berjalan masuk.
"Sialan!! Kenapa ke sini sih!!"
Miko mengernyit melihat Rein menutup wajah dengan buku menu. Lelaki itu lantas menoleh mencari tahu penyebab keanehan Rein. Dia melihat beberapa reporter berjalan cepat ke mejanya. "Pemburu berita," geramnya.
Rein menoleh, melihat para reporter sekarang tengah mengerubungi meja. Dia terus menutup wajah dengan buku menu, sedangkan satu tangannya mencari tas yang tadi dia letakkan di kursi sebelah. Dia harus kabur saat ini juga.
"Rein, apa kamu ada hubungan spesial dengan Miko? Lalu bagaimana hubunganmu dengan Lean?"
"Minggir!!" Rein berdiri usai menggapai tasnya. Dia berjalan menjauh dari kerumunan reporter itu.
Melihat Rein beranjak, Miko pun beranjak. Dia tak menghiraukan pertanyaan reporter yang ditujukan kepadanya itu. "Rein!! Tunggu!!"
Rein menoleh melihat Miko berjalan cepat ke arahnya itu. Saat Miko telah berdiri di depannya, Rein menggapai tangan lelaki itu dan menarik Miko keluar cafe.
"Rein!! Rein!! Tunggu, Rein!!"
Miko dan Rein mendengar para reporter yang berteriak mengejar mereka. Miko menoleh, dia melihat dari arah kanan tiga reporter berlari mendekati. Seketika Miko menghentikan langkah membuat Rein menoleh kesal.
"Mik, kenapa malah berhenti, sih?!"
"Nggak usah menghindar, Rein. Mereka nggak bakal nyerah gitu aja."
"Terus lo mau gue jawab pertanyaan mereka gitu? Nggak penting, Mik." Satu tangan Rein menyentak tangan Miko. Dia hendak pergi meninggalkan Miko, tapi tangan lelaki itu menahan lengannya.
"Guys. Kalau kalian tanya hubungan gue sama Rein. Kami memang pacaran."
Tubuh Rein seketika kaku mendengar ucapan Miko. Perlahan dia menoleh dan menatap Miko yang ternyata menatapnya dengan senyum mengembang.
"Lalu mengapa Rein tampak mesra dengan Lean semalam?"
Miko tersenyum tipis. Satu tangannya menarik pinggang Rein agar mendekat ke arahnya. "Mereka cuma terbawa suasana," jawab Miko.
"Apa kamu nggak marah mengetahui hal itu?"
"Marah? Tentu saja tidak. Gue sangat percaya sama Rein. Gue rasa itu aja yang bisa gue kasih tahu." Setelah mengucapkan itu Miko menarik Rein menjauh dari kerumunan reporter.
Rein tak bisa merespon, dia hanya mengikuti langkah Miko dengan senyum tertahan.
Setelah sampai mobil, mereka duduk bersandar dengan napas terenggah. Dari luar, mereka melihat reporter berteriak memanggil nama mereka dan masih membidikkan kamera.
"Kita pergi sekarang, ya!" ajak Miko setelah napasnya kembali teratur.
Rein menoleh, menatap Miko yang mulai melajukan mobilnya itu. Tanpa sadar Rein terus menatap lelaki itu sambil menelan ludah. Di pikirannya sibuk, memutar kejadian beberapa menit yang lalu. Saat Miko mengaku sebagai pacarnya. "Mik, gue boleh tanya?"
Miko melirik sekilas, lantas mengangguk. Pasti tanya yang tadi.
"Kenapa lo tadi bilang kalau kita pacaran?" tanya Rein pelan.
Kedua tangan Rein memilin tali tas slempangnya. Dia melihat Miko tersenyum miring, tapi dia tidak tahu artinya apa. Tak lama mobil melaju sangat pelan. Rein mengernyit melihat mobil berhenti di bahu jalan.
"Apa salah gue ngomong gitu? Apa kedekatan kita selama ini nggak menunjukkan kalau kita sama-sama ada rasa?" Miko berbalik, menatap Rein yang terlihat canggung itu.
Rein tersenyum malu-malu saat Miko menatapnya lembut, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. "Jadi inti hubungan kita?"
Miko gemas dengan Rein yang belum paham dengan ucapannya itu. Miko menarik kedua tangan Rein dan menggenggamnya erat. "Apa harus gue tanya, lo mau nggak jadi pacar gue biar lo tambah ngerti?"
Rein mengalihkan pandang. Selama hidup 25 tahun dan berkali-kali berhubungan, dia baru kali ini bertemu dengan lelaki yang cukup rumit seperti Miko. Apa salahnya Miko menembaknya dari dulu-dulu? Jadi, Rein tak menebak-nebak hubungan mereka seperti apa.
"Gue cewek, Mik. Gue juga butuh kejelasan. Nanti kalau gue anggep kita pacaran dikira gue baper."
Miko terkekeh mendengar jawaban itu. Dia menarik kepala Rein dan mendekatkan ke dadanya. "Bagi gue perhatian, tindakan dan semua hal yang kita laluin udah cukup kalau kita lebih dari sekedar teman."
"Tapi tetep aja, gue kan takut baper doang."
Rein melepas pelukan Miko, menatap lelaki itu dengan senyum tipis. "Lo cinta sama gue?"
Miko hanya terdiam, menatap tepat ke maik mata Rein. Perlahan Miko menarik napas panjang, kemudian mengungkapkan perasaannya. "Cinta, Rein. Gue cinta sama lo."
Napas Rein seketika memburu. Jantungnya terus berdegup lebih cepat dan aliran darahnya seolah berlarian. Wanita itu sangat bahagia. Dia langsung lupa dengan masalah yang sedang dia hadapi. "Gue juga cinta sama lo, Mik!" jawabnya tegas.
Rein memeluk Miko dan menyandarkan kepala di pundak lelaki itu. "Ngomong-ngomong lo nggak romantis ya nembak gue di mobil," ucapnya setelah mendengar mesin mobil yang masih menyala itu.
"Haha." Miko terbahak Dia menunduk dan mencium puncak kepala gadis itu. "Meski nggak romantis, lo tetep suka, kan?"
Rein mengangguk, sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Dia menegakkan tubuh lalu menjauh dari Miko. "Suka, sih."
"Kok sih, Hun?"
Pipi Rein memanas mendengar panggilan baru Miko untuknya. "Tapi gue lebih suka sama lo."
"Hahaha! Gue suka cewek yang bisa gombal kayak gini!" Miko memeluk Rein dan mencium puncak kepala gadis itu dengan gemas.
***
Pukul dua belas malam, Lean baru sampai di parkiran apartemen. Dia menyandarkan tubuh di sandaran mobil saat kepalanya terasa berat. Entah kenapa malam ini begitu melelahkan. Tadi saat manggung, dia beberapa kali menahan diri untuk menguap.
Usia menyandarkan tubuh sejanak, Lean memutuskan turun dari mobil. Dia ingin cepat-cepat sampai kamar dan bergelung di atas ranjang. Lean berjalan sambil mengucek mata.
Saat berjalan ke arah lift, dari kejauhan Lean melihat Rein berdiri di depan lift sambil senyum-senyum sendiri. Lean menggeleng, baginya Rein cukup aneh. Lean mempercepat langkah kemudian berdiri di sisi lift. "Bahagia banget sampai senyum-senyum sendiri."
Rein yang sedang mengingat momen di mobil bersama Miko tadi seketika mendongak. Dia melihat Lean berdiri bersandar di tembok sebelah lift. Senyum Rein seketika terhenti dan bibirnya tertarik menjadi garis lurus.
"Apaan, sih, lo gangguin gue aja. Pergi lo!!"
Satu alis Lean tertarik ke atas. "Pergi? Gue mau ke unit gue."
Rein mengalihkan pandang. Dia memilih menatap pintu lift yang masih tertutup daripada makhluk tampan di sampingnya. Kenapa sih gue harus ketemu Lean?
Tring!!
Pintu lift terbuka, Rein berjalan lebih dulu dan berdiri di sebelah kiri. Lean kemudian masuk dan memilih berdiri di pojok sebelah kanan. "Lantai delapan, Rein," pintanya.
"Ya tahu."
Rein memencet angka delapan setelah itu memencet angka sepuluh. Sambil menunggu, dia bersandar di tembok kaca. Seketika dia tersenyum, mengingat momen tidak romantis saat Miko menembaknya. Gue udah jadian sama Rein.
Diam-diam Lean mencuri pandang ke arah Rein. Dia mendapati gadis itu kembali senyum-senyum sendiri. Perlahan Lean mendekat dengan senyum miring, lalu dia memukul pundak Rein hingga gadis itu tersentak.
"Ihh!!"
"Lagian senyum-senyum sendiri. Lo nggak gila, kan?" tanya Lean sambil memperhatikan Rein saksama.
Rein mendengus, Lean lagi-lagi mengganggunya. Dia menoleh sambil melipat tangan di depan dada. "Enak aja lo ngatain gue gila. Gue lagi bahagia, tahu."
"Aneh ngeliat lo senyum-senyum sendiri gitu. Biasanya wajah lo kan judes banget."
Tring!
Rein ingin menjawab ucapan Lean, tapi suara pintu lift membuatnya mengurungkan niatnya. Rein menatap Lean yang berjalan ke depan kemudian berdiri di hadapannya.
Tangan kanan Lean terulur ke tombol lift dan memencet tombol tahan. Dia sedikit menunduk hingga wajahnya sejajar dengan wajah Rein. "Apa yang bikin lo bahagia?"
Rein mengalihkan pandang, heran dengan Lean yang ikut campur kehidupannya, tak seperti dulu yang terkesan cuek dan tidak saling bersinggungan. "Gue udah jadian sama Miko. Udah deh keluar sana!"
Tubuh Lean terdorong oleh Rein. Dia berjalan mundur sambil terus menatap Rein. "Miko? Dia playboy. Lo kok mau aja jadian sama dia?"
"Bukan urusan lo," jawab Rein sebelum pintu tertutup.
"Ati-ati patah hati, Rein!!"
Usai berteriak, Lean berbalik ke apartemennya. Dia cukup kaget mendengar ucapan Rein barusan. Jadian dengan Miko? Lean cukup mengenal Miko, temannya satu SMA dan pernah ikut les musik dengannya. "Kita lihat gosip ke depannya bakal gimana, Rein!"
Di dalam lift, Rein terngiang teriakan Lean barusan. Dia tahu Miko playboy, tapi dia mencintai lelaki itu. "Terserah Miko playboy atau enggak. Yang penting gue cinta."
Tak lama kemudian pintu lift terbuka. Rein berjalan keluar dengan langkah ringan. Dia tak mudah terpengaruh dengan ucapan Lean. Ini pilihan hatinya, dan Rein akan mengikuti pilihan itu.
Saat sampai apartemen, dia melihat sebuah buket bunga tergeletak di pintu. Rein mengambil bunga itu dan tidak menemukan nama si pengirim. Pasti dari Miko.