Aku tak pernah memahami, mengapa sebagian orang-orang perancis tak mau berbahasa inggris. Mereka tetap bersikeras memakai bahasa mereka, tak peduli jika lawan bicara mereka apakah orang Perancis atau bukan.
Dua hari berlalu setelah semua kejadian di jalanan kota. Diarka tak melakukan kontak dengan siapapun selam tiga hari. Singkatnya aku disemunyikan oleh Diarka di rumah sakit ini. Dia datang sesekali, menanyakan kondisiku pada dokter lalu pergi begitu saja tanpa ada penjelasan sepatah katapun.
Di hari ketiga, Diarka mulai bicara padaku. Menurut dokter yang disuntikkan ke tubuhku, semacam cairan yang bisa membuat janin berhenti tumbuh dan meati. Cairan lain yang hendak dimasukkan ke darahku, adalah darah berisi sel kanker. Jika itu berhasil dusuntikkan, pasti aku akan terinfeksi kanker darah. Jika itu masuk ke darah, maka bisa dipastikan aku juga akan terkena kanker darah dan mungkin hanya bertahan kurang dari tiga bulan.
Sangat beruntung, Diarka kembali dan mencegah semuanya terjadi.
Aku teringat pada praia itu. Pria yang mencoba menyuntikkannya padaku. Pada akhirnya cairan itu malah masuk ke dalam darahnya. Bisa kubayangkan apa yang terjadi pada pria asing itu. Jika darahnya sama, maka ia tak akan mati karena pengumpalan pembuluh tapi karena kanker darah.
Mungkin saat ini, ia harus menjalani kemoterapi. Sementara aku, hanya harus menjalani cuci darah agar darahku benar-benar bersih.
Dokter mengizinkanku pulang hari. Diarka mengontak Jacob secara diam-diam. Ia menjelaskan tak ada yang boleh tau apa yang sudah terjadi padaku. Diarka ingin memastikan apakah, orang-orang penyerang itu suruhan dari pihak dalam atau murni kriminal jalanan.
Malam itu, kamera pengintai dibelakang dimatikan bebeerapa saat. Aku bergegas masuk ke dalam rumah dan bersembunyi di sebuah kamar kosong tak terpakai.
"Tetaplah disini, sampai seseorang menemukanmu besuk pagi. Saat di tanya jawab saja, anda memang bersembunyi di kamar itu karena ketakutan. Buatlah alasan, seolah tak terjadi apapun pada anda."
Jacob menutup pintu. Dan memerintahkan agar CCTV kembali dinyalakan. Aku mulai memakai selimut dan tidur dalam gelap. Dalam tidurku, ada ketakutan tersendiri.
Aku memimpikan seorang anak menuntutku karena aku tak bisa menyelamatkannya. Rohnya hidup. Tapi tubuhnya kaku terbujur disampingku. Rohnya berusaha mengambil nyawaku sebagai ganti agar tubuhnya yang membeku itu bisa dibangkitkan.
Pagi hari, seorang pelayan membuka pintu. Ia berteriak meamastikan apakah aku ini manusia, atau hantu. Teriakannya mengumpulkan semua orang di rumah ini. Saat ku lirik kaca, wajahku memang sedikit pucat, di tambah pakaian putih yang kupakai, membuat siapapun bertanya. Hantu atau manusia.
Arna memberanikan diri, menyentuh wajahku. Dan ia memastikan aku ini memang benda hidup.
Setelah tiga hari tanpa kabar, hari ke empat mereka menemukannku tertidur di kamar kosong yang tak pernah terpakai sebelumnya.
Sungguh ini sebuah kejanggalan, menurut Tuan Servine. Ditambah lagi, aku tak mengalami apapun selama aku menghilang.
Frada, ikut bergabung dengan kami, setelah Jacob mengabarinya. Ia berlari sambil menangis. Dipeluk kencang-kencang tubuhku sambil berulang kali mengucapkan, "Oh My God!". Ia menagis di pelukannku. Aku meminta maaf padanya, karena hanya bisa bersembunyi saat ia membutuhkan bantuanku.
Kujelaskan pada Frada, aku tak punya keberanian cukup untuk menyampaikannya pada Tuan Dan Ny. Servine. Sehingga aku memutruskan mengurung diri sampai hari ke empat.
"Where's the necklace?"
Frada menyadari, aku tak memakai kalung hadiah darinya.
"It's a problem?"
Ia tersenyum dengan senyuman terbaikknya. Ia tak pedulikan kalung itu. Ia hanya peduli pada ku. Ia menanyakan, bagaimana aku bisa berada di kamar itu? Apakah sesuatu terjadi padaku? Ia Tanya berkali-kali. Namun jawabanku, masih tetap sama. Konsisten.tak ada yang berubah.