Bulan Ke enam, perut ini mulai kelihatan besar.
Dengan keadaanku saat ini, yang bisa aku lakukan setiap hari hanya duduk di dekat pantai, tanpa boleh mendekat ke air sama sekali. Aku terus melihat orang berlalu-lalang. Tak sedikit dari mereka adalah pasangan kekasih. Mereka terlihat seperti tak canggung bermesraan di keramaian.
Hari ini pun sama. Ficaso memebeli minuman dingin untukku. Aku duduk di salah satu bangku di bawah pohon membelakangi sisi pantai.
"Reveline?! Reveline Exodious?" Seseorang pria aneh mendekatiku.
Aku merasa tak mengenalnya. n.
"Kau kah itu?", tanyanya lagi. Ada orang Indonesia yang mengenalku di sini. Tapi aku tak bisa mengidentifikasi siapa orang ini sama sekali.
Merasa heran dengan logat Indonesianya, aku mulai meliriknya dengan antisipasi penuh.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Dalam kecanggung ini, diam-diam aku melihat ke Ficaso dan berteriak memanggilnya. Namun pantai sedang ramai, jadi sekeras apapaun aku berteriak, tetap saja ia tak akan mendengarnya.
Pria yang berdiri di depanku memiliki kulit cokelat gelap, rambut sedikit berantakan. Dia terus mendekatiku serta memperhatikan perutku yang besar.
"Ficaso? Apa itu nama suamimu?", tanyanya.
"Bukan! ", aku memberinya kode agar tak mendekat lagi.
"Aku tak mengenalmu. Pergi dan jangan cari masalah denganku! Aku bisa saja berteriak dan polisi yang bersepeda itu akan datang dan menagkapmu!"
Bukannya pergi. Ia malah duduk di bagian ujung kursi. Aku menoleh ke Ficaso. Ia masih tak bergerak dari antrean es-nya disana. Ia buka kacamatanya. Dari sini aku bisa melihat bahwa matanya berwarna cokelat.
"Perhatikan aku, sungguh tak ingat aku?"
Aku menggeleng.
"Baiklah, biar kubantu mengingat. Namaku adalah Carl Ferduson Louis", ia mengulurkan tangannya padaku.
Sontak, aku berteriak lebih keras mendengar nama itu disebut. Jelas pria ini, bukan dia.
"Ficaso!"
"Hei hei dengar, aku Carl. Kau ingat?~Kita pernah makan di restaurant jepang?" , katanya memaksakan ingatanya padaku.
"Tidak!,Carl mati dalam kecelakaan pesawat dan mayatnya tak pernah di temukan sampai sekarang. Lagi pula, kau tak seperti Carl yang kukenal! Tidak! Dan cukup pergilah!", ujarku padanya dengan sedikit membentak.
Ia malah tertawa mengeluarkan sesuatu di dompetnya.
"Lihatlah!"
Itu identitasnya dulu. Dia menceritakan padaku, bahwa ia selamat dari tragedi itu. Tapi siapa tahu ia adalah pencuri yang kebetulan menemukan identitas Carl.
"Dengar, mungkin aku berbeda. Aku yakinkan bahwa aku Carl Ferduson Louis. Secara teknis aku mati. Atau aku sengaja menunjukkan pada dunia bahwa aku telah mati. ", tegasnya lagi.
Aku menggeleng, "Tak mungkin. Harus ada penjelasan logis untuk semua ini!"
"Jika dalam 5 menit kau gagal menjelasakan siapa dirimu, aku pastikan kau akan menghabiskan hari-hari indahmu dipenjara."
Pria di depankku tertawa. Ia mulai membuka mulutnya.
"Saat itu aku tak bisa menghubungimu. Alfon yang mengangkat teleponnya. Aku sampaikan, aku akan pulang cepat. Tapi hari itu. Ruekhiyya mendatangiku. Dan menyadarkananku bahwa aku tak boleh pergi begitu saja. Apalagi untuk alasan yang memetingkan egoku."
"Siapa? Berhentilah membuatku bingung tuan tak dikenal!"
"Ruekhiyya, biar kujelaskan padamu, siapa dia."
"Saat menuju Kanada waktu itu. Aku duduk bersebelahan dengannya di pesawat. Namanya Ruekahiyya. Kami bercerita banyak selama perjalanan. Menyadari, ia wanita yang baik, kami memutuskan untuk saling berhubungan selama di Kanada. Aku seperti mendapat pencerahan darinya. Tiap perkataannya, gerakannya dan ide-idenya memandang dunia. sungguh luar biasa.
Ia begitu halus, cerdas, pandai berbakat, cantik. Dia tak egois dan rendah hati. Ia sangat sempurna. Ia selalu begitu sopan. Asal kau tahu, ia membuatku bingung harus memilihmu atau memilihnya. "
Aku mulai mengerti siapa Ruekhiyya ini.
"Aku atau Ruekhiyya? Sepertinya aku tahu wanita macam apa yang sedang kau bicarakan ini." kataku.
"Jangan salah paham Revelin, bagiku kamu sama berharganya dengannya."
Aku memberikan senyuman sinisku padanya.
"Sama berharganya?", selaku tak tahan mendengar kata-kata Carl. "Aku bahkan tak mengenalmu begitu dekat. Bagaimana kau bisa bilang aku sama berharganya dengan Ruekhiyya?"
"Reveline maafkan aku. " kata Carl.
"Cukup! Kita sudahi pembicaraan ini! Pergilah dariku! Dari awal aku tak ada perasaan apa pun padamu. Kau tak perlu minta maaf."
"Apa?! Jadi Ruekhiyya benar? Ia bilang kau hanya memanfaatku? Jadi itu benar"
Aku semakin tak paham dengan orang aneh ini. Harusnya aku yang marah bukan dia. Ibunya menganggapku pembunuh karena ia tak pernah pulang dari Kanada.
Aku harus temukan cara untuk membuatnya pergi. Aku mencoba mencari Ficaso. Di sisi lain jalan ini seorang wanita bermata biru melihat ke arah kami dengan tatapan tajamnya.
Diakah Ruekhiyya? Tanya ku dalam hati.
Aku melirik Carl. Ia masih mencoba bicara padaku. Otakku yang cerdas bisa membuat kesimpulan bahkan meski ceritanya belum selesai.
"Carl! Biar kulanjutkan ceritamu!", tantangku padanya.
"Diakah Ruekhaiyya?" Kataku sambil menunjuk ke-arah wanita berbaju super santun di seberang.
Carl menatap ke arah yang aku tunjukkan. Kedua pasang mata it bertemu.
"Benar", Carl mengkonfirmasi.
"Ia memberitahumu semuanya? Paham, pandangannya pada mu? Kau terkesima atau bisa ku bilang kau kagum dan mengira dia benar untuk segala hal. Lalu, hari itu kau meleponku dan memastikan, apakah yang dia katakan tentangku benar atau tidak.
Jika aku tak salah menarik kesimpulan, kau kecewa karena Alfon yang bicara bukan aku? Jadi kau putuskan keluar dari pesawat. Kau pergi dan mencari wanita itu. Tentu saja, ia ada di bandara untuk menantikanmu. Atau lebih tepatnya, menunggumu dan merencakan suatu hal yang besar.
Sayang sekali, wanita itu ternyata adalah seseorang yang cerdas dengan sekelompok orang lain dibalik kedoknya. Dengan kau kembali padanya, itu sama saja dengan kau mendukung rencana besar mereka.
Tak berapa lama, kau mengira kau jatuh cinta padanya. Kau akhirnya memutuskan menikah dengan Ruekhiyya. Menikah dengannya berarti masuk ke dalam kelompok mereka.
Tak kusangka, aku bisa bertemu dengan sekelompok teroris di tempat seindah Perancis. Memalukan! ", kataku mengakhiri percapakan ini.
Aku berdiri dan segera menjauh darinya. Ficaso melihat pria yang duduk di sebelahku itu.
"Siapa?"
"Teroris!", jawabku asal pada Ficaso. Ia heran mengapa aku bisa bicara seperti itu. Aku terus berjalan tanpa menoleh dan berharap Carl tak mengikutiku.
Aku masih tak percaya, semudah itu kah seseorang berubah pikiran. Yah, setidaknya dia tak meninggal seperti yang diberitakan. Atau sebenarnya aku lebih ihklas ia meninggal seperti dalam berita.
Toh hidup pun juga percuma, sama dengan mati. Keluarganya tak ada yang tahu, ia masih hidup. Ditambah, ia bukan hidup untuk sesuatu yang benar. Hidup demi ambisi orang lain.