Chereads / Sebuah Kesepakatan (Dealing With) / Chapter 27 - Serangan Siang Bolong

Chapter 27 - Serangan Siang Bolong

Aku kembali ke rumah dengan keadaan sangat kesal.

Aku tak pernah menyangka, semua hal ini terjadi padaku. Apakah tidak ada orang lain yang lebih pantas menerima cobaan ini selain aku?

Aku menghela nafas dalam-dalam. Aku mulai berfikir, apakah ini karma?

Carl Ferduson, aku harap kita tak pernah bertemu sama sekali.

Aku akui, aku bukan kucing manis yang bisa membuat pria jatuh cinta dan tergila-gila padaku. Mungkin, aku harus belajar dari para pelakor.

Tapi merebut pria dari wanita lain, itu bukan gayaku. Lagi pula, aku bukan wanita serendah itu. Aku mendapat hidup ini dari Tuhan. Maka Tuhan yang akan bertanggung jawab akan hidupku.

Di rumah ada beberapa baju baru yang sudah menunggu untuk dicoba. Nyonya Servin terlalu boros menurutku. Ia terlalu banyak uang, sehingga barang-barang tak pentingpun tetap di beli.

"Kenapa kau tak menyukainya?" tanya Nyonya Servin padaku.

Aku hanya membeku tak tau harus bilang apa. Aku hanya masih kesal dengan apa yang menimpaku.

"Reveline, kau baik-baik saja?" tanya Tuan Servin. Ia menyadari ada yang berbeda denganku.

"Tak, apa jika Reveline tidak suka, aku bisa mengembalikannya ke toko", kata Nyonya Servine kepadaku.

Aku segera tersadar, dan mengamati baju-baju itu. Aku hanya mencoba mengendalikan pikiranku sebisa mungkin.

"Aku akan mencobanya, terimakasih." , jawabku.

Nyonya Servine tersenyum dan menyerahkan beberapa pakaian padaku.

Semuanya terlihat mahal. "Kau harus terlihat tetap cantik dan menawan meski sedang hamil. Apa pun, kau adalah ibu dari cucuku. Aku tak akan berusaha memberikan hal terabaik untukmu Saat dia lahir aku juga tak akan menyembunyikan fakta bahwa kaulah ibunya."

Aku hanya tersenyemum mendengar ucapan nyonya besar.

Aku berjalan ke kamar dan mencobanya di ruang ganti. Ada kaca besar di sana. Ficaso menunggu di luar. Arna menemaniku mencoba baju ini. Bagiku tak bagus sama sekali. Harga mahal tapi tak cocok dengan gayaku.

Harganya selangit, namun kualitasnya tak begitu bagus. Saat aku mencobanya brosnya jatuh.

Aku menunduk untuk mengambilnya.

Tiba-tiba cermin di depanku pecah. Sesat, memang terdengar sesuatu menembus jendela kaca. Selang lima detik, aku mencoba bangkit namun, suara tembakan malah menghujani ruangan ini. Aku dan Arna berusaha menghindan sebisa mungkin.

Di luar Ficaso menggedor-gedor pintu. Ia mendengar suara tembakan itu. Aku bersembunyi di pojok agar tak tampak bayanganku sama sekali dari jendela kaca. Aku menunduk ketakutan. Siapa yang mereka incar? Apakah aku? Atau para Servin?

Aku melirik Arna. Arna ada di sisi lain menangis sejadi-jadinya. Ia ketakutan setengah mati.

Tak berselang lama, tembakan mulai berhenti. Arna mencoba berdiri, berjalan ke arahku.

"Madam, are you OK?", teriaknya padaku.

Saat ia merangkak, tembakan kembali datang. Tangan kanannya terkena luka tembak. Ia terbaring kesakitan. Darah mulai membanjiri lantai. Aku tak berani mendekatinya. Perutku terlalu besar dan membuatku sedikit sulit bergerak.

Dalam keadaan ini, Ficaso membawa beberapa petugas keamanan pribadi kami. Mereka berhasil mendobrak pintu. Ia datang dan langsung menarik tanganku.

"Anda baik-baik saja?"

Aku hanya mengangguk dalam ketakutanku.

"Kita harus keluarkan Nona dari sini." perintahnya pada salah satu dari mereka.

Beberapa para petugas keamanan, segera mendekati jendela dan mencari dengan teliti dengan senapan penjang di tangan mereka. Salah satu dari mereka mencoba membantuku keluar.

Senanapan panjang, aku bahkan tak pernah tau jika petugas keamanan di rumah ini memiliki senjata seperti itu. Mereka bukan petugas biasa.

Tak berselang lama, terdengar sirine polisi datang. Mereka segera menuju ke ruangan kami. Beberapa mengevakuasi Arna untuk dibawa ke ambulan.

Polisi segera mengamankan TKP. beberapa berlari menuju rumah seberang asal tembakan itu.

Sepertinya seseorang, menembak dari rumah di seberang. Beberapa saat kemudian, seorang polisi memberikan laporan. Ia memastikan bahwa rumah di seberang adalah rumah kosong tak berpenghuni.

Rupanya, orang-orang itu sudah lari. Jadi, apakah para polisi itu terlambat? Atau para penembak jitu itu adalah seorang yang ahli melarikan diri?