"Jadi Kau tahu lagu ini?", tanya si nenek dengan mata berbinar-binar.
" Itu Amazing Grace.:
Nenek itu tertawa lagi. "Benar! Kau bisa menyanyikannya?" tanyanya lagi.
Kali ini aku hanya tertawa. Nenek itu meminta seniman itu bernyanyi sambil memainkan biolanya. Dia adalah anak perempuan seumuran 8 tahun dengan rambut panjang.
Anak itupun segera menyanyi. Di ikuti nenek tadi menyanyi.
"Amazing Grace, how sweet the sound,
That saved a wretch like me....
I once was lost but now am found,
Was blind, but now, I see.
T'was Grace that taught...
my heart to fear.
And Grace, my fears relieved.
How precious did that Grace appear...
the hour I first believed.
Through many dangers, toils and snares...
we have already come.
T'was Grace that brought us safe thus far...
and Grace will lead us home."
Setelah selesai. Nenek itu memberinya tepuk tangan. Ia kembali melihatku.
"Kita pernah bertemu?", tanyanya. Sementara sang seniman cilik memainkan lagu lainya.
"Tidak", jawabku.
Ia mengangguk-angguk. Seorang pria datang membawakannya minum. Dua gelas. Ia memberikannya pada ku satu. Aku menolaknya tapi dia memaksaku.
Aku menyeruputnya. Dingin sekali. Melegakan tenggorokan. Pria tadi hanya mematung di sampingnya dengan membawaknnya coat dan shal.
" Yang ini bagaimana apa kau tahu?", tanyanya padaku.
Aku mencoba mendengarkanya. Perlahan-lahan. Aku ingat.
"Walauku tak dapat melihat" jawabku. Dan dia senang sekali.
" Katakan, siapa namamu?", tanyanya sambil bernyanyi nyanyi.
" Reveline."
"Nama lengkapmu?"
"Revaline Exodious."
Dia masih tersenyum dan tersenyum lagi.
" Sepertinya nama itu taka asing. Di mana aku mendengarnya?"
Aku hanya tersenyum dan meneguk minuman ini lagi. Ia masih sibuk dengan lagunya.
" Tinggal dimana?", tanyanya lagi.
Aku tersenyum, "Jauh nek."
" Siapa tadi namamu?", ia bertanya lagi.
"Revaline Exodious." Jawabku.
Ia bernyanyi lagi. Tiba-tiba bertanya lagi, "Kerjanya apa?"
Kali ini aku tak bisa menjawab. Aku hanya tersenyum lagi dan kembali meminum minuman ini. Ia tahu apa maksudnya. Lagi pula saat ini aku memang tak ada pekerjaan. Setidaknya belum.
Aku melirik jam besar di taman. Sudah hampir jam 6 sore. Aku harus pergi. Mengingat ini hampir malam. Aku berpamitan pada nenek dan mengucapkan trimaksih untu k minumannya.
"Kenapa buru-buru? Masih sore, bawa mobilkan?", tanyanya.
"Naik kendaraan umum Nek"
"Baiklah hati-hati ya. Revelin Emerdus?", katanya
Ku balikkan badanku dan kubenarkan.
"Reveline Exodious"
Nenek itupun melambaikan tangannya.
Ku lanjutkan pencarianku ke tempat lain. Setelah naik busway sekali. Aku turun dan kembali berkeliling mencari tempat tinggal murah. Tak terasa ini sudah hampir dua jam aku berjalan.
Mondar-mandir. Kebanyakan mereka menginginkan untuk pembayaran kos untuk jangka minimal satu semester. Bukan satu bulan. Walupun di bawah satu juta tetap saja, jika harus membayar satu semester itu hampir lima juta. Lalu aku akan makan apa setelah itu?
Aku baru ingat ini adalah hari minggu. Orang terakhir yang aku temui tadi memberi saran: "Jika tak punya uang tidur saja di masjid atau gereja."
Kalau tidak salah ini, adalah daerah dekat gereja yang biasa aku datangi saat hari minggu. Tapi kebaktian pasti sudah dimulai setengah jam yang lalu. Biasanya aku tak melewati gang-gang kecil karena datang dengan mobil. Kali ini berbeda, aku datang dengan jalan kaki. Lewat gang-gang sempit sambil mencari suaka baru.
07.15 Malam. Pintu gerbangnya sudah ditutup. Semua orang sudah ada di dalam. Sepertinya ini sudah sesi renungan. Aku membuka gerbang dan menutupnya lagi. Terlihat satpam penjaga berdiri, namun saat ia melihatku, ia kembali duduk.
Aku mengintip dari teras sebelum melangkah. Semua orang diam sambil sesekali tertawa. Aku penasaran apa yang sedang mereka dengarkan. Karena tergesa-gesa aku sampai tersandung di tangga. Aku mencoba bangun. Saat ku coba untuk bangun aku mendengar suara pendeta itu berkotbah.
"Ada banyak orang yang menyatakan diri baik. Mencintai Tuhan apa adanya. Dengan segenap hati dan segenap jiwanya. Tapi apakah semua itu benar? Mereka bilang hidup dalam Tuhan. Mengasihi dan melayani bahkan memberikan contoh. Tapi apakah semua itu benar?
Sebut saja Revaline Exodious, namanya sering di sebut-sebut akhir-akhir ini. Ya, seorang wanita yang selalu duduk paling belakang. Dia selalu datang dengan senyuman, cinta dan berbagai sumbangan.
Siapa sangka, ia adalah pembohong yang paling keji yang pernah kita semua lihat.
Dia sumbangkan banyak uang. Tapi ia dapatkan uang tersebut dengan tidak benar. Ia suap pemerintah agar bisnisnya bisa berjalan. Ia tipu berbagai pengusaha agar mau turut dalam sekolahnya. Tapi itu hanya untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.
Lucy Far benar-benar sudah memakainya dengan luar biasa. Adakah diantara kita yang mau hidup seperti orang itu?"
Tanya pendeta itu pada jemaat yang ada. Semua jemaat tertawa. Pendeta itu menyampaikan kotbah tadi engan lucunya. Sehingga semua orang tertawa.
"Saudara-saudara. Marilah kita hidup benar. Benar benar benar bukan benar tapi tidak benar!", lanjutnya.
Aku sadar betul. Bahwa dalam hal ini, aku kalah telak. Mereka percaya bahwa aku bersalah. Bagaimana tidak? Kenyataannya kami memang harus menanggung semua akibat dari apa yang terjadi.
Kalau boleh jujur, ini sangat mengecewakan. Pertama kami kalah. Kedua efeknya bisa sampai kebangkrutan. Walaupun tanpa bukti, kami tetap saja salah. Ketiga, tak ada yang mau mempercayai kami. Bahkan Pendeta itu pun tidak. Sepertiny , aku tak perlu masuk untuk dengarkan kotbah hari ini. Ini semua tentang aku.
Aku berdiri meninggalkan pelataran. Aku buka gerbangnya dan keluar dengan perlahan. Kali ini ada seorang anak duduk di trotoar. Sambil membawa biola. Ini anak yang tadi di taman.
" Apa kau lakukan di sini?", tanyaku padanya.
"Aku ingin mendengar cerita mereka."
" Kenapa tak masuk saja?"
"Tidak mungkin. Aku hanya memakai sandal jepit, tubuhku agak kotor. Aku pernah mencoba masuk. Namun salah satu dari mereka mengusirku. Aku beruntung, pendeta itu bersuara cukup keras, jadi aku selalu bisa mendengarkan dari sini."
Aku sering kemari tapi tak pernah tau ada gadis ini. Bahkan aku tak pernah tau kalau orang seperti dia tak boleh masuk hanya karena kotor. Ia dengan bahagia mendengar semuanya dari luar. Dunia ini sangat jahat.
Perjalananku ku pun berlanjut. Dalam kebingungan dan kelaparan. Aku berhenti sejenak membeli makanan. Hanya sepotong kue. Uang harus ku hemat. Aku mulai melanjutkan perjalannku. Kali ini aku naik KRL. Entah apa yang ku pikirkan. Aku ingin menemui Fianka.
Setelah turun di stasiun terdekat. Aku melanjutkan perjalanan dengan ojek pangkalan di sekitar. Untuk masuk ke perumahan tak ada lagi kendaraan. Namun di depan sini kau tak boleh masuk jika tak di kenal. Aku putuskan meninggalkan KTP sebagai jaminan.
Saat ku tiba di rumah super mewah, seorang scurity mendatangiku. Ia ingin mengusirku.