Chereads / Sebuah Kesepakatan (Dealing With) / Chapter 18 - Berbaring Menunggu Kematian

Chapter 18 - Berbaring Menunggu Kematian

Sebagai penghuni baru. Ny. Servine menyarankan ku untuk mengenal lebih dekat rumah mewah istananya ini. Ia mengantarku berkeliling. Ada dapur, ruang musik, perpustakaan juga kolam renang out door.

Di lantai dua dekat kamarku ada kolam renang indor yang hanya di peruntukkan bagi tamu dan pemilik rumah.

Di kamarku sendiri, ada pintu yang langsung mengarah ke kolam renang indoor. Ada sebuah toilet dan baiknya lagi kamar ini menggunakan sensor sidik jari dan screening wajah. Ficaso, salah satu kepala pelayan di sini mengambil sidik jari dan fotoku untuk di masukkan data.

Walaupun kamar ini terkesan classic namun sebenarnya modern. Dengan ini tak ada seorangp un yang bisa masuk kecuali aku. Pelayan bisa masuk hanya saat aku berada didalam saja.

Ficaso menunjukkan padaku bagaiman cara kerja pintu di kamar ini dan sistem keamanannya apabila hal buruk terjadi. Semuanya terhubung dengan baik. Aku juga meminta tolong pada Ficaso untuk mengambil foto kalung yang kumiliki diam-diam. Namun Ny. Servin menyadarinya.

"Jika kau ingin menjualnya secara secara daring. Urungkanlah.! Saat suamiku berpamitan tadi, ia membisikkan suatu pertanyaan dari Jacob. Dari mana kau dapatkan kalung itu?. Pemiliknya aslinya terdaftar atas nama Juan De Clorresine. Saat brankasnya hilang, Batu Mermaid Tears juga hilang. Tak mungkin temanmu itu membelinya mengingat batu itu tak pernah dijual bukan?"

Aku langsung mengurungkan niatku untuk menjualnya secara legal.

Akan ku coba cara illegal setelah ini.

"Dari banyak ruangan yang ada di sini masing-masing memiliki sersor gerakan tubuh. Jika ada orang yang tak di kenal datang, maka sensornya akan menyala diam-diam dan kemamanan akan langsung datang. Jadi Kau tak perlu khawatir walaupun kau sendirian"

Tuan Ficaso menjelaskan dengan sangat detail untuk hal ini. Benar-benar rumah impian. Di depan kami ada seseorang pria menunggu Ny. Servin. Ia menghentikan langkah kami. Ny. Servin menghampirinya dan berbicara dengannya beberapa saat. Aku tak mau jadi penghalang.

Kulanjutkan tour ku sendiri dengan Ficaso yang mengantarku. Ny. Servin bilang Ficaso akan membatu menjagaku. Atau lebih tepatnya menjadi pelayanku. Sepertinya lebih tepatnya mata-mataku.

ku tiba pada sebuah ruangan yang cukup aneh baunya. Seperti obat di rumah sakit. Ada tiga ruangan di dalamnya. Dua di kanan satu di kiri. Dengan lorong kecil di sana. Aku mencoba melihat apa isinya. Satu berisi perlatan medis. Satu berisi meja dan obat seperti di apotik dan satu lagi tertutup korden.

Ada seorang wanita duduk di sana. Walaupun tak jelas aku bisa mengintip dari celah korden itu, ada seorang pasien yang sepertinya sekarat didalamnya.

"Namanya Gold Alfadice Servin" , seru Nyonya Servin dari belakangku .

Ia memegang pundakku dan membuat kaget diriku. Sebaiknya tak kulakukan kegiatan mengintai dari balik kaca.

"Tak apa, jika aku jadi kau, aku juga akan melakukan hal yang sama.", sambungnya sambil membuka pintu.

Wanita yang tadi duduk kini bangkit berlari memeluk Ny. Servin.Wanita cantik secantik malaikat , berambut pirang denagn mata hijaunya. Sangat jernih tinggi dan bekulit putih. Ia menangis di pelukan Ny. Servine dalam bahasa yang tak kukenal.

Bahasanya terdengar indah seperti bahasa Spanyol. Seumpama harpa ajaib yang bisa bernayanyi. Membuat siapapun akan terlena dibuatnya,

Tak lama Ny. Servin mengenalkanku.

" Reveline, she had helped me, I had told you Remembe?"

Wanita itu langsung memelukku sebentar sambil mengusap air matanya.

"Frada Lucinous Martha nice to see you." ujarnya.

Ia tak mampu bicara bahasa kami rupanya. Segera setelah berkenalan, Ny Srvine bicara beberapa kata. Frada tersenyum sambil mengusap air matanya dan pergi. Ny. Servine membawaku masuk ke dalam ruangan.

"Itu menantuku satu-satunya. Italiano. Yang terbaring di sana, Anakku."

Ny. Servine menjelaskan padaku.

"Ia sekarat sejak setahun lalu, setelah satu bulan menikah dengan Frada. Saat bulan madu tiba-tiba Gold pingsan. Kami mencoba membawanya ke rumah sakit. Tapi keadannya makin memburuk, setelah enam bulan kami putuskan merawatnya di rumah. Tapi ia malah tak tambah baik.

Matanya terpejam terus. Frada syok berat. Ia sedang hamil dua mingu saat itu. Tentu saja hal tersebut mempengaruhi kandungannya dan berakibat keguguran. Tiga bulan lalu kami coba bayi tabung, tapi Frada stress berat. Ia juga keguguran untuk yang ke dua kalinya"

" Aku turun prihatain." sahutku.

"Tak apa, tadi dokter Mettaretz Salahudin datang mengatakan mungkin ia tak akan bertahan sampai tahun depan. Kami sudah pasrah."

"Andaikan aku bisa membatu Ny. Servin.", kataku berbasa-basi.

Dia hanya tersenyum dengan sedikit air mata sambil memandangi ankknya. Ia ualangi kata-kataku.

"Andaikan saja."

.