"Gue harap lu gak ngancurin persahabatan kita Yun!" ucap Winda tegas dan pergi meninggalkan Yuna yang menatap kepergian Winda dengan raut sedih yang mendalam atas ucapan sahabatnya itu
Yuna menghela napas ia menunduk memijat kepalanya yang sakit dengan kedua tangannya sebelum ia memutuskan kembali melihat keadaan Dera. Yuna berjalan dengan tatapan kosong, saat di depan pintu ruangan Dera ia terpaku beberapa saat ketika mendengar suara tawa yang berasal dari dalam ruangaan tersebut. Walau pun awalnya ragu Yuna tetap memberanikan dirinya untuk masuk ke dalam ruangan tersebut.
"NGAPAIN LO DISINI!" kedatangan Yuna membuat semuanya terdiam sedangkan Dera yang sudah sadar berteriak dengan lantang mengusirnya. Yuna hanya terpaku di tempatnya, menerima makian Dera dengan membisu.
"NGAPAIN MASIH BERDIRI DISANA. PERGI!" usir Dera lagi. Marsha mendekat ke arah Dera dan mencoba menenangkannya.
"Der, lu masih sakit jangan teriak teriak," ingat Marsha.
Tak perduli Dera masih tetap berteriak dengan lantang. "PERGI GUE BILANG PERGI!" Dari ketiga sahabatnya yang berada di sana hanya Marsha yang bereaksi membujuk Dera agar lebih tenang sedangkan Winda yang juga berada disana menatap Yuna datar seakan Yuna pantas mendapat perlakuan tersebut. Berbeda dengan Divo yang mencoba mendekat ke arah Yuna untuk membawanya pergi dari sana.
"Yun, yuk keluar," ajak Divo penuh hati-hati.
"LO PUNYA KUPING GAK SIH? PERGI!" teriak Dera kesekian kalinya.
Gadha yang sedari tadi tak bersuara dan menonton kejadian tersebut mencoba menghentikan Dera. "Der kamu gak—"
Namun Dera segera memberikan pembelaan dengan berkata, "Aku mau dia pergi Yang. Aku gak mau ngeliat dia disini. Dia pasti ada maksut lain disini." Terdengar nada merengeknya kepada laki-laki itu.
"Yuk Yun." Divo kembali membujuk Yuna dengan menarik sahabatnya itu.
•••
Di sebuah cafetaria terlihat sepasang sahabat sedang duduk berhadapan dengan raut yang terlihat lesu dan sedih. Salah satunya menatap dengan khawatir sedangkan yang dikhawatirkan semakin terlihat menyedihkan dengan wajah murung. Dengan hati-hati yang mengkhawatirkan tersebut bertanya, "Jadi, kenapa Dera bisa semarah itu sama lo?" tanyanya.
"Div Gu—"
"Apa lu ngelakuin hal yang lu bilang waktu itu ke gue Yuna?" tanyanya memotong penjelasan yang akan diungkapkan Yuna yang terlihat mengkhawatirkan tersebut.
"Gak div. Gue gak ngelakuin hal apapun. Gadha yang datang nemuin gue beberapa hari ini," jelas Yuna yang mungkin udah kedua kalinya dia menjelaskan hal yang sama kepada sahabatnya.
"Apa ada hubungannya dengan kecelakaan Dera?" curiganya.
Yuna menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia mengacak rambutnya prustasi. Pertanyaan Divo kini terdengar menyudutkannya.
"Lo gak percaya sama gue? Lo nyalahin gue? Lo mau ngasih tau gue, kayak Winda? IYA?!"
"Bukan—"
"Terus apaaaa?"
"Sekarang kalian nyalahin gue. Kemarin waktu gue kecewa, marah, kalian kemana? Kalian gak taukan hati gue gimana? Gue butuh support bukan cuma kata sabar! Gue butuh dukungan dari kalian, bukan kalimat sok menguatkan. Gue butuh solusi. Tapi kalian nganggap ini hal biasa! Apa cuma DIA yang harus dingertiin? Terus? Gue gak perlu dingertiin?" Yuna pun meneteskan air matanya yang tak bisa ia tahan lagi.
"Gu ... gue gak sanggup Div. Gue harus apa Div? Semuanya nyalahin gue! Sekarang lu mau nyalahin gue juga? Kenapa gue yang salah disini Div?" tanya Yuna dengan lirih.
Yuna menutup wajahnya yang penuh air mata dengan kedua tangannya.
"Kalau kalian gak percaya sama gue. Oke ... gue aja yang mundur dari persahabatan ini. Makasih waktu Enam Tahun ini. Permisi!" ucapnya yang meninggalkan Divo sendiri, memutuskan pergi karena yakin mereka semua telah pergi dari sisinya atau mungkin sebenarnya tidak pernah ada di sisinya selama ini.
•••
Seorang perempuan yang terlihat memakai baju putih berdiri di depan rumah Yuna. Wajahnya terlihat khawatir karena beberapa hari yang lalu mendengar sebuah kabar buruk. Ia mencoba mengetuk rumah Yuna, mencari keberadaan sahabatnya itu.
'Tok tok tok'
"Assalamualaikum?" salamnya dengan suara yang agak keras.
Pintu langsung dibuka oleh Ibu Yuna, perempuan berumur 40-an itu tersenyum dengan ramah karena mengenali sesorang tersebut. "Walaikumsalam," jawab Ibu Yuna.
"Tante, Yuna nya ada?"
"Ada Evna." Seseorang itu adalah Evna. "Masuk ... masuk ... langsung aja kekamar nya ya?" Ibu Yuna mempersilahkannya masuk.
Karena cukup sering datang ke rumah sahabatnya itu, Evna tak perlu dituntun Ibu Yuna. Ia yang hapal letak kamar Yuna langsung masuk ke dalam kamar Yuna yang terkunci. Ia melihat sebuah selimut menutupi seluruh tempat tidur terlihat Yuna sedang bergelung di dalamnya, Evn pun mengetuk pintu kamar Yuna pelan walau dia sudah masuk nyelonong terlebih dahulu.
'Tok tok tok'
"Masukkk," teriak Yuna.
"Yun?" panggil Evna yang berdiri di depan kasur Yuna dengan bersedekap.
Yuna yang sedang beregelung di dalam selimut, langsung membuka selimutnya dan melihat siapa gerangan yang memanggilnya itu. Saat tau itu Evna. Ia langsung terduduk.
"Udah pulang lu dari asrama?" tanya Yuna dengan mata berbinar, perasaan sedihnya tertutup oleh kedatangan Evna. Ia berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan ke lemari lalu mengeluarkan snack yang ada di lemarinya.
"Iya, waktunya pulang kan hari sabtu, demi lo gue langsung kesini," jelas Evna yang menunjuk pakaian seragam putih yang ia kenakan.
"Demi gue atau demi Dera?" tanyanya dengan sarkas.
Evna tak menggubris pertanyaan Yuna ia malah mengambil snack ciki yang di berikan Yuna padanya. Lalu memerintah, "Ceritain!"
Yuna pun langsung menceritakan yang terjadi. Mengalirlah cerita Yuna semuanya. Dari awal cerita Gadha nanyain dia sampai Dera kecelakaan. Dan tak lupa ia juga menceritakan saat mereka di rumah sakit, saat Dera mengusirnya. Juga ia menceritakan Winda yang menuduhnya dan Divo yang sudah tidak percaya lagi padanya.
"Owhhh gituuu," angguk Evna sambil menikmati snack ciki yang diberikan Yuna.
"Hmm," gumam Yuna.
Evna meletakkan snack itu diatas nakas. Ia menatap Yuna dengan lekat. "Gue percaya sama lo. Tenang, lo gak sendirian, gue di sini ada untuk lo. Dan lo gak perlu ngundurin diri, emang kita ada kerja sama apa, sampe lo ngundurin diri? Kita ini sahabat Yuna, bukan rekan kerja," ucap Evna.
"So, perbaiki semuanya. Walaupun bukan salah lu. Kita sahabat Yun. Masalah lu masalah gue. Gak ada yang gak perduli sama lo. Kita semua perduli tapi dengan cara yang beda-beda. Gak semua orang suka sama lo dan artinya gak semua orang setuju dengan cara pemikiran lo!" lanjutnya.
Yuna mengangguk-angguk seolah setuju dengan apa yang dikatakan Evna.
"Tapi, gue mulu yang ngalah Naa—"
"Eits, mana Yuna gue yang selalu rendah hati, sabar, pengertian dan suka mengalah?" potong Evna.
Yuna melenguh, bahunya turun dengan lesu. "Na orang sabar itu ada batasnya—"
"Siapa bilang?" potong Evna lagi.
"Kata orang, ikhlas itu belum menjadi ikhlas kalau masih disebut-sebut namanya. Begitu juga sabar, sabar gak akan jadi sabar kalau ada batasnya, right?" lanjutnya.
•••
Biasanya hari minggu pagi adalah hari di mana Yuna mempunyai waktu untuk bersantai-santai dan melakukan hal yang diinginkannya. Tapi tidak untuk hari ini. Pagi-pagi sekali ia sudah bangun subuh tanpa balik tidur lagi. Dam kini ia sedang bersiap-siap ke Rumah Sakit menjenguk Dera.
"Maa, Yuna pergi dulu kerumah sakit jenguk Deraaa," teriaknya. "Assalamualaikummm," pamitnya dan langsung melajukan mobilnya.
Sebelum sampai di Rumah Sakit. Yuna memutuskan untuk mampir terlebih dahulu di toko buah yang ada di pinggir jalan menuju Rumah Sakit, ia membeli parcel buah untuk Dera. Setelah membeli parcel Yuna melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit.
Di rumah sakit Yuna berjalan dengan gugup menuju kamar inap Dera. Rumah sakit terlihat lebih ramai karena banyak yang hendak rawat jalan atau hanya mengecek keadaan. Kakinya berhenti didepan kamar inap Dera yang beberapa waktu lalu ia diusir di sana. Di pegangnya gangang pintu dengan erat lalu perlahan terdengar bunyi pintu yang dibukanya.
'Ceklek'
Sayangnya orang yang Yuna cari sudah tidak ada. Hanya ada seorang perawat sedang membereskan kamar tersebut. Perwat itu menoleh dan menghentikkan kegiatannya dengan menghampiri Yuna.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan ramah.
"Sus, penghuni kamar ini yang kecelakaan tiga hari yang lalu kemana ya sus?" tanya Yuna.
"Owh sudah pulang mbak, barusan saja," ucapnya.
"Owh makasih kalau begitu saya permisi Sus." Yuna berjalan keluar kamar lalu menutup pintu kamar inap tersebut.
Yuna menenteng parcel buah yang dia beli menuju parkiran. Ia harus menyelesaikan semuanya hari ini, itu tekadnya. Namun sebuah suara memanggilnya. "Yunaaa?" teriak seorang yang ternyata laki-laki itu.
•••
Yuna menatap degan tatapan mengintimidasi lelaki yang berada di hadapannya ini, baru beberapa minggu yang lalu Yuna bertemu dengannya. Sekarang, laki-laki ini sudah menampakkan dirinya kembali di kota ini.
"Kenapa? Lu mau nyalahin gue juga?" tuduh Yuna.
Erno menaikkan sebelah alisnya. "Weizzz jangan ngegas gitu dong qaqaaa," godanya.
"Soo? Kenapa lu disini?" tanya Yuna.
Erno memainkan sendok yang ada didepannya. "Duh, lu napa sih? Emosiannya kok kumat. Laper?" tanyanya.
Yuna memutar kedua bola matanya. "Dah ah ... kalo gak penting, gue pergi aja banyak yang mau gue urusin," ucap Yuna yang mulai kesal. Tetapi Yuna tak jadi pergi karena laki-laki itu datang bukan berniat menghakiminya atau tidak mempercayainya lagi.
Kedunya memutuskan pergi dari sana, dan Yuna dengan pasrah ikut pergi dengan mobil Erno. Setelah meminta salah satu orang kepercayaan Ayahnya untuk mengantarkan mobilnya kembali ke rumah.
"Disini udah kaya di Jakarta aja deh Yun. Macet!" keluh Erno.
Yuna hanya diam, menatap ke luar jendela tanpa menghiraukan ucapan Erno.
"WOOII!" teriak Erno.
Yuna yang terkejut akibat teriakan Erno yang tiba-tiba, langsung tersadar dari lamunan khayalnya dan mengelus dadanya.
"Paan sih! Ini juga, kok lama banget nyampenya," omel Yuna.
"Lu ngomel gitu kayak mak-mak keilangan anak tau gak?"
"GAK!" bentak Yuna.
"Gini gua kasih tau," Erno mempraktekkan aksi Yuna saat mengomel, dengan memonyongkan bibir hitamnya dengan lebay.
"Gak lucu!"
"Siapa juga yang ngelucu wuuuuuu,"
sorak Erno.
•••
Yuna berjalan dibelakang Erno. Sejujurnya ia ragu untuk datang kerumah Dera. Bukan karna ia takut. Tapi ditolak itu sakit. Sakit banget.
"Cepet dong Yun, lelet banget lu jalannya," omel Erno.
Yuna mempercepat jalannya dengan kesal. Setelah berdiri disamping Erno. Erno memerintahkan Yuna untuk membuka pintu rumah Dera. Dengan melotot ke arah Erno ia pun membuka pintu rumah sahabatnya itu.
'Ceklek'
Dan sebuah pemandangan yang ada di depan matanya saat ini membuat ia sangat terkejut hingga tak bisa berkata-kata.
•••
Bersabar adalah caraku
Mengalah adalah keinginanku
Membenci itu mau mu
Tapi memaafkan itu yang terbaik untukku dan untukmu
-Yuna Resya Tirka
•••