Orang tua Arvita boleh bangga karena putri kesayangannya lulus dengan nilai terbaik dan tidak mengulur waktu lama untuk menyelesaikan masa kuliahnya. Bahkan Arvita sudah bisa mulai merubah penampilannya, walau karakter tomboi tersebut masih melekat pada dirinya.
Arvita baru saja tiba di rumahnya, masuk dengan kesal dan menghempaskan dirinya ke salah satu bangku ruang tamu. Melempar tas kerjanya dengan kesal, rambutnya yang sangat panjang dan ia cat berwarna cokelat terkuncir dengan amat tinggi.
Arvita yang masih merasa kesal, mengeluarkan kemeja pink-nya. Dari rok sepan hitam yang cukup ketat di pinggulnya. Setelahnya membuka blezernya dan melempar asal ke salah satu bangku yang kosong.
Rohimah pun muncul dari arah belakangnya, kaget dengan jadwal pulang putrinya yang lebih awal dari biasanya. "Vita? Lo udah pulang?" Tanya Rohimah.
"Ya nyak.. Babe dimana nyak?"
"Jangan bilang lo di pecat lagi?" Tebak Rohimah, dan sangat yakin ketika Vita tidak mencoba memberikan alasan padanya.
"Kali ini bukan di pecat Nyak.. tapi Vita mengundurkan diri." Ucap Vita kesal.
"Vita...Vita... lo kenapa sih. Lo udah dua puluh enam tahun, tapi masih aja kelakuan kaya anak SMA." Rohimah mulai histeris kembali.
"Nyak, asal nyak tau ya. Vita dapat bos tuh kurang ajar banget. Otak mesum deh!!" Ucap Arvita kemudian bangkit dari duduknya. Kembali ia mengingat kejadian beberapa jam lalu.
***
Beberapa jam yang lalu di kantor:
"Pak Satrio, ini notulen dari hasil rapat kemarin pak. Saya sudah kirim email ke semua peserta yang hadir, termasuk bapak. Dan ini hard copy-nya." Ucap Arvita menyerahkan salinan kertas, dengan hati-hati ia meletakkan di atas meja atasannya.
"Arvita..." Panggil Satrio, sesaat sebelum Vita membalikkan badannya.
"Ya pak? Apa ada yang salah dengan notulennya pak?"
"Enggak, kamu buatnya sudah bagus banget. Ada yang mau bapak bicarakan dengan kamu." Ucap Pak Satrio tersenyum ke arah Arvita.
"Bicara apa pak?"
"Ngomong-ngomong kamu bekerja disini sudah hampir enam bulan ya? Kalau Bapak perhatikan, kamu berangkat dan pulang kerja selalu sendiri?" Tanya Satrio masih dengan senyum anehnya.
Pria yang berusia hampir sama dengan ayahnya, menatap Arvita dengan tatapan liarnya. Matanya mulai meneliti Arvita dari ujung rambut hingga ujung kakinya.
Arvita tumbuh menjadi seorang wanita dewasa yang cantik, dengan postur yang cukup tinggi. Ukuran badan yang proporsional, tentunya membuat mata lelaki keranjang akan tergoda.
"Memang kenapa Pak? Kalau saya pulang sendiri?" Tanya Arvita.
"Itu artinya kamu belum punya pacar ya, biasanya wanita diusia kamu ini sudah pada menikah loh." Jelas Satrio, keluar dari meja kerjanya dan duduk di tepi meja kerjanya. Saat ini jarak antara dia dan Arvita sangat dekat.
"Gimana kalau saya yang antar kamu, berangkat kerja dan pulang kerja saya bisa antar kamu." Sebuah senyum nakal tersirat pada wajah pria tersebut.
Tangannya mulai aktif memegangi lengan Arvita, matanya mulai berkedip berkali-kali. Sedangkan lidahnya ia julurkan sesekali juga, seakan sedang menatap hidangan yang menggiurkan.
"Maaf pak, tapi bapak kan ada istri bapak? Memangnya istri bapak tidak marah kalau bapak antar pergi dan pulang saya?" tanya Arvita dengan sebuah senyum yang dipaksakan, kini ia sudah tau kemana arah pembicaraan pria tersebut.
"Aahhh... mengenai itu? Kita kan bisa diam-diam aja.. Ngumpet begitu." Jelas Satrio dengan gaya bicara yang dibuat kekanak-kanakan.
Arvita langsung saja meraih tangan Satrio, bukan untuk memeluk atau membalas dengan sebuah kemesraan. Tapi langsung saja ia mengcengkram erat seraya membuat plintiran yang cukup menyakitkan.
Satrio seketika langsung memekik kesakitan, tidak hanya sampai disitu. Arvita langsung saja membanting pria paruh baya tersebut dan terhempas di atas lantai kerja yang keras.
Satrio semakin menjerit kesakitan, dengan posisi tertelungkup. Arvita sudah menekan punggung Satrio dengan dengkul kanannya, tangannya masih mem-plintir dan mengunci sehingga pria paruh baya tersebut semakin menjadi dengan terus memekik sakit.
"Bapak ini sudah tua, masih aja doyan jajan!!! Inget pak umur bapak itu sudah tua. Tinggal nunggu ajal, bukannya banyakin pahala malah banyakin dosa!! Kalau bapak mau saya antar ke neraka.. ayoo saya antar sekarang juga" Teriak Arvita.
Beberapa karyawan yang sadar dengan keributan mulai mengetahui kondisi yang tidak kondusif, Arvita tampak tidak peduli dan masih mengumpat kesal pada pria paruh baya tersebut.
"Bapak pikir saya ini perempuan APA!!! Saya ini masih punya harga diri PAK!! Bisa-bisanya bapak goda saya di tempat kerja!! Bapak tau gak, saya bisa tuntut bapak secara HUKUM!!"
Tidak lama dua petugas keamanan tiba, dengan sekuat tenaga mencoba memisahkan Arvita dan pimpinan mereka yang sudah tidak kuat menahan sakit.
Setelah berkutat cukup lama, puas dengan berbagai umpatan yang ia lampiaskan. Arvita keluar dari gedung dengan berjalan bangga.
"HAAHHH.... DASAR KAKEK M**UM!!!
***
Arvita menghabiskan makan malamnya dengan tiga piring nasi, beserta lauknya. Rojali dan Rohimah menatap bingung secara bergantian.
Rohimah baru saja membuka mulutnya, berusaha untuk berkomunikasi dengan putrinya. Tapi tangan Rojali sudah memegangi tangannya, menandakan agar Rohimah tidak mulai berdebat lagi dengan putrinya.
Arvita berdahak cukup nyaring, setelah menghabiskan segelas air putihnya. "Duh.. makan malam buatan enyak hari ini enak banget.. Mantapp..." Puji Arvita berlebihan.
Rohimah memandangi dengan prihatin, "Bang..." Senggol Rohimah pada suaminya.
"Sssttt... biarin aja..." Jawab Rojali pelan.
Arvita bangkit dari duduknya, dan mulai mengambil beberapa buah sebagai pencuci mulutnya. "Vita, lo mau kemana? Istirahat dulu?" Tanya ibunya dengan rasa simpati.
"Vita mau latihan bentar ya beh, badan Vita gak enak nih." Jawab Vita.
"Lo kan baru makan, jangan terlalu berat ya latihannya." Ucap Rohimah kembali. Dan Arvita pun langsung saja pergi meninggalkan kedua orangtuanya yang masih terus menatap bingung.
"Duh bang, perasaan Imeh jadi gak tenang begini. Apa Imeh salah ya, suruh dia jadi sekertaris. Ini udah tiga kali Vita keluar dari kerjaannya." Ucap Rohimah sedih, setelah melihat Arvita sudah menghilang dari ruang makan.
"Yahh... gimana meh. Nasi udah jadi bubur yahh sekarang tuh bibir harus dimakan juga kan."
Rohima memandang bingung maksud peribahasa yang diutarakan oleh suaminya..
"Sekarang ini Pita udah gede. Biarin aja dia mikir dulu, baik dan buruknya gimana. Kita sebagai orangtua jangan terlalu maksain kemauan kita sama anak. Kita sekarang dukung aja Pita maunya apa, selama itu positip."
"Iya bang bener... tapi Vita bang bukan Pita."
"Positif bang, bukan positip.."
Rohimah menyeka air matanya yang sedikit, seraya menggeser kursinya untuk bangkit. Rojali memandangi istrinya yang sudah terlihat tidak sedih.
"Nah, lo sekarang mau kemana meh?" Tanya Rojali, melihat istrinya sudah beranjak dari duduknya.
"Imeh, mau nonton sinetron dulu bang. Cinta yang tertukar, Lagi seru bang ceritanya." Jawab Rohimah.
"Ya ampun meh... demen banget nonton begituan. Lagian ada aja, cinta pake ketuker-ketuker segala. Baju kali ketuker... Arrgghh... payah dah." Protes Rojali.