Arvita merasakan tetesan keringatnya mulai bermunculan, matanya berusaha untuk tidak menatap lurus. Tapi bukankah sangat aneh dan lucu jika dia terus berusaha menghindar dari sebuah tatapan yang mematikan.
Benjamin Arman Dirk Eugenius, pria itu memberikan tatapan terbaiknya. Tidak ada sedikitpum senyuman yang diberikannya, yang ada hanya sebuah mulut yang terlalu kaku untuk digerakkan oleh pria tersebut.
Arvita sudah menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh Hidayat, pertanyaan standar yang sudah biasa ia hadapi pada saat wawancara kerja.
Hidayat menggaruk-garukkan kepalanya, karena hampir semua pertanyaan sudah diberikan olehnya. "Pak Armand?" Panggil Hidayat dengan ragu.
"Apa ada lagi, yang ingin anda tanyakan?"
Armand merapatkan kedua tangannya, tampak berpikir sambil melihat Arvita yang masih canggung.
"Pertanyaan yang sama yang akan saya berikan pada semua orang yang saya wawancara hari ini." Ucap Armand.
Arvita menegakkan tubuhnya, menelan ludahnya. Dan kembali fokus dengan pertanyaan yang akan dilontarkan oleh Armand.
Arvita berusaha tersenyum, berharap Armand tidak memberikan pertanyaan yang terlalu sulit untuknya.
"Nona Arvita.."
Armand sudah siap dengan pertanyaannya, wajah Arvita semakin menegang.
"Apa yang akan anda lakukan, jika saya meminta anda untuk melakukan sesuatu?"
"Ha... melakukan sesuatu?" Ucap Arvita bingung, Hidayat mengusap-usap kedua tangannya tiba-tiba merasakan ruangan itu menjadi sangat dingin.
"Apa yang akan anda lakukan? Pilihannya adalah, menembak mati saya dengan sebuah pistol? Atau membiarkan saya jatuh kejurang."
"HAAA?? Pertanyaan macam apa ini?" Batin Arvita mulai kesal.
Apakah ini sangat relevan dengan pekerjaannya saat ini. Apakah ini yang dimaksud dengan tidak berprikemanusiaan, yang diucapkan oleh si wanita berkemeja biru sebelum dirinya?.
Arvita kembali tersenyum, walaupun tangannya tergenggam dengan erat. "Kenapa anda memberikan pertanyaan seperti ini Pak Armand, saya pikir..."
"Apa yang anda pikirkan saat ini tidak akan berguna, kalau anda tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Mudah bukan? Anda jawab pertanyaan saya, dan berikan alasannya."
"Tapi kalau memang anda tidak mau, saya juga tidak akan memaksakan. Anda bisa keluar dari ruangan ini, dan silahkan permalukan diri anda sendiri dengan kegagalan yang anda buat tanpa sebuah usaha maksimal.
"Hahh...." Dengus Arvita kesal, pria yang tidak pernah berbicara lebih dari satu paragraf ini. Akhirnya dengan sombong berbicara dengannya. Dan dengan sombong mencoba menunjukkan kehebatannya di depan Arvita yang tampak seperti seorang pengecut.
"Pengecut??? Arvita Desi Mawarni Cahya bukanlah seorang pengecut. Gue bakal buktiin kalau gue bisa jawab pertanyaan konyol seperti itu." Batin Vita dengan emosi yang meledak-ledak.
"Baiklah Pak Armand, saya akan menjawab pertanyaan anda..." Arvita menekankan pernyatannya, dadanya semakin ia busungkan dengan bangga. Hidayat terkejut dengan perubahan Arvita yang tampak percaya diri.
"Apa yang akan saya lakukan? Menembak mati anda? Atau membiarkan anda jatuh kedalam jurang?" Arvita mengulang pertanyaan Armand, pria itu hanya sedikit menaikkan dagunya.
"Yang akan saya lakukan adalah ME-NEM-BAK MA-TI AN-DA."
Hidayat menahan nafasnya, saat ini detak jantungnya berdegub semakin cepat. Bergantian memandangi Armand dan Arvita bergantian.
"Kenapa saya pilih hal tersebut. Karena pilihan anda bapak Armand, pada akhirnya akan menemui kematian."
"Terlepas dari apapun itu alasannya, yang saya pikirkan adalah bagaimana membuat anda MATI bukan?"
"Jika saya membiarkan anda jatuh dijurang, apakah anda akan mati secara langsung? Belum tentu? Bisa jadi anda hanya patah tulang, itu malah membuat anda menjadi cacat seumur hidup."
"Tapi dengan menembak mati anda, saya bisa pastikan kemana pistol mengarah untuk memastikan ANDA langsung MATI saat itu juga."
"Itu jawaban saya, apa anda puas dengan jawaban saya bapak Armand yang terhormat?"
Armand langsung saja berbisik pada Hidayat yang berada disampingnya, Arvita berusaha mencuri dengar walaupun usahanya sia-sia. Tidak ada satu katapun yang berhasil ia tangkap.
Armand bangkit dari duduknya, memandangi Arvita dengan wajah datarnya. Kemudian berlalu begitu saja meninggalkan ruangan wawancara. Tinggallah Arvita dan Hidayat yang berada dalam ruangan tesebut.
Hidayat menarik nafasnya dengan panjang, sedangkan Arvita masih memperhatikan dengan seksama.
"Pak Hidayat? Apakah saya sudah selesai? Saya tau saya pasti gagal dalam sesi wawancara ini. Maaf pak sudah mengecewakan, kalau begitu saya pulang saja."
Hidayat langsung berjalan riang mendekati Arvita, menggenggam tangannya dengan penuh semangat.
"Siapa bilang kamu gagal?"
"Ahh?? Maksud bapak?" Arvita mulai aneh dan bingung.
"Kamu diterima OK. Dan besok kamu sudah bisa bekerja sebagai sekertaris Pak Armand di EG group ini. Selamat ya Arvita, tidak salah Rani merekomendasikan kamu. Saya sangat beruntung kamu datang."
Hidayat menjabati tangan Arvita dengan penuh semangat, sedangkan dirinya masih sangat bingung. Bagaimana bisa dia diterima bekerja, seorang Armand menerimanya bekerja???
***
Perjalan pulang Arvita jauh lebih melelahkan dari keberangkatannya, suasana kereta yang padat dengan para penumpangnya. Ditambah dengan banyaknya pertanyaan dan asumsi yang Arvita buat dan jabarkan sendiri.
Sampai akhirnya Arvita tidak habis pikir, kalau Armand akan menjadi atasannya secara resmi.
"Apa yang akan terjadi berikutnya?"
"Bagaimana kalau dia sedang mempermainkannya?"
"Apakah dia sudah GILA, atau memang SENGAJA menerimanya sebagai sekretarisnya?"
"Sejak kapan dia menjadi seorang CEO?"
"SIAPA DIA SEBENARNYA?"
Dan masih banyak pertanyaan yang terus bermunculan didalam kepalanya. Arvita tiba cukup sore saat itu, melangkah dengan keadaan lemas, lelah, dan lesu.
Bahkan ia menyeret tasnya, saat ia sudah memasuki pekarangan rumah. Arvita tersadar dengan beberapa sendal dan sepatu yang tidak ia kenal, samar-samar ia juga mendengar percakapan banyak orang dari arah dalam rumah.
"Isshhh.... Hari ini kan ada....."
"Vita, akhirnya kamu sudah pulang juga." Rohimah yang sadar dengan kepulangan Putrinya langsung saja merangkul Arvita, karena tau Arvita sudah membalikkan tubuhnya untuk mengambil langkah seribu.
"Mau kemana lo.." Ucap Rohimah pelan dan semakin memperkuat cengkraman bahunya.
"Eh.... enyak... Tadi Vita pikir enggak ada orang dirumah? Abis kelihatan sepi enyak." Arvita mencoba berdalih, dan meringis kesakitan dengan ibunya yang masih mempertahankan cengkramannya.
Mau tidak mau, suka tidak suka Arvita pun dengan berat melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumah. Ia benar-benar lupa dengan rencana perjodohan ini.
Tapi ada yang membuat pikirannya menjadi teralihkan, saat ia melihat seseorang yang seperti ia kenal. Seorang pria berkacamata yang pernah ia temui, dan menolongnya tadi pagi.
Sama halnya dengan Arvita, pria itu menunjukkan reaksi yang sama saat melihat Arvita yang baru saja tiba.
"Kamu..." Ucap mereka bersamaan.