Chereads / Introvert Boss & Mad Secretaries / Chapter 16 - Kekhawatiran Orang Tua

Chapter 16 - Kekhawatiran Orang Tua

Malam itu Rojali melepaskan rasa lelahnya dengan asik menonton acara tv kesukaannya, sebuah acara kuis bertemakan pengetahuan dasar dan umum. Rojali terus saja mengumpat kesal, ketika melihat salah satu kontestan yang ia andalkan tidak dapat menjawab pertanyaan yang mudah – menurutnya.

Rohimah – istrinya baru saja tiba, membawakan secangkir teh yang masih panas dan sepiring biskuit sehat. Perlahan ia meletakkan diatas meja yang berada didepan suaminya.

"Meh? Kok beginian sih? Mana tahu goreng dan bakwan kesukaan gue?" Tanya Rojali, ia memegangi satu biskuit yang pipih berwarna sangat pucat. Dengan perlahan, Rojali mengigitnya dan mengunyahnya dengan aneh.

"Apaan nih?" Tanya Rojali mengernyit aneh, "Itu namanya biskuit sehat. Abang itu kalau udah malam gak boleh banyak makan karbo! Inget kan kata dokter, katanya abang suruh diet!" Rohimah kembali mengingatkan suaminya.

"hadeuhh... Ribet banget ya!" Keluh Rojali, ia pun mengambil gelas tehnya dan mulai menyeruput tehnya dengan hati-hati. Hanya berselang satu detik, Rojali sudah melepeh kembali air teh yang sudah berada didalam mulutnya.

"IMEH!! Ini apaan sih!! Pahit banget!!"

"Abang ini dari tadi ngeluh aja!! Udah diminum aja, gak usah komentar terus. Itu teh hijau!! Bagus buat nurunin berat badan sama kolesterol abang yang tinggi itu tuh!!" Jelas Rohimah dengan melotot kesal pada suaminya.

"Gak sekalian aja lo kasi gue jamu!!" Balas Rojali lebih kesal.

"Emang abang mau minum Jamu?! Teh begini aja, abang susah minumnya! Inget bang!! Umur udah tua, jaga kesehatan. Imeh kan gak mau cepet jadi janda!"

"Iye... iye... udah ah... Lo jangan lebay begitu." Rojali pun terpaksa meminum tehnya, walaupun ia harus terus bergidik karena menahan rasa pahit.

Suara pintu rumah baru saja terbuka, Arvita muncul dibalik pintu dengan memberikan salam kepada orangtuanya. Wajahnya terlihat sangat lesu dan lelah.

"Vita... mau makan dulu enggak? Enyak udah masak tuh. Ada semur ayam kesukaan kamu." Tanya Rohimah, Arvita meraih tangan ibu dan ayahnya, mencium tangan kedua orangtuanya dengan perlahan.

"Gak deh nyak! Vita udah makan tadi, dan masih kenyang. Vita mau istirahat dulu ya.." Jawab Vita dengan lesu.

Tidak lama Arvita meninggalkan kedua orangtuanya yang masih berada diruang keluarga, Rohimah memandangi sikap putrinya dengan khawatir.

"Bang..!" Panggil Rohimah.

"Mmm..." Jawab suaminya, dan masih melihat kearah televisi.

"Abang lihat gak, anak kita. Udah satu minggu ini kelihatannya capek banget bang." Ucap Rohimah, kembali menatap pintu kamar putrinya yang sudah tertutup rapat.

"Yahh... namanya juga kerja meh. Pasti capek lah, kalau gak mau capek ya tidur aja.." Rojali menjawab asal saja, ia sedikit kesal dengan istrinya yang terus mengganggu dirinya yang asik menonton.

"Abang ini! Nonton aja tuh TV!! Imeh mau tidur aja." Ucap Rohimah dengan sewot, dan beranjak meninggalkan suaminya yang masih tidak mempedulikannya.

***

Pagi hari

Wajah Arvita sedikit lebih cerah, sepertinya ia sudah cukup dengan istirahatnya semalam. Arvita mulai mengoleskan selai cokelat pada selembar roti yang ia pegang. Saat itu yang berada di meja makan hanya Rohimah –ibunya, dan ia masih menatap cemas dan khawatir dengan putrinya.

"Babeh mana nyak?" Tanyanya.

"Pagi-pagi udah ketempat latihan, katanya ada guru tambahan yang bakal bantu babe diperguruan." Jelas Rohimah.

"Ohh....gitu."

"Nyak...!!" Panggil Arvita memandangi wajah ibunya dengan mata yang berbinar-binar. Rohimah tampak curiga dengan sikap putrinya.

"Nyak.. kayanya Arvita mau kos aja deh. Kebetulan teman Arvita ada yang tawarin, harga sewanya murah lagi."

Rohimah yang sedang meminum air putihnya, langsung saja tersedak dengan kuat.

"Huk....huk... Apa lo bilang Vit? Nge-kos? Enggak-engak! Enggak bisa." Rohimah meletakkan gelasnya dengan bunyi bug yang keras.

"Nyak, pokoknya Vita mau ngekos. Jakarta itu padat dan macet nyak. Vita pulang pergi saja sudah menyita waktu banyak." Arvita tetap bersikukuh. Rohimah masih menatap enggan, dan menutupi telinganya dengan kedua tangannya.

"Enggak, enyak enggak denger apa-apa!"

"Nyak, gak boleh gitu dong. Dengerin dulu Vita ngomong, Nyak tahu gak!!" Ucap Arvita lebih lantang.

"Nyak, bos Vita itu orangnya perfectionis!" Lanjut Vita ia mendekati ibunya, "Apaan tuh perpek... perpek..?" Tanya ibunya, tapi masih menutup kedua telinganya.

"Perfectionis itu sempurna nyak, segala sesuatunya harus sempurna. Kalau Vita kos kan, vita bisa menghemat waktu." Jelas Arvita.

"Pokoknya nyak enggak setuju!!" Ibunya semakin menentang.

"Pokoknya setuju gak setuju, enyak harus udah setuju!!" Balas Arvita lebih kesal.

***

Diibaratkan seorang pejuang yang tidak gentar melawan penjajah, agar bisa mendapatkan kemerdekaan. Tidak peduli dengan berbagai rintangan yang menghadang. Akan terus berjuang hingga titik darah penghabisan, itulah yang dilakukan oleh Arvita saat ini.

Setelah tiga hari berkutat dengan kedua orangtuanya, Arvita akhirnya berhasil mendapatkan restu dari kedua orang tuanya.

Di hari minggu itu ia dan kedua orang tuanya sudah mengepak rapi barang-barang Arvita.

Kedua orang tua Arvita juga mengantar Arvita ke tempat kos, memastikan lingkungan kos untuk putrinya layak, baik, dan aman.

"Siang, om, tante." Sapa Lidia yang sudah membuka pintu gerbang rumah. Rojali mendongak ke arah Lidia, wanita itu sangat kontras dengan dirinya yang tidak setinggi Lidia.

Mereka semua pun masuk kedalam rumah tersebut. Rohimah menatap takjub dengan rumah berlantai dua tersebut, kesan pertama kali yang ia lihat adalah terlalu bagus untuk dikatakan sebagai sebuah kos.

"Vita! Ini bener kos-san? Kok bagus banget sih." Rohimah dan yang lainnya sudah berada diruang tamu yang luas, sebuah sofa cokelat L berada disudut ruangan.

"Halo om, tante. Aku Rosa, senang tante dan om mau datang." Rosa, gadis bertubuh mungil tersebut menyapa ramah pada kedua orang tua Arvita.

Rojali dan Rohimah pun ikut tersenyum dengan sikap canggung. "Pasti mahal ya kos disini?" Tanya Rojali, sikapnya juga tidak jauh berbeda dengan istrinya yang masih menatap seisi rumah dengan kagum.

"Ohh... gak kok Om. Sebenarnya rumah ini warisan dari orang tua saya, nah karena ada tiga kamar yang kosong lebih baik saya sewakan. Dan saya sewakannya juga gak kesembarangan orang kok om." Ucap Rosa menjelaskan.

"Ya ampun, maafin tante ya. Tante gak tahu kalau kamu anak yatim piatu." Rohimah tampak bersalah.

"Gak apa-apa kok Tante, lagian orang tua saya meninggalnya waktu saya masih kecil banget. Saya besar sama paman saya di Yogya. Pas kerja, cari kerjaan dekat rumah. Dan ternyata bisa dapet deh." Ucap Rosa tampak malu.

"Yuk Vita, gue tunjukkin kamar lo ada dimana." Lidia membantu membawa beberapa barang bawaan temannya, dan Arvita mengekori Lidia.

Rosa masih terus mengajak berbincang kedua orangtua Arvita, trik yang sangat bagus untuk mendekati orang tua Arvita. Dan meyakinkan bahwa putri mereka sudah cukup dewasa untuk bisa mandiri.

Setidaknya membuat kekhawatiran Rojali dan Rohimah berkurang, karena sebelumnya mereka sudah mewanti-wanti Arvita. Jika tempat kos-san Arvita tidak memenuhi syarat, maka Arvita harus bersedia kembali kerumah.

***

Rohimah dan Rojali sore sekali sudah berpamitan dengan putrinya, tidak ada niatan dari mereka untuk membawa putrinya kembali. Mobil Carry merah tua itu pun sudah berlalu meninggalkan pekarangan rumah Rosa.

"Gimana, sedih enggak? udah enggak bareng sama orang tua lagi." Senggol Lidia, karena melihat mata Arvita seperti berkaca-kaca.

"Sedih sih.. Tapi mau gimana lagi. Armand itu bos yang tipikalnya sulit banget, untung saja jarak dari tempat ini ke kantor bisa jalan kaki, cuman sepuluh menit lagi, bisa hemat waktu juga, kan." Jawab Arvita.

Arvita dan Lidia sedang berada diruang makan yang sangat besar, sebuah meja makan dengan kapasitas sepuluh orang menjadi tempat mereka untuk bersantai.

Rosa baru saja muncul dan membawa beberapa minuman kaleng dan kudapan ringan.

"Udah ahh jangan sedih-sedih. Intinya sekarang lo bisa fokus buat kerja. Kerja sama Armand itu bukan cuman menyita waktu aja. Tapi menyita hampir seluruh kehidupan kita." Ucap Rosa, ia menarik salah satu kursi dan duduk disebelah Arvita.

"Tahu gak Vita, Lidia yang usulin kamu untuk bisa kos ditempat ini. Iya kan Lidi!" Rosa melirik kearah Lidia.

"Eee... marmud!! Lidia bukan Lidi." Protes Lidia.

"Iya, kita yakin kalau kamu orang yang baik. Seminggu ini aku dan Rosa memperhatikan cara kerja kamu loh, Vit." Lidia mulai mengangkat kedua ibu jarinya dan menyeringai senang.

"Apa itu?" Tanya Arvita bingung menatap jempol Lidia yang sudah terangkat.

"Kerja kamu bagus Vit, nih aku kasi dua jempol aku." Jawab Lidia menyeringai. Dan Arvita pun ikut tertawa.

Sudah hampir tiga minggu ia bekerja, dan mulai akrab dengan kedua teman barunya.

Rosa dan Lidia banyak memberikan masukan kepadanya, apalagi mengenai karakter Armand, bosnya yang sangat-sangat, super-super dingin, anggkuh, sombong, suka memerintah, sulit diajak berdiskusi.

Dan bossnya yang tidak mau mendengar kata "TIDAK". Termasuk tidak bisa, tidak mungkin, dan apapun yang berhubungan dengan kata tidak.

"Udah tenang aja, gue yakin hidup Lo masih panjang buat kerja sama Armand." Lidia merangkul Arvita, sambil mengunyah keripik kentang yang baru saja ia buka.