Armand seperti biasanya, selalu tiba tepat waktu dalam hal bekerja. Ia sudah berjalan dengan langkah kakinya yang bak model sejati. Hampir semua mata memandang kearahnya, ketika pria berkarismatik itu tiba di lobi utama.
Armand boleh saja pura-pura tidak tahu, tapi ia sadar dengan sikap orang-orang yang berada disekelilingnya. Kadang-kadang ada beberapa orang yang menatapnya dari ujung kakinya hingga ujung rambutnya.
Pria dengan tinggih 187cm, wajah rupawan karena ayahnya yang merupakan warga Belanda, dan postur tubuh layaknya seorang binaragawan.
"Selamat pagi pak." Sapa Arvita dengan suara lantang dan percaya diri.
"Pagi, Arvita." Balas Armand dan langsung saja ia berjalan kearah pintu kerjanya, Armand pun sudah menghilang dari pandangan Arvita.
"Hahh..." Arvita masih saja melamun, sudah hampir tiga minggu ia bekerja dengan Armand. Dan baru kali ini Armand membalas sapaannya? Arvita bahkan mencubit pipinya sendiri.
"Beneran Ini bukan mimpi,huhhh.... semoga saja terus begini."
Arvita menatap kearah tumpukan laporan yang sudah siap di mejanya. "Ahh hampir saja lupa." Ia pun meraih tumpukan map tersebut, dan langsung berjalan kearah ruang kerja Armand.
Arman, pria itu baru saja akan menekan tombol intercom-nya. Baru saja ia berniat memanggil sekertarisnya, sampai suara ketukan pintu membuat ia harus mengurungkan niatnya.
"Masuk!" Suara berat Armand menyahut, pintupun terbuka perlahan.
Untuk kedua kalinya Armand melihat wajah Arvita di hari itu, "Pak Armand, boleh minta waktunya sebentar?" Tanya Arvita dengan sopan.
"Kebetulan sekali, baru saja saya akan memanggil anda, Nona Vita."
Arvita pun masuk kedalam ruang kerja Armand, ditangannya terlihat membawa beberapa tumpukan map yang sangat tebal.
Armand masih berdiri tegap, tatap matanya tajam dan dingin melihat Arvita.
Sepertinya ini pertama kalinya Armand menatap Arvita cukup lama, semenjak wanita yang merupakan teman SMA-nya tersebut resmi menjadi pegawainya.
Arvita memiliki postur tubuh yang bisa dikatakan ideal, tingginya juga semampai. Rambutnya yang ikal dan bergelombang, dikuncir satu dengan cukup tinggi. Memperlihatkan rahang wajahnya yang mungil dan runcing.
Armand memperhatikan Arvita memang terlihat berbeda dari waktu masa SMA, saat ini ia lebih pandai memoles wajahnya. Memiliki bentuk alis yang tebal natural, dan bisa dikatakan indah. Hidungnya yang mungil dan mancung, ditambah bentuk bibirnya yang tebal. Salah satu ciri khas dari orang Indonesia, bibir tebal yang terlihat seksi.
Arvita mengenakan blouse lengan panjang dengan bentuk rampel pada kerahnya, warna merah muda serasi dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Rok hitamnya yang panjang hingga lututnya, tidak terlalu ketat sehingga mempermudah langkahnya untuk berjalan.
Dengan penampilan seperti itu, Armand yakin Arvita berbeda dengan sekertaris yang pernah bekerja dengannya. Yang hanya ingin menggodanya, atau menginginkan perhatian lebih dari Armand.
Hal ini juga yang mendasari Armand, memilih Arvita untuk menjadi sekertarisnya. Seseorang yang tidak memiliki ketertarikan kepadanya, karena Armand Benjamin Dirk Eugenius tidak suka dengan wanita yang terlalu manja, centil, tidak dewasa, bersifat anak-anak, apalagi yang tidak memiliki otak pintar.
"Pak Armand?" Panggil Arvita.
Armand langsung saja terbuyar dari lamunannya akan sosok Arvita, ia tersadar kalau ia menatap wajah Arvita sangat lama. Karena wanita itu memandangi Armand dengan keheranan.
Sampai-sampai Arvita melihat kearah dirinya sendiri. Apakah ada yang salah dengan pakaian yang ia kenakan hari itu? Batin Arvita
Arman berdeham untuk merubah suasana yang canggung, tapi sebenarnya dia sendiri yang merasa canggung dengan kehadiran Arvita dalam ruang kerjanya.
"Ya Vita, jadi kamu tadi bilang apa?" Tanya Armand,
Arvita mengerjap dengan bingung, "Saya belum bilang apa-apa pak. Apa bapak baik-baik saja?" Arvita menghampiri Armand, karena wajah Armand tiba-tiba berubah menjadi merah padam.
Arvita meletakkan tumpukan mapnya, dan langsung mendekat kearah Armand. Otomatis saja salah satu tangannya memegangi kening atasannya,
"Apa bapak sakit? Muka bapak merah sekali?" Tanyanya kembali, dan tangannya masih mendarat di kening Armand.
Armand langsung memegangi tangan Arvita dengan malu, "Saya tidak apa-apa, kamu tidak perlu bersikap seperti ini." Ucap Armand, tapi tangannya belum melepas tangan Arvita. Dan ia bisa melihat wajah jelas Arvita.
"Ohh.. Maafkan saya pak Armand." Ucap Arvita, "Tapi apa tangan saya bisa bapak lepas?" Armand langsung melepas tangan Arvita, dan kembali memasang wajah angkuhnya.
"Cepat! Saya tidak memiliki banyak waktu." Ucap Armand dengan suara beratnya.
Arvita mengambil tumpukan mapnya, kemudian ia mulai meletakkan dan menyusun map yang mulai ia susun. Ia pun tersenyum lebar pada bos-nya dengan rasa percaya diri.
"Ini dari bagian accounting, ini dari bagian humas, dan ini bagian dari marketing. Untuk jadwal bapak sampai dengan dua minggu kedepan sudah saya buat, bapak bisa lihat lagi. Kalau ada yang ingin bapak rubah, bisa infokan ke saya. Saya akan merubah sesuai dengan keperluan Pak Armand." Arvita mulai menjelaskan.
"Oh ya pak, ini menu makan siang bapak selama satu minggu ke depan. Kalau ada perubahan mendadak, bapak harus mengkonfirmasi ke saya dua jam sebelumnya, jadi saya bisa memberitahukan bagian dapur yang mengelolanya."
"Untuk hari ini bapak tidak ada pertemuan penting, tapi besok setelah makan siang. Bapak harus ingat, kalau bapak punya pertemuan penting dengan para dewan direksi. Ingat ya pak setelah jam makan siang." Ucap Arvita menjelaskan dengan terperinci.
Armand seperti sedang dihipnotis, hanya membutuhkan waktu tiga minggu. Dan Arvita sudah tahu bagaimana cara kerja yang diinginkan oleh Armand.
"Ada lagi yang lain?" Tanya Armand datar, ia masih menutupi kekagumannya atas perubahan Arvita.
"Tidak ada pak." Jawab Arvita, "Kalau begitu saya pamit undur dulu. Kalau bapak ada keperluan dengan saya. Bapak bisa panggil saya." Lanjut Arvita, ia pun mulai berjalan ke arah pintu keluar.
"Arvita." Panggil Armand, Arvita pun menoleh dengan senyuman ramah.
"Ya pak?"
"Kerja bagus, pertahankan." Akhirnya pujian itu keluar dari mulut Armand.
Hampir saja Arvita melompat kegirangan, karena pujian dari bosnya. Alih-alih ia melakukan hal tersebut, Arvita hanya melebarkan senyumannya dengan senang. Kemudia ia benar-benar berlalu dari ruang kerja atasannya.