Arvita bangun sangat pagi, wajahnya terlalu ceria membuat Rohimah memandangi dengan sikap curiga.
Rojali masih menikmati waktu paginya dengan melakukan sedikit aktifitas olahraga di pekarangan rumah mereka.
Pagi sekali Arvita sudah membantu menyiapkan beberapa lembar roti untuk sarapan pagi mereka, dan beberapa gelas yang ia susun dengan rapi diatas meja makan.
Rohimah dengan hati-hati membawa sebuah teko besar, berisikan air teh yang baru saja ia buat. Kepulan asap langsung bermunculan, saat ia sudah mulai menuangkan ke arah gelas yang sudah disediakan.
Arvita duduk dengan pandangannya yang tidak berfokus diruang makan, senyum masih saja menghiasi wajahnya. Bahkan ia tidak sadar dengan lembaran roti yang terlalu penuh dengan selai yang ia oleskan terlalu banyak.
Rojali baru saja tiba, merenggangkan kedua tangannya. Menggerakkan keatas dan kesamping, membuat pergerakan pendinginan dengan caranya sendiri.
Rojali yang tersadar langsung saja menyenggol siku istrinya, matanya mendelik ke arah putrinya yang terlihat aneh.
"Kenapa anak kita?" Bisik Rojali heran,
"Kayanya, gara-gara kemarin sore deh bang." Jawab Rohimah, mulai menarik kursi dan duduk bersebrangan dengan putrinya.
"Mmmm.... Vita...." Panggil ibunya, tapi tetap saja Arvita tidak tersadar, pikirannya entah sedang berada dimana. Kembali Rohimah berdeham, sedangkan suaminya masih memperhatikan dengan seksama.
"Jadi.. kemarin Samudra gimana? Lo suka ya sama dia.." tebak Rohimah, langsung saja Arvita memberikan respon.
"Ya enyak... suka...suka...sukam.." Arvita mengangguk-angguk. Tapi tidak lama ia sadar dengan ucapannya sendiri, "Ahh... apa sih nyak.. tau-tau nanya begitu." Arvita kembali mencoba mengalihkan perhatian kedua orangtuanya.
"Pit...pit... lo udah kaya ayam bengong tau gak. Emang bener ya... apa kata orang kalau cinta itu bikin kita kaya orang bego." Ledek Rojali dengan sengaja.
"Ihh... babe apaan sih!! Kok Vita disamaain sama ayam. Kalau Vita ayam, babe apa? Gurita?" Ketus Vita kesal.
"Yahh... babe seneng aja kalau lo ternyata gak begitu ngindarin Samudra. Anaknya babe lihat baik kok, apalagi orangnya juga bertanggung jawab." Rojali mulai memberikan pendapatnya..
"Aduhh..duh... iya babe makasih ya buat pendapatnya.. Vita paham kok. Tapi Vita sama Samudra saling kenal dulu ya beh, kalau memang jodoh juga gak kemana kan." Jawab Arvita dengan sumringah.
Arvita melirik jam tangannya, sadar dirinya terlalu lama untuk menghabiskan waktu sarapannya. Ia pun beranjak dari kursinya, mengambil beberapa lembaran roti yang telah ia oleskan.
"Udah mau berangkat sekarang Vit?" Tanya Rohimah.
"Ya enyak, Arvita berangkat dulu ya..." Ucapnya seraya berpamitan dengan kedua orangtuanya.
***
Sore sebelumnya diwaktu pertemuan.
"Aku bener-bener enggak nyangka, kalau bakalan ketemu lagi sama kamu." Ucap Samudra, pria berkacamata itu tidak sedang mengenakan kacamatanya. Berjalan pelan bersama Arvita yang baru saja ia temui, mereka saat ini tengah berada di halaman belakang kediaman Rojali.
"Sama sih mas... aku juga gak nyangka bakalan ketemu lagi sama kamu." Arvita masih saja merona dan tampak malu. Seringkali ia menunduk karena tidak percaya diri, pria itu benar-benar membuatnya menjadi luluh.
"Tapi sekali lagi, Vita mau bilang terimakasih ya.. buat semua pertolongan mas Samudra. Gak tau deh apa yang terjadi, kalau Mas Samudra gak datang buat nolongin." Arvita memamerkan senyumannya yang terlalu lebar.
"Enggak apa-apa kok Vit, aku bantu karena memang kamu harus ditolong dari pria-pria hidung belang seperti itu."
Arvita semakin merasa hatinya menjadi-jadi, meleleh bagaikan es batu yang tersiram air panas. Semakin lumer dan menjadi luluh.
"Aduhh... kok ada sih pria sebaik ini. Ganteng lagi.." Batinnya berucap.
"Mmm... mengenai perjodohan ini." Ucap Samudra kembali, menatap berhadapan dengan Arvita yang langsung tertegun. "Aku mau kita saling mengenal dulu, jangan saling memaksakan untuk harus menikah."
Arvita tersenyum dengan bibirnya yang masih tertutup rapat, sebenarnya ia sedang berpikir. Senyumannya hanya sebuah pengalihan.
"Menikah?? Secepatnya? Tidak...." Batinnya.
"Ya..." Jawab Arvita dengan volume suara yang keras.
"Ya? Ya apa?" Samudra balik bertanya.
"Ya Arvita setuju, maksudnya... Kita memang harus saling mengenal dulu, tak kenal maka tak sayang.."
***
Arvita tiba lebih awal dari perkiraannya, tersenyum puas dan bangga karena hanya ada dirinya dan beberapa petugas kebersihan yang baru tiba.
Memandangi meja kerjanya yang berkali-kali ia susun dengan rapi, Arvita menatap ke arah ruangan Armand.
Ruangan itu memiliki sekat pemisah yang cukup tebal, walaupun dilapisi dengan sebuah kaca. Tetap saja ia tidak bisa mengintip kedalam ruangan tersebut.
Arvita tidak banyak menghabiskan waktu hanya dengan melamun, mulai merapikan meja kerjanya. Pergi ke pantry untuk menyiapkan kopi untuk Armand, Arvita menatap mesin kopidan mulai berpikir apa yang Armand suka? Kopi hitamkah? Atau campuran dengan susu?
Arvita memutuskan untuk menbuat kedua-duanya, pastinya Armand akan memilih satu diantaranya. Sisanya akan sepenuhnya menjadi miliknya, Arvita tersenyum puas dengan keputusannya.
"Arvita... Luar biasa. Kamu sudah sampai disini sangat pagi. Dan ini masih pukul delapan." Hidayat tiba-tiba saja muncul dan memujinya dengan riang.
"Pagi pak, ingin segelas kopi?" Sapa Arvita sekaligus menawarkan,
Hidayat langsung saja mengangkat tangan kirinya, ada duah buah gelas cup berwarna hitam yang ia bawa. Dan ia perlihatkan pada Arvita,
"Tidak kurasa Vita, saya sudah membelinya diluar."
"Oh... sayang sekali. Padahal disini ada mesin kopi." Ucap Arvita sungguh-sungguh.
"Apa itu untuk Armand?" Tebak Hidayat melihat kearah dua gelas kopi yang baru saja dibuat oleh Arvita,
"Ya, tebakan anda benar." Jawab Arvita sedikit menyombong.
"Mmm... maaf Vita, tapi Armand tidak akan meminumnya. Dia lebih suka dengan apa yang saya bawakan." Hidayat menyeringai, dan kembali memperlihatkan barang bawaannya.
Arvita sedikit memanyunkan mulutnya, walaupun masih ada rasa kesal saat melihat Hidayat yang masih saja memamerkan deretan giginya.
"Dan tenang saja, aku akan memberi alamat tempat biasa meminum kopinya, karena nantinya ini akan menjadi tugasmu." Senyum Hidayat semakin melebar.
"Oh ya Vita, kalau kamu sudah selesai. Tolong keruang Armand sebentar ya... dan jangan lupa bawa beberapa catatan. Kita masih punya waktu sebelum jam 9, sebelum big bos kita datang." Ucap Hidayat.
"Ruangan Pak Armand, Pak? Tapi apa tidak apa-apa kalau..."
"Tidak apa-apa, banyak hal yang harus saya sampaikan kepadamu. Arvita saya sangat berharap banyak denganmu. Armand bisa dibilang seorang yang sangat introvert." Jelas Hidayat, dan berlalu meninggalkan Arvita diruang pantry.
Arvita memandang dua gelas kopinya, berpikir untuk memutuskan kopi mana yang akan ia minum. Bergantian matanya melihat antara satu kopi dengan kopi yang lain.
"Ahh... sudahlah dua-duanya saja."
Arvita segera meninggalkan ruang pantry, hari ini ia mengenakan celana panjang dan sepatu kerja yang tidak terlalu tinggi. Kemejanya yang berwarna merah muda cerah, membuatnya yakin bahwa ia bisa percaya diri dihadapan Armand.