Chapter 8 - Mencari

Seharian itu Arvita menyibukan diri didalam kamarnya, masih terpaku pada laptopnya. Beberapa laman dan situs pencari kerja, ia buka berkali-kali.

Ia juga mulai selektif mencari posisi pekerjaan sekertaris, sedikit trauma dengan apa yang sudah pernah ia alami.

Arvita menyepol rambutnya dengan amat tinggi, membiarkan beberapa helaian rambutnya mencuat tidak terarah.

Mengenakan kacamatanya yang sudah menurun hingga melewati bagian tengah hidungnya.

"Lowongan Sekertaris, memiliki pengalaman di bidang sekertaris minimal dua tahun..." Arvita mulai membaca sebuah laman pencari kerja. "Nahh... ini dia nih..."

"Menguasai bahasa asing, Inggris dan mandarin. Siap bekerja selama lebih dari sepuluh jam, siap bekerja jika dipanggil dalam keadaan darurat – walaupun pada jadwal libur." Arvita mulai tampak sinis membaca klasifikasi yang diberikan.

"Diutamakan singgle, belum menikah, Janda bisa dalam pertimbangan.. Haa....?"

"Ngacoo... nih..."

Arvita mulai menekan mouse dengan kesal, mulai mencari-cari kembali. "Coba yang ini.." Gumamnya kembali, seraya memperhatikan.

"Posisi sekertaris, minimal pengalaman tiga tahun dibidangnya, Fasih berbahasa Ingris, dan siap ditempatkan untuk bekerja di tengah perairan samudra pasifik."

"Haaaa?????!!! Lebih ngaco lagi nih!! Ngapain sekertaris kerja di lautan? Memangnya ikan duyung?"

Arvita mulai menekan tombol mouse dengan kesal, sudah seharian ini dia masih saja belum bisa menemukan pekerjaan yang cocok.

Melewatkan sarapan pagi dan jam makan siangnya, Rohimah bahkan tidak bisa memerintah putrinya untuk keluar dari dalam kamar.

Ponselnya bergetar cukup kuat, Arvita masih saja terus menatap pada layar laptopnya. Tampak tidak begitu peduli dengan adanya panggilan video call yang masuk.

Kembali poselnya bergetar, Arvita hanya sedikit melirik ke arah ponselnya. Hanya untuk mengetahui siapa yang melakukan panggilan video kepadanya.

"Kak Rani?"

Arvita segera mengambil ponselnya, dan langsung saja mengangkan panggilan video dari kakak sepupunya. Rani Nathalia, kakak sepupunya yang cantik yang usianya terpaut tujuh tahun darinya.

Kakak sepupunya, yang selalu dibanggakan oleh ibunya – Rohimah. Kakak sepupunya yang juga merupakan seorang sekertaris, karirnya berakhir dikarenakan keputusannya untuk menikah dan mengurus anak laki-laki semata wayangnya.

Arvita sedikit merapikan rambut, dan menggerakkan bibirnya secara acak. Berupaya agar wajahnya tidak terlihat semerawut dan agar tampak ceria.

"Haiii... Kak..." Sapa Arvita.

Wajah Rani yang mungil, dengan rambut hitam pendek sebahunya langsung muncul di layar ponsel Arvita. Rani terlihat berada di ruang makan, bersama si kecil Raihan yang berumur empat tahun.

Raihan terlihat duduk di kursi kecilnya, sebuah celemek bergambarkan sapi dikaitkan antara lehernya.

"Raihan beri salam dengan aunty." Perintah Rani dengan lembut pada putranya, yang sedang memainkan garpu dan sendoknya.

"Halo onti.. Ho al yu" Ucap Raihan dengan suara imut dan cadelnya.

"Haii Rai... Aunty kangen banget sama kamu.. Kamu lagi makan ya? Memang masakan mommy enak ya?" Sindir Arvita dengan sengaja.

"Tuhh.. kan mulai lagi, mangkanya kamu main-main dong kesini. Jakarta – Jogja tuh gak jauh loh Vit." Balas Rani.

"Iya ka, nanti kalau kerja Vita lagi libur. Nanti Vita main kesana ya." Ucap Vita sengaja berbohong, dia tidak mau Rani mengetahui kalau dirinya sudah ketiga kalinya keluar dari pekerjaannya.

"Lohh.. bukannya kata tante kamu udah gak kerja ya?" Rani menatap dengan curiga, ia mulai meletakkan ponselnya dengan jarak yang cukup jauh. Kali ini Arvita bisa melihat Rani yang sedang membantu Raihan, untuk menyuapi makanannya sendiri.

"Aduhh... Pasti enyak yang bilang. Enyak curhat apa lagi sama kakak?" Tanyanya sedikit kesal dan geram.

"Yahh.. wajar saja kalau tante khawatir, kan kamu putri satu-satunya. Lagian ceritanya juga kan sama kakak, bukan sama orang lain." Rani berusaha untuk bersikap diplomatis, senyum lesung pipitnya langsung ia munculkan dihadapan Arvita.

"Raihan, ayo kamu harus makan wortel ini." Perintah Rani seraya memberikan satu potongan kecil wortel pada sendok Raihan, anak laki-laki itu langsung saja menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Seraya menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Aaa... ayo Raihan bukan mulutnya." Ucap Rani dengan tegas.

"Oh ya Vita, kamu sudah dapat kerjaan baru belum?" Tanya Rani, dan Arvita hanya tersenyum malu, dan ikut menggelengkan kepalanya.

"Belum kak." Jawab Arvita lemas.

"Kakak gak tau kamu mau atau tidak dengan posisi sekertaris ini, tapi karena manager personalia-nya adalah teman kakak. Yang bisa kakak pastikan, kalau perkerjaannya jelas dan gak aneh-aneh."

Arvita menegakkan layar ponselnya, mulai tertarik untuk mendengarkan lebih detail dari Rani.

"Bos besar katany, CEO. Baru tiba dari Indonesia sekitar enam bulan lalu. Dan info dari teman, katanya sudah lima kali ganti sekertaris. Katanya cari seorang sekertaris dengan etos kerja yang bagus, jujur, dan tidak neko-neko."

"Ha?? Serius ka? Ada yang seperti itu? Tanya Arvita masih tidak percaya.

"Yahh... kamu coba ja dulu untuk interviewnya. Enggak ada salahnya kan? Nanti kalau kamu mau, kakak akan kirim link-nya. Bagaimana?"

Arvita terdiam sejenak, pikirannya sedang memproses sebuah jawaban. Haruskah dia mencobanya, atau dia menolak dan terus mencari di situs-situs pencarian kerja.

Tapi.. ini kan kakak sepupunya sendiri yang menawarkan, setidaknya ia harus mencobanya. Dan itu bukanlah masalah untuknya, kalaupun ia tidak cocok ia bisa terus mencari pekerjaan lainnya.

"Ok kak." Jawab Arvit dengan riang dan semangat.

***

Usai makan malam singkatnya, Arvita sudah tidak memutuskan untuk terus berkutat dalam kamarnya. Setelah membantu ibunya merapikan sisa jamuan makan malan, ia pun memutuskan untuk bergabung dengan ayahnya yang sudah asik dengan acara TV kesayagannya.

Arvita muncul dengan membawa sepiring kacang kulit yang penuh, duduk disamping ayahnya yang masih belum teralihkan pandangannya dari layar televisi.

"Babeh nonton apa sih?" Tanya Arvita, walaupun Rojali masih terus memandangi layar televisinya.

"Lihat tuh.. keren banget ya Pit. Pada bisa terbang, ada yang punya senjata canggih, bisa buat bom, malahan ada yang jadi monster ijo gede tuh." Jawab Rojali tanpa melihat putrinya yang masih menatap keheranan.

Rojali, menjadi penggiat acara televisi luar semenjak Arvita memutuskan untuk memasang TV kabel dirumahnya.

Ayahnya begitu takjub dengan banyaknya pilihan acara, yang belum pernah ia tonton sebelumnya.

Sebuah film Avengger, menjadi pilihan Rojali malam itu. "Ooohhh... Avengger, ini sih Vita udah nonton sepuluh kali."

"Loh kok bisa banyak?" Rojali tidak percaya.

"Ihh babeh... Vita nonton di bioskop aja udah empat kali , belum nonton di handphone. Trus sekarang sama babeh jadi yang ke sepuluh."

"Ahh... gak asik kalau udah nonton... Udah jangan bocorin ceritanya sama babeh ya.." Ucap Rojali sewot. Kembali ia sibuk menonton acara Tvnya.

"Bang, abang nonton apa sih?" Rohimah yang baru saja tiba, duduk disamping suaminya. Mulai bingung dengan suaminya yang tidak bergeming dengan kedatangannya.

"Appenjer.." jawab Rojali, dan masih tidak membalas pandangan istrinya.

"A- veng- ger beh...." Koreksi Arvita, dan menekankan bunyi setiap suku kata. Agar ayahnya dapat mengucapkan dengan benar.

"Ahhh.... sama aja." Rojali tidak peduli, Arvita hanya memanyunkan mulutnya dan mulai mengupas kacang kulitnya. Rojali pun ikut melakukan hal yang sama, mengambil beberapa kacang kulit yang berada di atas meja.

"Vita, besok kamu enggak kemana-mana kan?" Tanya Rohimah, dengan nada bicara yang sangat lembut.

"Kenapa nyak? Enyak mau belanja ke pasar ya?" Tebak Arvita.

"Enggak, besok kita mau kedatangan tamu." Rohimah tersenyum, dan tampak mencurigakan.

"Loh, memang jadwal arisan keluarga lagi?" Tanya Arvita lagi.

"Ihh... bukan arisan, besok ada tamu penting mau datang." Rohimah tersenyum manis, walaupun Arvita merasa ada yang aneh dengan penjelasan ibunya. Rohimah langsung saja menyikut suaminya yang masih asik menonton.

"Bang... Ihh... katanya mau bantu jelasin.." Ucap Rohimah ketus.

"Ehh... apa?" Tanya Rojali, dan istrinya semakin melebarkan kedua matanya dengan kesal. "Ihh yang itu bang... yang tadi imeh ceritain ke abang... Safei bang..."

"Enyak sama babeh kenapa sih?" Arvita semakin curiga, melipat kedua tangannya dengan erat dan kesal.

"Ohh itu... Enggak begini Pita. Babe kan punya teman seperguruan kan, yang deket banget dari jaman seperguruan dulu. Nah Safei itu besok sama anaknya yang cowo mau datang kerumah, silahturahmi aja, begitu ceritanya...."

"BABE!! ENYAK!!" Potong Arvita lantang,

"Kan... mulai lagi kan!! Anak laki-laki mana lagi yang mau babe sama enyak jodohin ke Vita."

"Kan udah vita bilang, vita gak suka dijodoh-jodohin. Emangnya jaman siti nurbaya." Lanjut Arvita kesal.

"Vita, umur lo ini udah cukup buat menikah. Malahan seharusnya punya anak, kalau lo cocok dan bisa lanjut menikah. Lo kan jadinya gak perlu repot cari kerja sana sini." Jelas Rohimah.

"Enyak!!! Pokoknya Vita gak mau..." Arvita bangkit dari duduknya dengan kesal, mulai membalikkan tubuhnya untuk berjalan meninggalkan kedua orangtuanya.

"Maaf ya enyak, babeh, Vita besok ada urusan. Terserah babe sama enyak mau diapain besok tamunya, yang penting Vita gak mau diJODOHIN!!!"

"Yahh.. pit..pit... mau kemana.. main pergi aja. Lagian besok kan cuman kenalan doang..." Teriak Rojali.

"Vita.. gak denger apa-apa... Vita gak denger..." Balas Arvita dari kejauhan seraya menutup kedua telinganya, dan dengan cepat masuk kedalam kamarnya.

Arvita menghempaskan tubuhnya diatas kasur, mengambil bantal dan dengan segera menutup kepalanya. Langsung saja ia berteriak kesal, serta mengumpat kasar.

Setelah beberapa detik ia melakukan hal tersebut, ia meletakkan bantal yang tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Nafasnya masih saling memburu dengan kesal, belakangan ini kedua orangtuanya sudah sering berupaya untuk menjodohkannya dengan seseorang yang belum ia kenal.

"Aaaarrrgggghhh..." Teriak Arvita kembali, dan menutupi wajahnya dengan bantal lagi.