Chereads / Introvert Boss & Mad Secretaries / Chapter 6 - Vita's Mind

Chapter 6 - Vita's Mind

Tapi sekarang aku tahu, bahwa cinta dan benci adalah saudara yang membodohi kita, memisahkan kita.

Chairil Anwar, Cinta dan Benci

Senja di Pelabuhan Kecil, karya Chairil Anwar.

"Kepada Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali.

Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya maut berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram,

Desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan.

Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenangjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Aku menutup buku bahasa Indonesiaku, setelah aku puas dan bangga karena sudah membacakan pusisi salah satu karya puisi Chairil Anwar yang terkenal.

Aku melihat wajah teman sekelasku, dan jelas sekali aku melihat mereka sedang memandangiku dengan kagum, setidaknya aku sudah berusaha untuk membacakan puisi dengan penuh penghayatan.

"Ya terimakasih Vita, Ibu gak nyangka kamu yang tomboi seperti ini, Bisa membacakan puisi seindah seperti tadi."

Aku memandang Bu Kayla, guru bahasa Indonesia dengan rambut sebahu dan poninya yang lurus. Memuji dengan sungguh-sungguh. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman yang tersipu malu, dan perlahan aku melangkah kembali ke arah kursiku.

Hatiku langsung mencelos tidak enak, ketika melihat sepasang mata menatap aneh. Pria itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Apakah dia tidak menyukai puisi yang aku bacakan?

Terserahlah BUKAN URUSANKU!!

Aku terus berusaha berkonsentrasi pada jam pelajaran, setidaknya duduk bersebelahan dengan Armand kau akan mendapatkan ketenangan dan kedamaian abadi.

Benar-benar sangat tenang dan damai, karena Armand tidak pernah berkata apapun padaku.

Padahal sudah hampir empat bulan berlalu, tapi kami seperti orang asing.

Atau....

Jangan-jangan Armand adalah seorang alien, seperti yang ada di film-film holywood yang sering kutonton dengan babe??

Ahh.. Vita. Tidak usah ambil pusing soal pria di sebelahmu. Ingat ini adalah tahun terakhirmu, kau harus lulus dengan nilai terbaik.

Ingat Sri Rohimah binti Mulyadi, mengancam akan menikahkanmu kalau kau tidak lulus atau berulah kembali dengan semua daftar hitammu yang sudah penuh tercatat.

Tidak lama bel pulang berbunyi nyaring, langsung saja aku merapikan semua peralatan tulis dan bukuku. Seperti biasa Armand sudah lebih cepat dari dirinya.

Aku harus mengakui bahwa Armand seorang yang sangat pintar, saking pintarnya sepertinya tidak ada pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.

Aku terbuyar dari lamunanku, ketika pria itu sudah bangkit dari kursinya. Dengan cepat mengambil tasnya, dan berlalu meninggalkanku yang masih tertegun.

Aku hanya bisa sedikit menggumam tanpa suara,

"Dasar aneh.."

Pikirku LAGI seraya merapikan semua peralatan buku dan alat tulisku.

Tapi tiba-tiba mataku teralihkan oleh sebuah tanda pengenal yang terjatuh di lantai, tanda pengenal yang ia yakin bukanlah sebuah tanda pengenal dari negeri tersohor ini.

Sebuah foto ukuran dua kali tiga terpampang di tanda pengenal tersebut, dan wajah Armand-lah yang berada di foto tersebut.

Aku semakin membelalak dan melebarkan pupil mataku, ketika melihat data pribadinya. Sebuah tahun kelahiran yang janggal menurutku. Usia Armand ternyata tiga tahun lebih tua dari diriku.

"Hahh ini serius?? Ini beneran Armand?"

Aku melihat nama Benjamin Arman Dirk Eugenius tertera pada tanda pengenal tersebut, barulah aku yakin kalau itu adalah Armand, siswa yang menjadi teman sebangkuku.

"Apa?? Gak salah nih? Harusnya kalau seumuran ini dia sudah kuliah bukan." Guman Vita terus memegangi tanda pengenal yang baru saja ia ambil dari lantai.

"Inggris?" Gumam Vita kembali masih terus menatap tanda pengenal tersebut.

"Lebih baik aku segera mengembalikan padanya."

Aku langsung saja berlari ke arah luar kelas, mencari-cari sosok tinggi Armand. dan langsung berlari ke arah gerbang sekolah ketika melihat mobil sedan hitam mewah yang sudah akan keluar dari gerbang. Mobil sedan mewah yang sangat mencolok sekali, dan sering kali aku melihat Armand menaikinya.

"TUNGGU..!!!" Aku berteriak sekeras mungkin, menyaingi kerasnya suara toa.

Aku mengetuk-ngetuk keras kaca mobil yang hanya terlihat hitam dari luar tersebut. Aku masih terus mengatur nafasku yang masih tersengal-sengal, dan akhirnya kaca mobil tersebut terbuka. Wajah Armand terlihat dari dalam mobil menatapku dengan tatapan yang sama.

"Ini punyamu kan.." Ucapku dengan nafas tersengal-sengal.

Langsung saja aku menyodorkan tanda pengenal tersebut, aku melihat Armand hanya sedikit bereaksi melihat tanda pengenalnya.

Dan langsung saja dia merebut dari tanganku, sedangkan aku mencoba memberikan sebuah senyuman yang aku tau pasti aneh dengan wajahku saat ini.

"Ayo pak jalan." Ucap Armand.

Aku semakin melongo kesal ketika Armand langsung saja menutup kaca mobilnya, bahkan tidak mengucapkan terimakasih atau apapun sebagai bentuk apresiasi karena aku sudah menemukan dan mengembalikan tanda pengenalnya.

"OK CUKUP VITA! GAK PERLU LAGI LO SOK BAIK-BAIK SAMA DIA!!"

Aku mulai berkeluh dengan kesal, dan mulai berjalan dengan menyeret paksa kakiku. Aku masih kesal dengan terus mengingat kejadian tersebut. Bagaimana ada orang seperti itu, dan parahnya dia menjadi teman sebangkunya. Dan aku harus bertahan hingga kelulusan tiba.

"Sabar... sabar Vita...."

"pelan...pelan... yang penting lulus..."

Aku terus bergumam. Dan mulai menaiki sepeda motor bututku.

***

Aku terus berusaha melewati hari-hariku di tahun terakhirku sekolah, terus mencoba mengabaikan teman sebangku yang aneh.

Aku merasa Armand semakin menjadi lebih diam, setelah kejadian pengembalian tanda pengenal tersebut.

Aku merasa pandangannya padaku menjadi semakin dingin dan kejam, sampai akhirnya tiba di penghujung perjuangan. Aku lulus dengan nilai yang baik, semua murid merayakan dengan perasaan senang.

Aku bahkan ikut berpartisipasi merayakan kelulusan kami dengan beberapa murid di kelas.

Tapi lagi-lagi Armand, hanya terdiam. Bahkan seperti muak dengan kondisi kelas yang terlalu berisik. Ia pun keluar dengan tergesa-gesa. Aku tau aku berusaha untuk tidak menghimbaukannya, tapi aku sadar aku penasaran dengan pria tersebut.

Bahkan di pesta perpisahan pun Armand tidak pernah terlihat, ada yang mengatakan bahwa dia sudah kembali ke negara ayahnya di Belanda. Entah itu benar ataupun tidak, memang bukanlah urusanku. Karena aku masih harus menghadapi banyak ujian di sisa hidupku.

:( :(

Aku pikir ketika kehidupan SMA ku berakhir, aku akan lebih bahagia, kenyataannya....

"Pokoknya nyak mau anak kita jadi perempuan yang bener!!"

Aku memandang ibuku yang sudah menekuk kedua wajahnya dan kedua tangannya, duduk dengan tegap seraya menyilangkan kedua tangannya, Aku hanya bisa bersembunyi di samping ayahku.

"Inget ya bang, aye gak mau Vita ambil jurusan lain!! Apalagi sekolah Atlit. Abang liat kelakuan anak perempuan kita, saban hari udah kaya anak cowo.."

Enyak masih saja memuntahkan semua kekesalahnnya. "Yahhh nyak... Kan nyak tau Vita dari awal mau sekolah..." Aku berusaha membantah.

"Gak ADA!!! Kalau lo ambil jurusan itu, nyak mau bunuh diri aja.. " Potong ibuku dan mulai mengancam.

"Kok bunuh diri si Imeh? Trus gue jadi duda dong?" Ledek Ayahku dengan sengaja. Ibu semakin menunjukkan wajah sangarnya.

"Ohh... pengen ya jadi Duda?? Biar abang bisa kawin lagi gitu..!!!" Bentak Rohimah.

"Bukan begitu Imeh..." Rojali meraih tangan istrinya.

"Kalau lo gak mau ambil jurusan sekertaris, nyak bakal kawinin loi!! Lo tau Jafar anaknya Babang Fauzi" Ancam Ibuku dengan sengaja

"Nyak!! Apaan sih Vita gak mau kawin. !!" Jawabku lebih lantang.

"Udah-udah.. Jangan pade ribut.. Pusing dengernya.. Ya udah Vita lo ambil jurusan sekertaris, babe masih ijinin kok lo pegang perguruan (Rohimah melotot kearah suaminya). Sesekali tapi yaa." Ucap Ayahku menyeringai.

"Lagian kenapa sih harus sekertaris mak? Gak ada jurusan lain apa??" Tanyaku kesal dan aku sebenarnya merasa aneh dengan titel sekertaris.

"Eh Vita.. Lo liat gak? sepupu lo si Rani. Dia juga ambil jurusan sekertaris. Anaknya cakep, pinter, dulu dia juga tomboi kaya lo. Tapi liat sekarang, behh... anggun banget dah. Gajinya juga gede, sering ke luar negeri. Dapat suami juga yang cakep berpendidikan, masa depan terjamin, mapan, rumah aja udah ada..."

Mulai deh aku mendengar ibuku berceloteh panjang, pasti ini akibat perkumpulan arisan mak-mak ribet. Yang buat ibuku jadi ngotot agar aku bisa menjadi wanita yang ia idamkan

"Ih nyak apa-apaan sih!! Anak buat coba-coba. Nyak ma babe buat anak lagi aja.." Ucapku sewot dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan kedua orangtuaku.

Dan inilah aku, Arvita Mawarni Sri Cahya. Dengan perjuangan panjang akhirnya aku mengambil jurusan Ilmu komunikasi dan Sekretaris.

Dengan segenap jiwa aku mencoba menuruti kemauan ibuku untuk bisa menjadi seorang anak perempuan yang diidamkan oleh ibuku.