aku adalah rumah bagi salah satu diantara dua hati yang tengah gelisah
-Alaska-
*********
LAX,akhir tahun 2017
"Jadi ini yang terbaik dari Tuhan?" Kala bertanya pada dirinya sendiri.
Sambil menatap boarding pass ditangannya yang tertulis Mr. Carvalho dengan penerbangan tujuan bandara CGK soekarno-hatta, kala teringat tentang percakapan antara dia dan Ameer beberapa jam yang lalu, saat mereka sedang menyantap sarapan pagi di salah satu restaurant bandara LA.
"Berusahalah untuk selalu mengambil hikmah dari setiap gejadian yang menimpamu. Lihat sisi baiknya, kau akhirnya pulang setelah bertahun-tahun berkelana"
Sudah berapa kali kala menyebutkan bahwa terkadan Ameer bisa menjadi kelewatan sok bijaksana untuk ukuran pria seusianya. "Dia bahkan tidak pernah membaca kitab sucinya, bagaimana dia bisa menjadi begitu religius" batin Kala.
Kala menelan sesendok penuh telur dadar sebelum menanggapi pernyataan ameer.
" aku tidak berkelana. Aku bekerja"
Ameer mengibaskan tangan kanan didepan wajah Kala, seakan-akan ada seekor lalat yang berseliweran disana. "Apa yang kau lakukan selama ini itu lebih dari sekedar bekerja. Jika kau bekerja, tidak mungkin selama 10 tahun kau tidak pernah pulang kerumah. Bahakan saat hari raya! Apa yang kau lakukan itu hanya dapat dikualifikasikan menjadi 2 katagori : pertama kau berkelana, kedua kau melarikan diri."
"Makan pancake mu. Nanti dingin!" Kala berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ameer paham bahwa kala tidak ingin melanjutkan pembahasan ini, tapi Ameer sudah kehabisan waktu. Hampir 7 tahun mereka berteman, dan setiap hari bertemu saja Ameer bahkan tidak dapat menggeser satu inci pun batu pengahalang dalam hati Kama, dan sekarang mereka akan berjauhan maka kesempatan itu akan semakin menipis. Jadi disisa-sisa waktu mereka bersama sebelum kala memasuki pesawat yang akan membawanya pulang ke Indonesia, Ameer berusaha menanamkan doktrin kebaikannya dengan harapan akan sedikit saja menggeser batu itu. Ameer sungguh berharap jika nanti pada akhirnya Kala akan membiarkan perasaan nya mengalir.
" ini waktunya pulang. Mungkin, ini kesempatan mu untuk memperbaiki apa yang telah rusak, dirusak, atau merusak hidupmu. Ini waktunya untuk sejenak melepaskan beban di pundakmu, sobat"
Ameer mengorbankan pancake nya menjadi dingin hanya untuk memberikan petuah kepada Kala yang sama sekali tidak menghiraukan nya. Kala terus melahap telur dadar dan daging asap nya.
" makanan disini tidak terlalu enak" kala masih bersikeras untuk tidak menanggapi perkataan Ameer yang sesungguhnya diam-diam sudah mengusik hati nurani Kala. Ada secuil bagian dari hati kecilnya yang mempertanyakan perkataan ameer. " apakah benar jika ini jalan terbaik yang diberikan kepadanya untuk memperbaiki keadaan?" Tapi secuil bagian itu kalah dengan egonya.
" ibu mu menunggumu Kala, atau setidaknya berbaik hatilah pada Dalilah. Jangan terus menerus meninggalkannya. Dia pasti sangat kesepian."
Topik pembicaraan mengenai Dalilah berhasil menyita perhatiaan Kala. Dengan perlahan dia meletakan sendok stenlees diatas piring. Menyambar serbet disebelah tangan kanannya dan kemudian bersandar dipunggung kursi sambil bersedekap.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu Ameer memberondong Kala dengan petuah-petuahnya.
" kau bayangkan betapa sulitnya Dalilah. Dia pasti sibuk untuk ukuran seorang asisten manajer dan dia harus mengurus ibumu sendirian"
" aku menyayangi adik ku,Ameer. Tapi bukan hanya aku yang pergi. Kafka pun pergi, bahkan Dalilah sendiripun pergi. Kau pikir dia selalu ada disamping ibu ku? Dia menghabiskan 3 tahun masa SMA nya disekolah berasrama, 4 tahun masa kuliahnya di jerman. Bukan hanya aku yang meninggalkan mereka. Kami memang sudah meninggalkan sisi satu sama lain."
Ameer terdiam tapi serangan balik Kala tidak mematahkan semangatnya untuk melanjutkan kultum
"setidaknya berjanjilah padaku, kau pulang terlebih dahulu sebelum melanjutkan sekolah mu di Jakarta. Jangan gunakan karir sebagai alasan kau melarikan diri terus menerus, sobat"
" setiap kali kau mengatakan kata 'pulang' aku selalu merasa bingung, sobat. Bagaimana aku bisa pulang jika bahkan tidak ada satupun yang terasa seperti 'rumah' dalam hidupku"
Ameer tidak pernah menyerah untuk menyelamatkan jiwa Kala yang tersesat, tapi Ameer selalu tahu kapan saat nya dia harus berhenti mencoba dalam suatu waktu. Bukan berhenti permanen, tapi sedikit memberikan jeda bagi Kala untuk bernapas dari cecaran petuahnya. Maka setelah kala berkata demikian, Ameer memakan pancakenya yang sudah tidak lagi hangat.
" selalu ada yang harus aku korbankan demi dirimu, sobat. Kali ini pancake ku yang hangat"
Kala tergelak.
" aku turut berduka cita atas hilangnya rasa hangat dari pancake mu"
Ameer hanya menatap Kala dengan tatapan tidak percaya dan pura-pura kecewa.
"Oh ya, jika nanti kau sudah menyelesaikan studi lanjutan mu sebagai persyaratan menjadi mualaim I, kemudian kau ditawari bekerja disebuah kapal asing yang lebih menjanjikan dengan rute pelayaran kenegara-negara eksotis, jangan lupakan aku."
" doakan saja aku tidak menyerah ditengah jalan, dan memilih untuk bekerja didarat saja."
Ameer memutar kedua bola matanya karena Ameer tahu tanpa dia doakan saja, Kala-jika dia berdoa- pasti berdoa mati-matian untuk dirinya sendiri supaya tidak pernah berakhir bekerja didaratan seperti di perusahaan pelayara, atau tempat docking kapal. Membayangkannya saja sudah membuat Kala bergidik.
" aku tidak akan mendukungmu berhenti berlayar demi alasan apapun kecuali satu"
Kala mengernyit bingung. Alasan apa yang kiranya dimaksud Ameer.
" apa?"
" alasan karena kau pada akhirnya menemukan seorang wanita yang membuatmu jatuh cinta, menikah dan memiliki anak"
" astaga...pernah kah kau merasa bahwa obrolan kita ini seperti sepasang kekasih gay?"
Ameer menggeleng. " tidak. Apa yang salah memangnya?"
Sambil meminum teh hangatnya Kala berkata " tidak ada dua orang laki-laki yang mengobrol dan membicarakan kehidupan, percintaan, dan perasaaan. Kebanyakan laki-laki membicarakan tentang permainan atau sex semalam"
" aku bukan gay tapi aku juga bukan laki-laki sedangkal itu."
Ameer pura-pura tersinggung. "Aku ini laki-laki sekelas mahatma gandhi."
Kala hampir tersedak akibat menahan tawa. Setelah berhasil eneguk air teh nya dengan selamat, Kala menanggapi " jika kau sekelas mahatma gandhi, berarti aku sekelas Richard jenkins"
" stop doing that eat, pray love thing! Sekarang kita benar-benar terdengar sangat gay, dan kamu tidak pernah menjadi richard jenkins disini. Kamu jelas-jelas Elizabeth gilbert." Ameer menendang kaki Kala dari tempat duduknya.