Deruman suara mobil Morrow menembus jalanan kota New York yang tetap hidup dua puluh empat jam. Disamping segala hiruk-piruk kota tersebut terselip sebuah pesan bahwa manusia sedang berjuang, bekerja keras dan saling mencintai agar tetap bisa hidup dan meraih kebahagiaannya. Yang Tara pahami itu merupakan sesuatu yang indah sekaligus kelabu.
"Andai kata tidak tampak dan tidak terdengar, cahaya dan suara tidak punya arti apa-apa selain berupa kekaburan dan getaran di angkasa. Demikian pula, apabila cinta tidak terasa dalam hati, yang ada hanya debu yang tertiup dan terberai oleh angin-Khalil Gibran-" Seru Tara mengutip kata-kata dari salah satu novel yang pernah ia baca. Semua tergantung dari sudut mana orang lain mau melihat sebuah kehidupan. Tara mengehela napas dalam sambil menatap gedung pencakar langit berlalu cepat bagai kilisan cahaya.
"Bisa kau ulang apa yang tadi kau katakan." Morrow berseru dibalik kemudi. Ia mendengar Tara berbisik pelan serta dalam. Dan ia hanya penasaran.
"Ah.. aku sedang mengingat kutipan Khalil Gibran. Menurutku dia seorang pemuja cinta. Ibuku merupakan salah satu penyumbang buku terbanyak di perpustakaan nasional. Jadi aku senang sekali membaca buku. Apapun itu kemudian aku menyimpannya di dalam pikiran dan hatiku. Setiap kisah kehidupan bagaikan makanan untukku. Mungkin ini terdengar aneh, kalau aku terobsesi tentang garis takdir. Bagaimana denganmu? Apa yang kau sukai? Dalam kenangan Vanilla tidak ada satupun yang menjelaskan kehidupan tentangmu selain kau adalah pria acuh. Meski sudah banyak waktu yang telah kalian lewati tetap saja dia tak memahamimu. Kau asing baginya."
"Suntuk. Kehidupanku seperti itu, tak ada satupun yang menarik. Aku bertahan hanya untuk ibuku." Morrow berbicara ringan padahal ia kurang suka berbagi kehidupan pribadinya dengan orang lain.
"Menurutku hidup seperti itu tidaklah buruk.." kata-kata itu terdengar menggantung, wanita itu lalu menarik napas sambil tersenyum tipis. Disana Morrow melihat guratan yang sulit dimengerti dari ekspresi Tara. Padahal dulu Vanilla ialah wanita seperti gelas kaca yang mudah ditebak isinya. Tetapi semenjak dirasuki oleh jiwa Tara, hanya tersisa sikap pendewasaan yang ideal.
"Aku hidup untuk diriku sendiri, tanpa memiliki keluarga, sahabat ataupun kekasih. Kupikir hidup seperti itu hanyalah masalah kecil. Ternyata aku amat menyesal ketika kematianku mulai mendekat dan begitu menakutkan. Kecelakaan itu membuatku tersadar bahwa aku tak ingin kesepian."
"Dan kau sekarang sedang diberi kesempatan?"
"Bisa dikatakan begitu. Tapi aku malah banyak mendapatkan kesulitan yang belum pernah kualami sebelumnya. Seolah ada soal ujian terpampang besar di depan mata lalu aku harus mencari jawabannya."
...
Kurang lebih Tara mulai mengenal Morrow dari sudut pandangnya. Setelah ia kalah dalam berdebat dan akhirnya keputusan membuatnya tinggal bersama dengan pria itu. Ketika ditanya tentang sampai kapan pria itu akan menetap di New York City. Morrow hanya menjawab "lihat saja nanti. Karena aku belum memikirkan rencana kedepan. Kau tidak perlu khawatir, jadi beraktivitaslah seperti biasanya." Bagaimana Tara bisa tenang menyadari nasib hidup serta perasaaannya menggantung. Tara harus luar biasa sabar dengan sifat Morrow yang seenaknya sendiri dan paling penting dia sudah tahu bahwa Morrow adalah pria dewasa yang buruk.
Saat ini Tara sedang dikejar oleh deadline. Semua ide sudah ada dikepala, bahkan ia sudah mengumpulkan referensi lengkap sejak beberapa bulan yang lalu. Tinggal penuangan dalam segi tulisan yang menguras banyak emosi serta waktu. Menyentuh bagian akhir cerita bagi Tara bukanlah dikatakan baik, ia malah terpojok oleh situasi yang disebut Written Blocker. Mengerikan bagi penulis siapapun. "Sial.." Tara mendesah berat. Iapun bangkit dari duduk lalu berbaring diatas sofa sambil memijit keningnya.
Secara bersamaan sosok Morrow mendekatinya. Pria itu melepaskan jasnya lalu meletakkan secara di atas sofa yang lain. "Malam ini kau ingin makan apa?" Ujar Morrow. Sejak pagi ia terburu pergi untuk urusan bisnis pelelangan barang antik. Mengecek berbagai hal untuk memastikan tentang kualitas serta keaslian barang yang akan ia jual. Dan ia baru bisa kembali pukul dua malam meskipun acara pelelangan seutuhnya belum selesai.
"Ini sudah terlalu larut untuk makan malam." Tara melirik ke arah Morrow yang tengah bersandar di dekat kakinya. "Apa kau belum makan apapun sejak sarapan pagi?" Tara mengerutkan keningnya tanda ia kurang suka fakta tersebut. Benar jika Morrow adalah pria dewasa yang buruk karena tidak bisa mengurus diri sendiri. Jatuh sakit atas kebodohan itu sesuatu hal yang membuat Tara jengkel.
"Iya. Mau temani aku makan?"
"Aku suka makanan china. Aku akan pesankan." Ada restauran china yang buka ketika malam hingga pagi menjelang. Sebelumya Tara pernah merayakan salah satu novelnya yang best seller ditempat tersebut, sesuai dengan saran dari beberapa rekannya dan masakanannya tidak mengecewakan.
Tara lalu meraih malas ponsel yang berada diatas meja tak jauh darinya. Memesankan beberapa menu kesukaannya, karena Morrow bukan pria pemilih makanan. Mungkin ini nilai plus tersendiri dari Tara.
Yang ada dipikiran Morrow tentang Tara Lipinski adalah dia wanita tanggap, nyaman diajak berbincang tanpa terganggu oleh perbedaan persepsi. Dia mudah menerima keadaan walaupun sering kali Morrow menangkap wanita itu diam-diam sedang menyumpahinya dengan berbagai celaan dan itu cukup menggelitik. Ketika Tara bercerita tentang kenyataan yang mustahil diterima jika dia bukanlah Vanilla, entah kenapa ada perasaan lega usai mengetahui itu.
Sampai kapanpun Morrow tidak bisa menerima Vanilla, hatinya secara spontan akan menolak dan menciptakan berbagai alasan untuk menjauhkan wanita itu dari sisinya lalu hanya menyisakan belas kasihan saja. Mereka tidak cocok. Maka dari itu ia ragu saat menginginkan Vanilla kembali, sampai dimana ia melewati batasan hanya untuk sekedar melihat wanita itu lagi dari dekat.
Alam bawah sadarnya tentu merasa jika dia adalah wanita yang sama namun berbeda. Pembawaan yang memukau serta arogan. Morrow tidak akan melupakan bagaimana sosok Vanilla yang di dalamnya terpendam jiwa Tara berhasil menyita perhatiannya. Sangat kompleks sekaligus menggairahkan. Saat wanita itu dipenuhi kegelisahan lalu berpikir untuk menjauh, instingnya mengatakan ia akan melewatkan hal berharga. Mengetahui skenario terburuk itu membuatnya marah.
"Pesanan akan diantar tiga puluh menit lagi. Kau mau aku buatkan salad buah sambil menunggu?" Tara bergerak duduk sila menghadap Morrow. Posisi tadi membuatnya kurang nyaman karena baginya tidak sopan. Ia menghargai Morrow sebagai teman baru. Rasanya langsung canggung tengah memijit pelan kakinya. Tara menjaga wajahnya agar tetap santai.
"Tidak. Terima kasih." Morrow bernada agak dalam sambil menatap Tara lekat. Wanita itu sama sekali tak goyah dan malah membalas tatapannya. "Apakah sebelumnya kau pernah berhubungan seks dengan pria lain? atau semacamnya."
Sejenak punggung Tara terasa tersengat listrik hingga lama-kelamaan kaku. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" Jujur Tara kurang suka arah pembicaraan ini.
"Hanya ingin tau saja. Secara, kau terlihat seperti wanita dewasa yang ideal serta memiliki karir bagus. Tidak salahkah jika orang akan mengira urusan percintaanmu juga berjalan lancar."
"Kuharap kau tidak menebak orang lain dari kulit luarnya. Secra tidak langsung itu membuatku tersinggung. Karena urusan percintaanku jauh dari kata baik. Entah aku yang salah atau mantan pacarku yang dasarnya memang aneh. Seks yang kami lalui sekaligus itu menjadi pengalaman pertama bagiku nyatanya menjadi kenangan buruk. Memang benar, aku terlalu tenggelam pada fantasi seks yang hebat sesuai dengan novel-novel dewasa yang pernah kubaca, penuh dengan gairah dan saling mencintai hingga aku lupa bahwa kenyataan tidak seindah itu."