Chereads / Smooth and Tasty Vanilla / Chapter 25 - Part Twentyfour

Chapter 25 - Part Twentyfour

"Hei pecundang! " Begitu sebutan pada masa remaja Morrow. Dimana orang-orang akan menatapnya jijik dan ikut terhina bila berkawan dengannya. Entah mulai kapan dia dijadikan bahan bully para bedebah sialan di sekolah menengah. Mungkin karena eskpresi datar hingga Morrow tampak seperti bocah bodoh bertubuh gendut yang layak menjadi sasaran tinju.

Sebagian besar anak remaja adalah manusia berpikiran sempit dan mengaku dirinya telah dewasa. Bertindak sesuka hati, menjadi orang paling benar. Padahal mereka tak luput menyembah hawa nafsunya sendiri yaitu sebuah keangkuhan bersatu pada keserakahan, perasaan iri juga tujuh dosa besar yang lain. Sedangkan, Morrow dia sudah berada di ambang jurang kehidupan. Merupakan laki-laki remaja tidak berguna, bodoh, lemah dan mengharapkan belas kasihan. Membuat hati kecilnya mengkhianati Tuhan yang dapat memberinya kebahagiaan penuh atas perasaan bebas. Dan pemikiran itu bagaikan sebuah bumerang dilapisi kutukan. Sampai kapanpun dia terkurung oleh jeruji kehinaan. Seolah ia wajib menebus sebuah dosa.

Ken. Teman sekelas Morrow yang menjadi pengaruh utama kerusuhan pesta kelulusan. Senyuman seringai Ken tak pernah luput bila menghadapi mangsa yang telah terpojok ketakutan. "Bagaimana kabarmu b*bi?" ujar Ken sambil menendang perut Morrow untuk kesekian kalinya kemudian menginjak telapak tangan gemuk Morrow tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi. Morrow meredam jeritannya saat dirasa telapak tangan serta jemarinya remuk.

Itu merupakan mula dari petaka besar. Dimana rentetan masa lalu yang tak pernah larut dari ingatan Morrow. Sampai kapanpun terus membekas. Saat itu Ken dan teman lainnya menghajar Morrow, mempermalukannya di tengah pesta dengan sebuah taruhan gila. Para gadis menjerit histeris sedangkan ada beberapa orang merekam kejadian tersebut seolah keseruan itu tak boleh dilewatkan. Mereka adalah monster di pandangan Morrow, mereka bisa tertawa bahkan melemparkan lelucon diatas kesengsaraan orang lain. Tapi itu belum cukup.

Morrow ingat, usai pesta kelulusan dengan wajah babak belur dan tubuh penuh memar. Dia hanya bisa menangis sendiri, marah pada semua keadaan tersebut bagaikan batu besar terbeban di pundaknya sampai sulit dikendalikan. Tak ada seorangpun yang peduli, Morrowpun juga sengaja tidak memberitahu orang tuanya karena dia sadar akan menambah masalah. Ayahnya memiliki sifat keras sedang ibunya akan menangis. Sayangnya takdir menyeret paksa Morrow pada suatu kasus tewasnya Ken akibat jatuh dari lantai atas gedung sekolah. Semua bukti mengarah padanya, menjadikan polisi menunjukkan surat resmi bahwa Morrow ditahan atas pembunuhan berencana.

"Aku tidak melakukannya!" Pembelaan Morrow sia-sia. Tetapi dia tetap kukuh menolak untuk ikut, memberontak sampai dua orang polisi menahan tubuhnya dengan kuat, memojokkan kepalanya ke tembok secara kasar dalam satu cengkraman lalu memborgol kedua tangannya. Ibunya hanya menangis pilu dan hati Morrow hancur telah mengecewakan orang tersayang.

Morrow melewati masa-masa persidangan yang berat dan pelik, lalu dikenai hukuman menjadi seorang tawanan penjara khusus untuk remaja bermasalah. Hal itu kian menekan hidupnya, tubuh Morrow kehilangan banyak berat badan dan perilaku sekaligus pola pikirnya berubah suram. Penindasan di dalam penjara lebih mengerikan dari sebelumnya, seperti bagaikan jahanamnya dunia. Itu membuat Morrow tersadar kalau sebagian manusia adalah monster mengerikan yang telah ditakdirkan. Jadi untuk bertahan, ia harus berubah menjadi monster pendendam sebab dia punya hak untuk hidup bebas!

Kilasan mimpi buruk di setiap harinya, tak terlupakan juga tak termaafkan. Bukan berarti Morrow ingin menjadi orang jahat, sayangnya luka itu belum urung reda.

Peluh membasahi kening Morrow, dadanya terasa penat untuk bernapas. Belum lama dia tertidur, dirinya kembali lagi terjaga. Ia lupa bagaiamana rasanya tidur nyenyak, selalu saja dia diliputi kewaspadaan pada setiap saat seolah sulit menggapai ketenangan.

"Kau demam, padahal seharian tadi kau terlihat sehat-sehat saja." Seru Tara sambil meletakan handuk hangat ke kening Morrow. Ketika demam sedang tubuh bertemperatur tinggi atau panas, maka akan lebih baik mengompres dengan air hangat bukan air dinging. Tubuh mengalami namanya Hemeostatis dimana akan memberikan respon terbalik sebagai penyeimbang tubuh. Bila seseorang dikompres menggunakan air dingin, tubuh akan menjadi lebih panas dari sebelumnya dan demam sulit untuk reda. Pengetahuan singkat itu ternyata cukup berguna bagi Tara, dia bisa sedikit membantu orang lain.

Tara meraih handuk lain yang kering, iapun mengelap perlahan keringat dingin di sekitar leher Morrow. Badai salju malam ini sukses membuat keadaan pria itu makin memburuk, padahal semua penghangat ruangan sudah ia nyalakan. "Aku akan menyiapkan makanan supaya kau bisa meminum obat." Lanjut Tara cemas.

Arah pandangan Morrow berkabut, kepalanya berdenyut nyeri seperti dihantam benda keras. Setiap ucapan Tara menjadi terdengar samar. Morrow merasa dirinya amat payah untuk sekedar menggerakkan kedua tangan, serta ini menjadi serangan demam terparah setelah sekian lama. Ketika diri Tara turun dari ranjang kemudian menghampiri dapur, sejujurnya Morrow ingin wanita itu tetap berada di dekatnya. Dia merasa ada firasat buruk menghampirinya, ketakutan terbesar dimasa lalunya kembali merayap tanpa alasan dan sulit dipahami.

Dalam pandangan samar, sesosok pria bertubuh tinggi dengan topi bulat khas dikepalanya masuk ke dalam kamarnya yang redup menyisakan cahaya kuning dari lampu tidur. Ada ancaman besar menguar dari pria itu, dibalut aura intimidasi lalu dalam sekejab Morrow belum sempat bergerak pria itu telah menancapkan sebilah pisau ke inti jantung. Dari dekat Morrow terbelalak mengetahui siapa orang itu, ia tidak pernah menyangka bahwa dialah pelaku utama sebenarnya atas kematian Ken. Dan kini bergilir Morrowlah yang menjadi berikutnya. "Jadilah anak yang baik..." seru pria tersebut sambil menancapkan pisau itu berulang kali penuh seringai.

Terlewat dipikiran Morrow, seharusnya dia tidak mati seperti ini menyadari betapa ia berjuang untuk melewati hidupnya yang sial. Ini begitu tidak adil. Tangan Morrow lekas menahan tangan pria itu ketika akan ingin menikamnya lagi, dengan sisa tenaganya Morrow berkata. "Aku sudah sangat bersabar untuk bisa bertemu denganmu."

Morrow mengeluarkan pistol dari bawah bantalnya, lalu menembakkannya tepat di perut pria itu tanpa meninggalkan suara. Pistol berlogo emas yang selalu ia siapkan untuk momen ini.

Disamping itu, secepat mungkin Tara membuat sup hangat bertabur potongan kentang, ayam serta wortel. Makanan ringan namun bergizi tepat untuk orang yang sedang sakit serta cuaca sangat mendukung dengan suhu amat rendah. Bisa dilihat jendela dapur bergetar oleh tiupan angin, kondisi langit bergemuruh hebat. Sesaat Tara hampir menyelesaikan masakannya, ia mendengar suara pintu depan tertutup seperti ada seseorang yang keluar. Tidak mungkin Morrow keluar apartemen dalam keadaan demam parah, akhirnyapun Tara berjalan ke kamar untuk memeriksa apakah ia tadi salah dengar.

Dan tiba-tiba waktu berhenti berdetak. Dunia seakan runtuh dibawah kaki Tara, melihat bahwa Morrow tak bergerak bukan karena demam namun jantung pria itu bekas tertikam hingga darah pria itu merembes ke kasur. Apakah ini lelucon? Bisik hati Tara.

"Bagaimana kau bisa jadi seperti ini?" Tangan Tara gemetaran hebat menekan dada Morrow mencoba menghentikan pendarahan.

"Kau mendengarku Morrow?" Air mata Tara luruh, pikirannya terasa kosong akibat terkejut atas kenyataan bahwa pria itu tidak menjawab setiap pertanyaannya. Napas pria itu berhembus pelan, tidak ada lagi kehangatan dan iringan denyut jantung mulai melambat.

"Seharusnya akhir ceritanya bukan seperti ini... Aku merasa amat kesal." Salah satu lengan Morrow menutupi sebagian wajahnya sendiri. Pria itu menangis diiringi kemarahan karena miris sulit ia elakkan.

"Seharusnya aku tidak meninggalkan wanita itu.... seperti ini. Dan masih ada banyak hal yang harus aku lakukan.... Kenapa begini?"

Seluruh dunia sudah tampak gelap dipandangan Morrow, telingannya tuli mendengar sekitar, yang tertinggal hanyalah ia seorang diri. Semua tubuhnya telah mati rasa, tak ada lagi namanya kilauan dunia karena ini adalah sebuah kematian.

"Kematian yang mutlak." Tara terpaku mendengar suara malaikat kematian tanda waktu yang ia miliki juga berakhir.

Dan adakah kesempatan lain untuknya?