Wanita berwajah zombi benar-benar mengerikan. Penampakan Tara makin tak tertolong dengan rambut yang ikatannya nyaris terlepas hingga membuat banyak rambut mencuat, belum lagi matanya yang lelah dibalik kaca mata menunjukan bahwa dia bekerja keras sampai waktu deadline. Wanita itu juga sering berbicara sendirian bahkan tertawa geli tanpa tau sebabnya. "Jangan kaget. Kalau suatu hari aku akan menunjukkan bahwa wanita mempunyai waktu dimana dia bisa bertingkah 'abnormal'" Ujar Tara kala itu pada Morrow saat mereka mulai tinggal bersama dan pria itu hanya menanggapi dengan pandangan takjub.
"Ini espresso untukmu." Morrow meletakkan secangkir gelas di atas meja kerja Tara. Rencana untuk pindah rumah jadi tertunda karena Tara harus menuntaskan pekerjaannya terlebih dulu supaya tidak terganggu untuk agenda selanjutnya. Morrow dengan mudah menerima kompromi dan setuju atas rencana perayaan novel garapan Tara yang sudah selesai.
"Ah.. Terima kasih." Tara jelas terkejut karena tiba-tiba Morrow berada terlalu dekat ke sisinya. Jujur ia malu belum mandi selama dua hari tapi apalah daya rasa malas serta capek membuatnya enggan bergerak. Tara menutupi sebagian wajahnya dengan tangannya. Menjadi zombi bukanlah hal membanggakan.
"Apakah masih belum selesai? Sudah sampai tahap apa?" Morrow kadang kala membaca beberapa novel tapi niat untuk membuat novel tidak pernah terpikirkan. Jadi ketika berhadapan penulis novel yang asli entah kenapa ada rasa kagum. Bisa menunjukkan hasil karya buatan sendiri kepada orang lain itu hebat. Karena siap menerima berbagai konsekuensi.
"Bagian akhir. Harap bersabar karena aku sedang mengusahakan capaian ending yang memuaskan pembaca. Besok aku janji ini akan selesai dan kita bisa langsung pindah rumah. Kau.. hari ini tidak ada urusan pekerjaan?" Sebenarnya Tara berniat mengusir Morrow secara halus. Namun pria itu tidak merasa sedang disindir. Malah sebaliknya, Morrow melihat dan membaca sekilas berbagai macam buku tersebar berantakan diatas meja pendek yang Tara ahli fungsikan dari tempat menaruh bunga menjadi meja kerja karena hotel ini hanya menyediakan satu kasur berukuran besar, mini bar menyatu dengan dapur- disana ada mesin pembuat kopi kesukaan Morrow, serta fasilitas ruang tamu bersekat dinding sebagai pemisah kamar. Well, mereka memang tidur seranjang tidak lebih dari itu.
"Tidak ada. Jadwal kerjaku memang sudah selesai tepat sesuai rencana." Tak lama kemudian suara bel terdengar lalu membuat Morrow berjalan untuk membukakan pintu sembari mengatakan 'seharusnya aku tidak memiliki tamu'. Tara menghela napas lega akhirnya bisa kembali fokus.
Ternyata yang muncul dibalik pintu adalah wanita berambut pendek dengan switer pink bermotif bunga tampak kontras. "Apakah Vanilla berada disini?" Ujar wanita itu terbata. Dia gugup berhadapan pada sikap dingin Morrow, jauh dari kata bersahabat. Tidak bisa disangka Vanilla memiliki teman kencan seperti itu. Pria bertampang kaku dan mempunyai bekas luka goresan agak samar di wajahnya. Seperti mantan kriminal.
"Kau siapa?"
"Aku.. Kattie. Teman seapartemennya Vanilla." Morrow mempersilahkan wanita itu masuk lalu dia berjalan ke dalam untuk memanggil Tara. Sontak Tara langsung bergegas merapihkan tatanan rambut serta mencuci wajahnya yang kusut tanpa lupa menyikat gigi. "Kau memberi tahu alamat hotel ini padanya?" Tanya Morrow mengikuti wanita itu ke dalam kamar mandi.
"Maaf. Aku memberi tahu tempat ini supaya dia tidak khawatir. Dia sahabat Vanilla, orang yang baik dan perhatian. Mungkin dia datang memastikan bahwa aku baik-baik saja." Bisa dilihat wajah Tara sangat-senang-penuh-semangat atas kunjungan ini. Wanita itu menuntaskan secepat kilat dengan sentuhan terakhir pelembab dan serum ke wajahnya. Kemudian Tara mengganti pakaian lalu menyambut Kettie yang sedang duduk menunggu di ruang tamu.
Sebelum itu Tara memohon pada Morrow "Bisakah kau siapakan minuman untuknya?". Pria itu hanya bisa mengangguk dan sukses membuat Tara tersenyum lebar diatas ekspresi masam Morrow. "Wah.. Kau pria yang sangat baik." Tanpa sadar Tara terdorong mengecup pipi Morrow. Seketika Morrow dibuat terkekeh padahal ia tahu maksud terselebung dari pujian itu.
Posisi lain Tara sedang memeluk Kettie sebagai salam hangat. Terdapat berita baik bahwa Bastian tunangan Kettie tidak jadi memundurkan rencana pernikahan mereka. Tara turut senang.
"Kenapa dia bisa berubah pikiran?"
"Mungkin karena dia sudah mendapatkan pekerjaan baru. Sebelumnya dia stres atas pemecatan tanpa alasan yang kuat. Dia tidak ingin menanggung beban biaya pernikahan kepadaku walau sebenarnya kita sudah menabung bersama untuk itu sejak dua tahun lalu, juga apalagi sekarang kami sedang menyicil rumah dan mobil. Aku tak sadar dia memikirkanku sejauh itu." Kettie menyerah sebuah tas berisi gaun putih pada Tara.
"Maukah kau menjadi bridesmaid ku? " Lanjut Kettie.
"Tentu saja! Akanku lakukan untukmu." Entah kenapa Tara amat bahagia serta bangga. Dia seolah bukan lagi wanita yang iri terhadap kebahagian orang lain sebab dulu semua itu hanyalah angan bagi kehidupannya, tetapi kali ini ia bisa bersyukur atas semua anugrah tersebut. Terlebih ini keadaan langka dimana ada seseorang mau mewarkan kesempatan berharga.
"Di dalam sini ada kartu undangan untukmu dan maaf aku membuatkanmu gaun yang ukurannya hampir sama denganku karena kupikir tubuh kita memiliki ukuran yang sama. Lagi pula akhir-akhir ini kau sulit untuku hubungi." Ekspresi Kettie tampak khawatir.
"Tidak masalah. Jika gaun ini kesempitan aku akan diet. Dan maaf, urusan pekerjaanku sangat mendesak, membuatku lupa untuk mengisi baterai ponsel."
"Begitukah? Kuharap kau sehat dan bisa datang kepernikahanku. Jangan memaksakan diri." Tak lama datang sosok Morrow membawa dua cangkir kopi, ia meletakkannya di atas meja kemudian meninggal dua wanita itu melanjutkan obrolan panjang.
..//..
"Sebentar lagi aku akan tiba." Pria itu memutuskan panggilan telpon kemudian memarkirkan mobil sedannya di depan Foxy Johns Bar. Sangat mengejutkan usai bertahun-tahun Morrow menghubunginya kembali setelah sepuluh tahun yang lalu di ruang pengadilan. Evan Goldberg bergegas ke dalam sembari membawa tas penuh berisi berkas-berkas penting, permintaan Morrow kali ini membuatnya lembur.
Ketika memasuki lobby Evan disambut oleh pelayan lalu diantarkan ke sebuah ruang privat atas pesan khusus dari Morrow.
"Hai Mr.Evan senang bertemu denganmu." Sapa Morrow ternyata sedang di depan pintu lalu mereka berjabat tangan setelah itu masuk bersama ke dalam ruangan.
"Wah, kau terlihat berbeda." Balas Evan begitu ia duduk istirahat sejenak setelah melewati perjalanan jauh dari luar kota dan menyetir mobil sendirian. Morrow dulu adalah pria bertubuh kurus karena tekanan dari manapun, mengalami tuduhan yang tak pernah dilakukannya sangat berat bahkan nyaris menghancurkan hidup anak itu. Evan menjadi pengacara atas kasus Morrow saat umur tiga puluh dua tahun yang menjadikan masa itu cukup terkenang, mengingat dirinya mati-matian sebagai pembela. Ia sangat yakin telah melakukan hal yang benar.
"Bagaimana kabar anda?" Ujar Morrow sambil menuangkan minuman ke gelas Evan. Morrow begitu menghormati Evan layaknya keluarga sendiri. Jasanya tak pernah ia lupakan karena berani ikut andil untuk mengadakan sidang ulang, padahal sebelumnya Morrow begitu putus asa.
"Baik. Dua bulan lalu istriku melahirkan anak kedua kami. Aku mendapatkan bayi perempuan yang cantik." Evan tersenyum tipis.
"Selamat atas itu." Balasan Morrow adalah sebuah anggukan. Evan memang dikenal sebagia pria yang sedikit berbicara kecuali urusan penting. Tapi sepertinya pria itu rela bercerita panjang tentang anak keduanya.
"Sayang sekali aku hanya mempunyai waktu satu jam. Lebih baik kita mulai.." Evan mengeluarkan laptop serta menyusun berkas penting agar mudah dipahami oleh Morrow. Disana juga terdapat banyak foto yang dicetak bersamaan waktu kejadian.
Morrow memperhatikan dengan seksama. Mulai dari tanggal 31 Desember dimana foto Tara sedang keluar gedung apartemen pada pukul tiga sore. Wanita itu tidak keluar dari apartemen pada malam tahun baru hingga awal waktu tanggal 2 Januari. Jadi foto yang didapat mendapatkan jarak waktu yang cukup panjang. Tara keluar lagi dari gedung pukul setengah dua malam sembari membawa koper kecil.
"Dia berencana pergi ke Tuscany-Italia untuk berlibur." Evan menunjukka foto barang bukti berupa email pemesanan online tiket pesawat. "Dia mengendarai mobil SUV putih ke bandara secara baik tanpa menyalahi aturan lalu lintas, bahkan kecepatannya sangat normal. Usai tanggal 1 Januari perayaan tahun baru yang hebat, jalan raya sedikit sepi karena masih dalam masa libur keluarga. Hingga dinyatakan tidak ada saksi mata atas kecelakaan yang dialami Tara Lipinski kecuali cctv di sudut jalan dan di mobil wanita itu. Kejadian sangat terdengar keras hingga banyak orang yang di Hotel Dupont City bergeges keluar. Aku mendapatkan beberapa foto Tara Lipinski saat berusaha dikeluarkan dari mobilnya dari beberapa tamu hotel..." Evan mengakhirinya dengan nada miris karena keadaan wanita itu tampak mengerikan.
Morrow mengambil sejumlah foto yang diserahkan Evan dan seketika jantungnya terasa berhenti berdetak ketika melihat foto tersebut.