Chereads / Smooth and Tasty Vanilla / Chapter 26 - Part Twentyfive

Chapter 26 - Part Twentyfive

Deg...

Jantung Tara terhantam kuat membuat kedua matanya sontak terbelalak. Napas Tara ikut tersengal hebat usai melewati momen mengerikan.

"Morrow.. " Jerit Tara

Ya... Tara menyadari satu hal aneh bahwa dia kini tengah berada di apartemen reyot milik Vanilla, dia sedang merebahkan diri di atas ranjang bergelung dengan selimut tipis sambil memandang ke arah jam dinding yang menunjuk pukul lima sore.

Tara mendesah keras, hatinya amat lelah. Tragedi kematian Morrow adalah mimpi buruk yang nyata. Lebih baik sejak awal ia tidak bertemu pria itu, menerima ajakan makan malamnya kemudian tinggal bersama. Seharusnya ia biarkan dirinya sendiri merasakan kepedihan Vanilla lalu membuang seluruh rasa penasarannya terhadap Morrow. Karena akibat dari itu semua, Morrow menetap di kota ini dan membatalkan rencana pulang ke negaranya, hingga alur takdir mengarah Morrow pada kematian. Semua adalah salahnya!

Benar apa kata Morrow, bukan seperti ini jalan ceritanya yang sebenarnya..

Tangisan Tara sudah mengering, tertinggal hanyalah pandangan kosong. Benaknya masih berharap ingin melihat pria itu lagi untuk terakhir kalinya.

Dengan langkah berat, Tara mengambil sebuah dompet lalu beranjak ke lobby untuk menghentikan sebuah taksi kemudian menuju ke hotel tempat Morrow berada.

'Tara sadar dia sedang diberikan kesempatan lagi dari Tuhan sebab waktu menariknya mundur ke tanggal lima belas Januari', tepat sepuluh hari sebelum kematian Morrow hari dimana pria itu untuk pertama kalinya mengajaknya makan malam dan belum mengetahui jati dirinya yang sesunguhnya. Tara tidak peduli lagi apa maksud terselubung dari semua ini. Yang terpenting adalah ia masih diberikan kesempatan .

Sampai ditujuan, Tara bergegas ke kamar hotel Morrow. Tapi ketika ia memasukkan kode di pintu hotel, ternyata pasword yang pernah ia ingat adalah salah, dan setelah berulang kali bel hotel ia tekan, tak ada jawaban. Mungkin pria itu sedang keluar, pikir Tara begitu. Akhirnya Tara memutuskan menunggu pria tersebut. Memilih terduduk di lantai koridor seorang diri sampai pukul sembilan malam.

***

Morrow menegak segelas brandy sambil mendengarkan salah seorang informan berbicara mengenai salah seorang tersangka pembunuhan Ken.

"Eric Boston, pewaris utama Boston Company. Dia memiliki perusahaan entertainment, industri musik, perhotelan, akademik dan sebuah sekolah. Dia terlibat dalam berbagai acara amal dengan donasi tinggi. Dia salah satu pengaruh besar alasan kenapa kasusmu ditutup secara cepat."

"Karena itu sangat mempengaruhi reputasinya. Tak pernah satupun berita yang menyatakan dia pernah terlibat skandal, dan kasus kematian Ken benar-benar nyaris menhancurkannya." Balas Morrow.

"Dia juga memberikan sejumlah uang tutup mulut pada ayahmu. Dan kupikir kau lebih baik tidak berurusan dengannya. Dia berbahaya. Dia memiliki bisnis ilegal, meski begitu dia sangat dilindungi oleh pemerintah."

"Aku tidak akan menyerah, apalagi mati dengan mudah." Morrow menjawab dengan pandangan kelam. Keadaan membuatnya terpaksa bergelut pada salah seorang Mentoris gila dari Kolombia sejak dia masih dipenjara. Lalu menjadikan Morrow seorang mafia. Morrow sadar bahwa dirinya memang tidak pantas menjalani kehidupan normal setelah berbagai kejadian buruk yang sudah ia lewati, namun dia juga tidak layak menyandang sebutan mafia karena tak pernah sekalipun dia menarik pelatuk pistolnya untuk membunuh orang. Rekan lainnya menyebutnya pecundang, meski begitu pemimpin Mentoris-Ervo Bullfighter tetap mengangkatnya menjadi orang kepercayaan.

Morrow menghabiskan brandynya kemudian meninggalkan informan itu. Memang baru sekarang dia mencari siapa dalang kematian Ken sebab dia sedang dibebas tugaskan dari tuan Ervo.

Setelah pertemuan itu Morrow pergi mengunjungi apartemen Vanilla sesuai dengan janjinya tadi pagi, sayang sekali dia tidak menemukan wanita tersebut dimanapun. Meski dia telah menerobos masuk menggunakan kunci master, yang Morrow temukan hanyalah ponsel Vanilla yang tergeletak di ranjang. Segera Morrow menghubungi asistennya. "Sepertinya dia menolak acara makan malamku. Temukan wanita itu, jangan biarkan dia menghilang sendirian."Morrow memutuskan panggilan secara sepihak. Lalu memilih kembali ke hotelnya.

Setibanya dihotel. Saat pintu lift hotel terbuka Morrow tersenyum lebar terkejut mendapati kunjungan Vanilla yang di luar dugaan. Darimana wanita tau hotel tempat dia menginap? Morrowpun menghampiri Vanilla dengan senyuman tipis namun melihat betapa kacaunya diri Vanilla seketika ekspresi Morrow berubah serius. Wajah Vanilla sangat pucat dan kenapa dia senang sekali tidak pakai sepatu? Apakah wanita itu sengaja ingin membekukan kakinya di musim paling dingin tahun ini?

Melihat kedatangan Morrow, Tara beranjak dari duduknya. Berusaha berdiri di atas kakinya yang goyah. Pria itu mengatakan "sudah berapa lama kau menungguku?" Morrow melampirkan mantelnya ke tubuhnya, tapi Tara memilih menjatuhkan secara kasar jaket itu ke badan lantai tanda penolakan darinya.

"Aku tadi menghampiri apartemenmu tapi kau tidak ada disana, dan kupikir kau masih berada di tempat editormu. Nyatanya kau berada disini." Morrow sedikit merendahkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas wajah Vanilla. Disana ada bekas sehabis menangis, sebenarnya ada apa dengan wanita itu?

"Kau terlihat sangat marah padaku." Lanjut Morrow.

"Karena aku benar-benar membencimu. Mulai saat ini jangan pernah temui aku lagi." Tara menahan air matanya agar tidak keluar, betapa dia lega melihat pria itu baik-baik saja tanpa ada yang terluka.

"Apakah ini peringatan untukku?" Kebohongan Vanilla tampak konyol bagi Morrow.

"Bukan. Aku hanya harus meyakinkanmu bahwa aku tidak akan bisa memaafkanmu." Tara menatap lekat mata Morrow, lalu menyempurnakan aktingnya dengan nada penekanan sembari mengepalkan tangan.

Morrow menarik diri Vanilla kesisinya, "bukan masalah bagiku kalau kau membenciku."

Diri Tara langsung terkesiap mendorong jauh tubuh Morrow. Kematian pria itu adalah salahnya, dia tidak ingin melewati hal buruk itu lagi sampai kapanpun sebab bukan hanya Vanilla saja yang menangis dan tersiksa, tapi dirinya juga lebih menderita. Penyesalan yang tak berujung bagaikan dikuliti hidup-hidup.

"Aku tidak ingin melihatmu lagi." Tara membuang wajah ke arah lain, kemudian berjalan meninggalkan Morrow. Beruntung pria itu membiarkannya pergi.

Kali ini cuaca sangat buruk, salju turun deras di kota ini sampai mendekat minus lima sama seperti malam kematian Morrow. Tara hanya duduk diam di kursi penumpang dan taxi membawanya ke apartemen miliknya, tempat dimana dia bisa bersembunyi dari siapapun.

***

Dua hari berlalu. Sosok Tara sedang duduk di boarding room bandara. Ditangannya telah ada tiket menuju kampung halaman Vanilla. Entah kenapa hatinya tergerak untuk mengunjungi ibunya Vanilla, atau mungkin dirinya bingung kemana sebaiknya dia pergi. Sebagai balasannya ia harus menghadapi masa lalu kelam Vanilla dan berurusan dengan saudara tiri Vanilla yang menjengkelkan.

Sebelumnya keberangkatan Tara sudah mengatakan menjelaskan acara kepergiaannya pada Nila dan Jake. Diluar dugaan mereka malah menghadiahkan tiket pesawat kepadanya sebagai bayaran awal. Serta Nila membawakannya beberapa pakaian musim dingin sebagai oleh-oleh untuk keluarga Vanilla. Tara bersyukur mereka sering membantunya dan membuatnya merasa tidak sendirian lagi.

Dari kejauhan terdapat Morrow berjalan sisi mendekati Vanilla. Wanita itu berpakaian santai dengan balutan mantel dan menggunakan topi baseball. Tampak Vanilla bergegas saat mendengar pusat informasi melakukan pemberitahuan atas keberangkatan pesawatnya. Segera Morrow setengah berlari menghalangi jalan wanita itu. "Kau ingin meninggalkan kota New York?"

Tentu Tara kaget walaupun dia hanya tinggal mengabaikan kehadiran Morrow saja, melupakan seluruh luapan kerinduan dengan tidak lompat ke pelukan pria tersebut. Tara melanjutkan perjalanannya untuk check in. Sayang sekali usaha Morrow tidak sampai disitu.

Morrow berjalan santai mengikuti langkah Vanilla. "Apa yang membuatmu berencana untuk pulang?" Morrow bertanya karena mengingat betapa Vanilla memohon padanya untuk membawanya pergi jauh dari rumah. Tentu saja tindakannya kali ini diluar dugaan. Dan dia tau bahwa Vanilla diam-diam masih membutuhkannya untuk menemaninya. Dia tidak ingin wanita itu melewati skenario terburuk.

Tara menulikan kedua telinga selama Morrow berceloteh. Namun disisi lain ketegangan dalam diri Tara mulai reda, rasa khawatir dan gugupnya untuk pulang ke kampung halaman Vanillapun kini menghilang. Kehadiran Morrow terbilang menyelamatkannya. Sayang sekali ia dilarang untuk lengah. Perasaan Morrow pada Vanilla cukup besar, dan pria itu akan berbuat nekat.

"Kau terlalu berlebihan berbuat seperti ini hanya untuk menjauh dariku." Celetuk Morrow.

Langkah Tara jadi berhenti, menatap lekat diri Morrow. "Kata seseorang kehadiranku adalah sebuah kutukan. Kau akan cepat mati bila sering bertemu denganku." Balas Tara terdengar bagaikan gurauan.

"Kau tidak perlu khawatir, sejak dulu hidupku sudah penuh kesengsaraan." Ucapan Morrow menyelipkan tanda tanya terhadap siapa yang telah membunuh Morrow. Dan kenapa Morrow harus dibunuh?

Tara terdiam, bayangan simpahan darah Morrow ditangannya terasa berubah menjadi nyata. Lalu pikirannya berlanjut pada malam kecelakaan mobil di awal tahun begitu menyentaknya. Kenapa dia harus melalui hal mengerikan ini? Tara tidak mengeti, ia berusaja memeluk dirinya sendiri karena dalam pandangannya lingkungan seakan berputar hingga dia sulit untuk berdiri.

"Kau baik-baik saja?" Morrow langsung menahan tubuh Vanilla agar tidak jatuh. Wajah wanita itu berubah pucat.

"Aku merindukan ibuku. Apakah alasan itu kurang cukup? Percayalah padaku Morrow." Tara tetap mengira bisa meladeni Morrow namun pikirannya telah hilang arah.

Morrow mengabaikan ucapan Vanilla, dia menyentuh keningnya dan ternyata suhu tubuhnya terlampau tinggi. Tak lama dari itu hidung wanita itu mengeluarkan darah serta terdapat ruam di sekitar lehernya. Segera Morrow mengangkat tubuh Vanilla lalu menanyakan ke salah satu petugas dimana letak ruang medis darurat di bandara.