Chereads / Smooth and Tasty Vanilla / Chapter 28 - Part Twentyseven

Chapter 28 - Part Twentyseven

Apa yang terjadi dengan diriku esok hari?

Rahasia menanti diujung jawaban itu, tidak ada satupun manusia yang tau, mungkin hanya menebak-nebak apakah esok akan sama seperti hari ini.

Sekali lagi seorang bernama Tara tersikap oleh tabir takdir. Dia yang lemah hanya bisa menerima dorongan dari tangan Tuhan tepat dipunggungnya agar ia terus melangkah ke depan, tanpa peduli apakah jalan yang ia lalui itu sebuah dosa ataukah pahala. Kesialan ataukah keburuntungan. Sebab yang Tara ingat dirinya tengah berada di dimensi lain dan menjadi sosok Vanilla.

-Smooth and Tasty Vanilla-

....

...

..

.

"Apakah kau senang telah bertemu dengan ibumu?" Sebenarnya ucapan tersebut tidak perlu ditanyakan lagi oleh Morrow karena sudah terlihat seberapa bahagianya Vanilla hingga terpias di wajahnya yang kini bersemu merah. Tetapi Morrow hanya ingin ada pembicaraan diantara mereka.

"Entahlah..." Tara mengehala napas pelan, di dalam dirinya terdera oleh rasa senang, heran dan takut yang saling berbaur satu sama lain.

Mereka kini tengah berada di kamar milik Vanilla. Kamar tersebut didominasi oleh warna merah muda dan masih terawat baik. Disana terdapat ranjang ukuran sedang, jadi cukup untuk istirahat mereka berdua.

Tara berdiri di tengah kamar, mengamati sekitar serta merasakan suasana yang familiar baginya. Ini seperti ruang tidurnya ketika dulu masih remaja sebelum ia memutuskan untuk pindah rumah usai kematian ibunya. Dari letak jendela yang bersebrangan dengan pohon cherry blossom, juga wallpaper kartun anak-anak. Bahkan di dinding masih terpasang poster pertunjukan akrobatik panggung Kalaido Star dari Jepang. Semuanya yang ada dikamar ini terlalu mirip, bahkan identik seperti jiplakan nyata.

Morrow duduk di pinggir ranjang, pandangannya tak lepas dari menimati Vanilla yang sedang dilanda kebingungan. Kehadiran Vanilla di dekatnya sudah menjadikan dia puas sekaligus cenderung merasa takut bila wanita itu lenyap dari dunia ini. Pemikiran yang merepotkan.

"Aku penasaran sekali. Bagaimana kau tau hotel dimana aku sedang menetap?" Celetuk Morrow secara mendadak membuat pikiran Tara spontan kembali terfokus pada maksud terselubung dari Morrow.

"Aku hanya-" Ada tanda bahanya berdering keras di telinga Tara.

"Kau tau sendiri, bahwa pihak hotel tidak akan mudah memberi tahu informasi tamu pada orang lain." Kata-kata Morrow seolah mendesak agar Vanilla tidak memiliki peluang untuk berbohong. "Kau juga tidak dekat dengan orang-orangku. Bagaimana kau bisa tau? Aneh sekali jika kau menguntitku hingga ke hotel. Karena aku pikir mana mungkin kau bisa bertindak nekat seperti itu."

Tara sudah kehabisan kata-kata sebelum melakukan pembelaan. Ia bingung harus berbuat apa untuk menghadapi pertanyaan mengerikan Morrow. Tangan Tara meremas kuat ujung swternya.

"Vanilla, dan menurutku kau juga sedikit bersikap jahat mengambil keuntungan dari kecelakaan Tara Lipinski. Mulai dari pekerjaannya, uangnya, beberapa barang-barangnya, bahkan mengambil hati rekan kerjanya." Sejujurnya Morrow tidak terlalu ambil pusing mengenai perbuatan buruk Vanilla. Tapi dia hanya heran.

"Bukan seperti itu!" Nada suara Tara bergetar. Dia harus menahan diri hingga semua kejadian tidak terulang kembali dan apalagi sampai pria itu bisa mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

"Lalu kenapa kau melakukan hal tersebut? Dan kau seolah melarikan diri ke tempat ini setelah melakukan semuanya." Lanjut Morrow.

"Aku hanya ingin membantunya dan aku juga sedang butuh pekerjaan. Aku mengerti jika aku memanfaatkan keadaan itu... Tapi kau tidak berhak mencampuri kehidupanku. Konsekuensi yang nanti aku hadapi, itu menjadi urusanku sendiri. Kau adalah orang lain, orang asing yang tidak pernahku kenal." Ucapan terakhir Tara benar-benar jujur dari hatinya. Morrow merupakan pria asing yang seharusnya tidak terlibat dengan kehidupannya lalu mengalami kematian sia-sia.

Tara berjalan keluar dari kamar. Emosinya sudah berada di puncak, dia tidak boleh hilang kendali atau dia akan menangis.

Dititik lain, Morrow sedang mengusap kasar wajahnya penuh frustasi. Dia hanya ingin Vanilla terbuka padanya bukan malah memperburuk hubungan mereka. "Jangan pergi!"

Pintu kamar yang hendak terbuka langsung kembali tertutup oleh dorongan tangan Morrow. Menjadikan mereka kini saling berhadapan, menerka hati mereka satu sama lain dari pandangan yang beradu.

"Kau ingin aku meminta maaf. Aku akan melakukannya." Morrow mencengkram lembut lengan Vanilla. Diapun sedikit merendahkan tubuhnya agar dapat melihat jelas wajah wanita itu yang akhir-akhir ini ingin ia sentuh. Sepenuhnya Morrow mengakui dosanya, dan sekarang ia mendapatkan apa yang telah dia tuai yaitu buah dari kebencian. Tapi biarkan dia menebus perbuatannya. Walaupun Morrow diam-diam berharap lebih dari itu.

"Jangan buat aku menjadi goyah." Kata-kata yang Tara lontarkan begitu tanpa perasaan. Ia menarik lepas tangan Morrow sambil melanjutkan perkataannya. "Keadaan ini hanya sementara untuk kita. Lagi pula kau tidak perlu merendahkan dirimu pada seseorang yang telah kau buang. Asal kau tau, aku telah memaafkanmu jauh dari sebelum kau memintaku. Apalagi yang kau harapakan?"

Morrow merasa jengah luar biasa. Dia bisa saja membawa wanita itu sekarang juga ke atas ranjang lalu menidurinya supaya dia paham apa yang ada di dalam otaknya. Sayangnya Morrow akan menjadi gila bila memilih langkah yang salah dan membuat wanita tersebut makin membencinya. Kepala Morrow sudah buntu untuk menemukan jalan lain atas keadaan rumit ini. Disisi lain dia tak ingin membiarkan Vanilla pergi.

Tara menatap lurus diri Morrow. "Aku akan meminta ibuku supaya menyiapkan air hangat untukmu mandi karena disini tidak ada kran pemanas otomatis." Tanpa diduga tangan Morrow menangkup wajahnya, lalu menyatukan kening mereka secara hati-hati. Dari dekat Tara bisa melihat guratan kepenatan di wajah Morrow. "Aku bersumpah tidak akan memarahimu jika kau mencuri, bahkan membobol hotelku."

"Apa maksudmu?" Tara kesal Morrow bisa bergurau dalam situasi seperti ini.

"Kau boleh melakukan apapun. Karena aku percaya kau tidak akan berbuat hal yang salah. Kau menyimpan sebuah alasan yang tidak bisa kau jelaskan padaku." Wajah Morrow mulai menjauh, namun giliran pinggang Tara direngkuh erat hingga ia bisa merasakan hangat dari tubuh Morrow. "Aku tidak berniat membuatmu goyah. Dan kau boleh memilih jalanmu sendiri, Vanilla."

Tara menyerngit dalam atas ucapan Morrow dan ia tetap akan kukuh meskipun dia susah payah menahan napasnya agar tidak mengirup aroma tubuh Morrow yang membuatnya makin sesak.

Morrow tersenyum miring terselip sikap jahil yang jarang diperlihatkan. Dia melepaskan diri Tara, kemudian mengusap puncak kepala Tara dengan gemas. Gara-gara wanita itu kepalanya jadi pusing. "Pergilah, dan siapkan aku air hangat untuk mandi." Perintah Morrow seolah sedang dirumah sendiri.

.....

...

Saat makan malam berlangsung tiba-tiba saja Morrow mendapatkan panggilan telpon singkat dari seseorang, lalu tak berapa lama pria itu memutuskan untuk pergi karena urusan penting dan akan kembali seminggu kemudian untuk menjemput Tara.

Ada rasa kehilangan meresap ke dalam benak Tara ketika Morrow mencium keningnya setelah itu berpamitan pergi. "Jangan khawatirkan aku. Nanti aku akan menghubungimu. Dan kuharap gunakan waktumu disini dengan baik."

Tara hanya bisa diam saja memandang punggung Morrow menjauh. Well, sebuah mobil jemputan ternyata sudah terparkir di luar rumah orang tua Vanilla. Morrow tampak bergegas, raut wajahnya seketika serius layaknya kembali ke diri orang asing. Hingga kini Tara tidak pernah tau apa pekerjaan Morrow yang sebenarnya. Selama ini pria itu selalu menutup rapat segala hal menurut Morrow tak perlu ia tahu.

Dengan langkah teratur, Tara kembali ke meja makan. Memasang senyuman tipis pada ibu Vanilla juga ayah tirinya. Makan malam berlangsung lambat serta membosankan, mungkin tatapan ketus Ronald-ayah tiri Vanilla sangat membuatnya jengah. Ada sejumlah informasi terbaru di dapatkan Tara tentang keadaan keluarga Vanilla salah satunya adalah tentang saudara tiri Vanilla, gadis berperangai jahat itu sekarang sedang melakukan studi kejuruan di kota Las Vegas. Gadis itu tidak pulang meski liburan musim dingin telah tiba. Dan hal tersebut menjadi berita baik bagi Tara, nantinya repot jika mereka saling berhadapan.

Usai makan malam, Tara membantu ibunya Vanilla mencuci piring serta membereskan meja makan. Sesekali Tara mengalihkan tatapan matanya sedikit merunduk bila dirasa ibunya Vanilla mengamatinya.

"Kau bisa menceritakan apapun padaku untuk menebus banyak waktu yang telah kita lewati." Ujar ibunya Vanilla sembari menuangkan secangkir teh pada gelas Tara. Tara memilih duduk kembali di kursi makan sekedar untuk menikmati momen berdua dengan wanita tersebut.

"Yang kutahu, aku sudah dewasa." Sebuah senyuman muncul di bibir mereka berdua. Seutuhnya wanita itu seperti ibu kandungnya. Dari suaranya, caranya dia bersikap dan berucap, terlebih dia menampakkan aura seorang ibu yang teguh.

"Kau tetaplah gadis kecil untukku. Dan aku sangat menyesal telah membuatmu sendirian." Bisa terdengar ada getir penyesalan tak tergoyahkan. Salah satu tangan Tara digenggam erat oleh tangan rapuh yang menginjak usia lanjut.

"Aku baik-baik saja. Meski banyak kesulitan dan kadang ingin menyerah, aku akan tetap hidup." Tara sudah terlalu banyak menangis, akhirnya sebisa mungkin ia menahan suaranya agar tenang supaya air matanya tidak terpancing keluar.

"Aku mencarimu kemana-mana. Aku tidak tau kalau kau sangat kesulitan menghadapi keluarga baru ini. Maafkan aku. Aku bukanlah ibu yang baik."

Tara menolak pemikiran sepeti itu. "Kau tidak salah. Aku-Vanilla ingin ibu bahagia. Jangan merasa kecewa atas yang terjadi di masa lalu."

"Aku berdoa pada Tuhan supaya kau mau pulang. Dan ternyata setelah empat tahun berlalu kau kembali kesini bersama pacarmu. Apakah dia yang membujukmu untuk pulang?"

"Dia bukan pacarku. Dia hanyalah pria aneh, suka berbicara dan bertingkah seenaknya sendiri sampai aku kesal. Meski begitu dia pernah menolongku sekaligus mengecewakanku. Aku tidak ingin bersamanya lagi."

"Semua keputusan tergantung padamu nak. Kalau dirasa kalian pantas untuk bersama kenapa kau memaksakan diri untuk pergi. Kuharap kau tidak menilai seseorang dari sikapnya di hari yang lalu, karena menurutku orang akan berubah dengan seiringnya waktu. Keadaan bisa memahat seseorang menjadi sesuatu hal yang tak bisa duga."

Perkataan terakhir ibunya Vanilla membuat Tara berfikir, bahwa Tuhan sedang menciptakan untuk ia jalani. Imajinatif tertinggi melampaui akal manusia. Dan seharusnya dia tau, bahwa Tuhan memberikannya kesempatan bukan untuk melarikan diri namun mencari akhir cerita terbaik.

"Seperti keinginan Vanilla, aku akan bersamamu lagi. Karena aku sudah jatuh hati padamu."