Sebuah bayangan kematian yang mengerikan belum cukup bagi Tara menjadi goyah. Dia selalu percaya pada dirinya sendiri, melalui banyak masalah rumit dan dia yakin dapat mencapai akhir penderitaan ini. Namun tubuh dan jiwa Vanilla begitu lemah sampai bisa melemahkannya. Bagaimana Tara dapat bertahan lebih lama atas situasi ini?
Tara merasakan cairan darah keluar dari hidungnya. Dia panik serta ingin menangis. Matanya menatap nanar darah yang berada ditangannya. Mungkin kekacauan dalam benaknya membuat Tara menjadi merasa takut seolah mimisan bisa mengancam jiwanya.
Segera Tara merasakan tubuhnya terangkat ke sisi Morrow. Merengkuhnya erat, menjaganya dari hal mengerikan. Pria itu lagi-lagi terlihat bagaikan pahlawan, walaupun dia panik tapi dia bisa mengendalikan itu.
Tiba di klinik kesehatan, seorang dokter langsung memeriksa keadaan Tara, membersihkan darahnya lalu memberikan perawatan infus padanya. Pikiran Tara berkabut, tapi dia tetap dalam posisi terjaga sambil memperhatikan interkasi Morrow dengan dokter. Terkadang Morrow terlihat mengangguk paham atas penjelasan dokter juga sesekali melihat ke arah Tara, sayangnya pendengaran Tara sedikit melemah akibat demam yang tinggi.
Setelah itu Morrow duduk disamping ranjangnya. Menggenggam tangannya yang bebas infus. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan tiket pesawatmu. Jika dokter telah mengijinkanmu pergi. Aku akan memesan untukmu dipenerbangan selanjutnya."
"Aku ingin tidur." Seru Tara terdengar berbisik.
"Tentu saja kau boleh istirahat. Aku akan menjagamu." Balas Morrow, Vanilla tampak terbuai nyaman dengan usapan lembutnya di puncuk kepala. Tadi dokter mengatakan bahwa wanita itu kelelahan hingga jatuh sakit. Tidak ada yang parah, hingga dokter meresepkan beberapa vitamin usai cairan infus Vanilla habis. Juga memar di sekitar leher wanita itu tiba-tiba saja menghilang.
"Vanilla..." Morrow memperhatikan wanita itu sedang tertidur sambil lirih menyebutkan namanya sendiri. Sejak awal wanita itu memang sangat aneh dan misterius baginya. Dari intonasinya, cara dia bicara, gaya berinterkasinya dengan orang lain, sorot matanya benar-benar seperti orang asing. Bukan layaknya vanilla yang lugu penuh kenaifan. Tapi dari situlah Morrow mendapatkan ketertarikan khusus. Dan untuk pertama kalinya lagi dia benar-benar khawatir atas kondisi orang lain. Meski begitu, Morrow tetap memutuskan untuk bersikap seolah dia tidak pernah tau itu.
Untuk sekarang Morrow tidak akan membiarkan wanita itu sendirian.
Tak lama dari itu, petugas bandara mengantarkan koper dan tas milik Vanilla. Keingintahuan Morrow cukup tinggi hingga dia akhirnya memeriksa tas Vanilla. Disana terdapat tiket pesawat, kartu identitas, sejumlah dollar, dan anenya wanita itu memiliki dua kartu kredit dan dua visa. Sepengetahuan Morrow, Vanilla hanya memiliki satu rekening. Bahkan tidak ada aktifitas pembelajaan diluar normal.
Untuk memastikan apa yang terjadi, Morrow menelpon Thomas-asistennya untuk memeriksa kartu kredit dan visa tersebut yang ternyata kartu itu diatas kepemilikan Tara Lipinski.
Bagaimana mungkin seorang Vanilla mencuri? Dan untuk apa sampai wanita itu melakukan hal sejauh ini?
"Cari tau tentang dia." Ujar Morrow dari seberang telpon sambil memijit keningnya. Dia kini tengah bersandar dikoridor depan klinik. Belum lama dari itu, Thomas kemudian mengatakan "Tara Lipinski adalah penulis novel ternama. Apakah anda ingat pernah mengantarkan nona Vanilla mengunjungi rumah sakit tempat Tara Lipinski melakukan perawatan pasca kecelakaan mobil beberapa hari usai tahun baru."
"Iya. Saya ingat itu."
"Apakah ada aktifitas pemakaian kartu kredit milik Tara Lipinski akhir-akhir ini?"
"Iya. Sampai sejauh ini hanya beberapa pembelian produk makanan dari supermarket dan obat." Balas Thomas.
"Sekarang cari informasi apapun tentang wanita itu. Dan kirimkan lewat email." Morrow mematikan panggilan secara sepihak lalu kembali ke dalam klinik. Morrow berdiri memandang lekat diri Vanilla yang pucat. Ia tidak menyangka telah melewatkan banyak hal tentang Vanilla, dan Morrow merasakan datangnya firasat buruk. Menghilangnya Vanilla.
***
Tara memandang keluar jendela, pesawat telah lepas landas beberapa waktu lalu dan dia baru bisa melakukan penerbangan tengah malam. Kini sosok Morrow ikut pergi bersamanya, duduk manis sambil berkutat pada tabletnya seolah kehadirannya bukan menjadi masalah dan itu membuat Tara jengkel.
Sebelum tadi berangkat mereka sempat berdebat hebat, Semua alasan penolakan Tara supaya Morrow dilarang ikut pergi tidak digubris sama sekali oleh pria itu. Malah Morrow menuduhnya macam-macam. "Atau kau diam-diam memiliki pacar yang kau sembunyikan di desamu? Jangan naif seperti itu Vanilla. Kau tidak akan bisa melupakanku."
"Aku sedang tidak memiliki pacar. Dan jangan menyebut kata desa dengan nada merendah seperti itu seolah-olah desaku adalah pemukiman yang buruk. Asal kau tau tempat itu sangat mempesona. Dan perlu kau ingat aku bukan lagi perempuan naif yang kau kenal, juga mana mungkin seorang Vanilla masih menginginkanmu kembali." Tara mengakhiri dengan nada mengejek.
"Begitukah? Berarti tidak ada alasan untukku tidak bisa pergi. Anggap saja aku pria asing. Dan kalau kau juga tidak kunjung bangun dari tempat tidurmu, kita akan ketinggalan pesawat. Atau kau ingin aku menggendongmu lagi seperti tadi?" Tangan Tara sangat gatal ingin mencakar muka mesum Morrow.
Tara sudah tidak bisa mengelak itu, dia masih membutuhkan Morrow di dekatnya sebab Tara takut mengalami kejadian tadi. Bahkan untuk melihat keadaan sekitar ia masih diambang rasa kebingungan, seperti dia sedang berhalusinasi. Skenario terburuk akan berefek parah dan pingsan.
Seperti itulah yang terjadi, membuat Tara kembali mengikuti alur cerita. Akhirnya selama penerbangan Tara menghabiskannya dengan tidur.
Disamping itu Morrow terus terjaga. Membaca detail setiap informasi, sejumlah video yang meliput Tara Lipinski. Dan Morrow tidak menemukan apapun yang berikatan dengan Vanilla. Bagaimana kedua wanita itu bisa saling kenal?
Sekali lagi Morrow memandang foto kecelakaan mobil Tara Lipinski, tragedi yang menimpa wanita itu dia yakin adalah pembunuhan berencana. Entah atas dasar apa. Intinya dia harus membuat Vanilla menjauh dari wanita itu hingga semua dirasa aman.
Tiba di bandara Harrisburg internasional, mereka menaiki taxi menuju Hellertown. Tampak suasana hati Vanilla kembali suram, ekspresi wajahnya serius berusaha menutupi kegelisahannya. "Jika kau tidak ingin pulang, aku akan menyewa penginapan disini atau kau lebih menginginkan kembali ke New York?" Morrow mengusap puncuk kepala Vanilla. Wanita itu langsung berdecak keras, lalu menepis tangannya agar menjauh.
"Aku tidak akan mundur."
"Aku tau, kau bukan pecundang kan?" Tara memberi tatapan tajam. Kenapa pria itu senang sekali menghinanya.
"Kau menantangku?"
"Bisa dibilang begitu." Tara mengunci mulutnya rapat-rapat untuk tidak menyahuti ucapan Morrow, sebab pembeciraan kosong mereka tidak akan pernah bertemu ujung.
"Aku ingin bertanya, bagaimana kau bisa mengenal Tara Lipinski?"
"Itu bukan urusanmu." Punggung Tara seketika menegang. Belum selesai kelanikan Tara bertemu keluarga Vanilla, Morrow sekarang mau menyudutkannya dengan persoalan paling berbahaya.
"Kau bisa ditangkap oleh kepolisian atas tindakan pencurian dan pemerasan. Aku tau kau memakai kartu kreditnya, kau mencari kesempatan ketika dia tidak sadarkan diri."
"Dia yang memberikan itu padaku. Maaf sekali aku tidak menjelaskannya dengan rinci. Intinya kita pernah saling mengenal dan aku bisa menceritakan tentangnya padamu." Tara mendapatkan celah supaya obrolan mereka berakhir.
Pukul sebelas siang mereka tiba di kediaman keluarga Vanilla. Morrow membantu menurunkan koper mereka kemudian membayar biaya taxi. Sedangkan Tara berjalan menelusuri halaman rumah yang tertutupi oleh salju, jika musim semi datang pasti tanaman bunga bermekaran sangat indah serta pohon yang rindang, terasa sejuk bagi yang melihatnya.
"Aku ada bersamamu. Ingat itu." Bisik Morrow.
Tara mengangguk samar. Dia membulatkan tekad saat mencoba menekan bel rumah. Jantungnya berdetak tak beraturan, telapak tangannya serasa membeku dingin. Apakah dia bisa mengatasi sesuatu yang ada dibalik pintu ini? Jawaban itu belum didapat sampai dimana seorang wanita paruh baya membukakan pintu.
Wanita itu sontak terdiam kaku menatap sosok Vanilla dihadapannya. Anak kandungnya telah pulang... "Bagaimana keadaanmu? Kenapa wajahmu pucat sekali? Ayo masuk diluar sangat dingin."
Tara tak percaya jika yang ditemuinya adalah ibunya Vanilla. Karena wanita itu mirip sekali dengan ibunya yang telah meninggal.
Tangisan Tara pecah karena tak kuasa membendung kerinduan terhadap ibunya. "Maafkan aku mama, setelah sekian aku baru pulang..."
Makna yang tidak pernah bisa Tara duga.