Chereads / Smooth and Tasty Vanilla / Chapter 24 - Part Twentythree

Chapter 24 - Part Twentythree

'Jaket berbalut mantel putih seputih salju yang kian turun deras berbaur oleh simpahan darah. Wajah kesakitan nan pucat menunjukan pederitaan teramat dalam. Tinggal harapan tipis untuk dia tetap bernapas, bila mengerti bahwa dirinya nyaris mendekati jurang kematian. Takala malam terbias menjadikan waktu lambat seperkian detik. Hanya Tuhan yang mengerti sentuhan alur takdir merubah jalan cerita. Alangkah baiknya jika manusia mencintai dirinya sendiri, menghargai orang terkasih, mengukir kenangan indah, mengganti dosa dengan perbuatan baik sampai dimana ajal tiba tanpa berjumpa dengan penyesalan. Karena banyak manusia menangis diakhir cerita.'

..//...

Morrow terdiam menatap foto demi foto yang menunjukan keadaan Tara Lipinski pasca kecelakaan. Tampak pihak kepolisian dan medis berusaha keras mengeluarkan Tara dari dalam mobilnya yang jungkir balik berkejaran oleh waktu bersama melawan hawa dingin. Bagaimana bisa wanita itu bertahan atas mimpi buruk yang nyata? Dan dia sudah terlalu banyak menangis seorang diri. Keadaan ini membuat Morrow tak bisa menahan rasa miris sekaligus menyesal, walaupun saat pertama pertemuan mereka, dia telah melakukan hal benar dengan menolong Tara dan membawa wanita itu ke rumah sakit.

"Ini video dari cctv yang kudapatkan. Truk yang menabrak Tara Lipinski langsung pergi usai kejadian, lalu pihak polisi menemukan truk tersebut di depan sebuah gudang produksi tekstil dan dari plat nomor yang tertera di truk itu memang punya mereka. Tapi pelaku yang sebenarnya melarikan diri. Meski begitu pihak perusahaan belum bisa lepas dari tuntutan polisi karena barang bukti melekat pada supir truk yang sebenarnya. Singkat cerita, ini pencurian meski banyak hal mengganjal dan lekas diselesaikan karena pihak terkait mengajukan sidang bulan depan." Penjelasan Evan terhenti saat menerima pesan dari rekan kerjanya. Dinyatakan bahwa hasil rekam medis Tara Lipinski telah dikirim ke emailnya.

Evanpun bergegas membuka notifikasi email di laptopnya lalu ia tunjukan pada Morrow. "Tara Lipinski mengalami gegar otak parah, belum dipastikan secara detail apakah wanita itu akan mengalami cacat sampai dia melewati masa koma dan sadar. Tapi dari pengalaman pasien lainnya, kecelakaan otak menyebabkan efek beragam. Kecacatan penglihatan; fungsi sistem gerak tubuh seperti tidak bisa berjalan, menggenggam; kecacatan sensorik perasa pada kulit dan melemahnya daya ingat hingga dia susah mengenal hal baru atau sebaliknya. Dokter memberi diagnosa awal bahwa kerusakan otaknya telah mencapai tiga puluh lima persen. Angka yang cukup tinggi." Ujar Evan dengan sikap serius. Dia penasaran sekali atas permintaan Morrow menyuruh dia mengambil alih kasus aneh ini. Terlebih Morrow seperti bukan teman maupun rekan kerja Tara Lipinski. Evan mendesah, lebih baik ia memilih menyingkirkan rasa penasarannya demi menjaga privasi kliennya. Lagi pula suatu hari nanti dia akan menemukan jawabannya.

Morrow mendesah berat. Seketika ia mengingat bagaimana keadaan Tara saat diserang kepanikan, cemas, takut, sedih, marah dan putus asa. "Temanku kecelakaan di persimpangan Hotel Dupont City. Sebuah truk menabrak mobil yang dikendarainya. Dan sekarang dia sedang dilarikan ke rumah sakit. Aku tidak bisa membiarkan dia mati begitu saja, aku bingung... Jadi bisakah kau membiarkanku pergi, brengsek!" Permohonan yang terdengar memilukan.

"Sekarang detektif yang kusewa sedang tahap pencarian pelaku. Karena dia merasakan bahwa ini pembunuhan berencana bahkan pada skala kecil untuk sampai melakukan praktek itu. Tara Lipinski wanita terkenal dan pernah menjadi model iklan, hingga ada berbagai dugaan permasalahan yang bisa saja terjadi. Mulai dari kasus plagiarisme terjadi tahun lalu, kendala hak cipta, pembatalan kontrak kerja, pencemaran nama baik dan dari tingkat persaingan produksi film diangkat dari novelnya menjadi kontroversi." Evan menunjukkan juga situs berita yang berhubungan dengan Tara Lipinski. Dia akhirnya mengatakan, "baru di tahap ini aku bisa memberikan penjelasan, dan untuk selanjutnya aku akan mengabarimu secepatnya."

Pertemuan mereka selesai. Morrow tak banyak mengajukan pertanyaan karena dia mencoba memahami semua informasi tersebut dan belum lepas dari rasa tercengang. Morrow kemudian bergegas pulang, mengendari mobilnya melintas jalan raya yang padat. Pikirannya serentak kacau sulit dibendung hingga saat dia tiba di apartemen, langkah kaki Morrow mendadak berat menemui Tara Lipinski. Wanita itu kini sedang memakai gaun putih cantik di depan cermin, rambutnya dibuat sanggul nan rapih, serta bertelanjang kaki. Dia juga bersenandung lagu pernikahan menjadikan dia sedemikian anggun dengan tubuh Vanilla. "Kau sudah pulang? Bagaimana dengan gaunku? Bagus tidak? Aku senang sekali Kettie menawari aku menjadi pendamping pengantinnya bahkan dia sampai membuatkan gaun ini untukku." Morrow bisa melihat betapa Tara tersenyum bahagia dengan kilauan mata haru. Seolah menyatakan aku amat bersyukur mendapatkan teman baru. Namun itu memancing Morrow untuk tertawa pelan penuh cemooh terhadap takdir.

Lantas melihat tingkah aneh Morrow, Tara menjadi diam sambil menatap pria itu dengan bingung. Apakah dia sudah melakukan hal yang salah? Atau memang pria aneh itu yang sedang bermasalah? Sering kali ia tak paham atas jalan pemikiran Morrow, sampai Tara dibuat tak berkata-kata. Tara belum kunjung angkat bicara, ia takut salah bertindak tapi kilasan hati Vanilla ingin dirinya segera menghibur pria itu. Karena ekspresi murung Morrow menguar ke sekeliling menarik simpati.

Sesaat Morrow mengambil langkah panjang ke sisi Tara. Menangkup leher bagian belakang wanita itu dengan satu tangannya lalu mencium bibir tersebut begitu dalam. Menyesapi setiap aroma yang wanita itu miliki, nyaman sekaligus meremukan benaknya. Tanpa Morrow sadar perasaan ini sudah melampaui batas, diapun menahan punggung Tara kian melekat tak menghiraukan protes yang diberikan. Morrow mengerang. Tidak! Ia harus membuat wanita itu menjadi miliknya.

Jantung Tara berdetak kencang, napasnya terengah hebat bersamaan dengan kelopak mata terpejam erat ketika sensasi terbakar menjalar ke seluruh tubuhnya hingga ke jemari. Rasa intenspun menjadikan kepalanya pening. Ciuman yang diberikan Morrow penuh tuntutan, namun dilain sisi seolah memuja tinggi seorang wanita. Tangan Tara meremas kuat dada Morrow. Ia ikut mengerang, sekilas perutnya tersengat gelenyar panas sebab pria itu mulai membelai lembut pahanya sembari mengakhiri sesi ciuman mereka. "Kau sangat cantik. Hem?" Ujar Morrow dengan suara serak tepat di telinga Tara.

Pandangan Tara tampak berkabut hanyut oleh rengkuhan Morrow sambil sesekali mengecup kepalanya. Ia sadar Morrow sedang tersenyum. "Jadi kau akan tetap cantik menggunakan gaun apapun." Kata-kata pria menyebabkan wajah Tara bersemu merah, walaupun dia tahu dirinya salah sangka bahwa ucapan itu ditunjukkan pada Vanilla. Tapi tetap Tara merasa malu sendiri telah terlena, diapun menyembunyikan wajahnya di dada pria itu. Cinta yang menggebu dari jiwa Vanilla rasanya meluap hebat dan sangat sulit dibendung. Apa yang harus ia perbuat?

Cinta menjadikan seseorang buta arah. Tersesat dalam perasaannya sendiri. Masih tetap ragu meskipun sudah ada jalan keluar di depan mata. Tara bisa saja mendorong Morrow lalu menampar pria itu, sayangnya ia ingin memiliki cinta ini untuk sesaat. Kesempatan yang menggiurkan untuk diabaikan. Karena dari kematian ia berharap pernah memiliki kekasih dan entah kenapa takdir mendorong dia sambil berkata 'tidak apa-apa kau boleh ikut mencintainya'. Sama sekali tak ada rasa bersalah maupun penyesalan. Hanya ketenangan tersisa di benaknya yang terdalam. Ya Tuhan, bukankah ini terlalu baik untuknya?

Kemudian diri Morrow duduk di atas ranjang sembari membawa Tara duduk di pangkuannya. Wanita itu masih saja diam, bergemuruh pada gejolak hatinya. Ia berhasil menggoyahkan perasaan Tara, tetapi sejenak ia jadi kasihan melihat wanita itu menampilkan ekspresi kacau. Juga terkadang mendesah berat.

"Ya ampun Tara, kau tidak perlu galau seperti itu hanya karena sebuah ciuman." Morrow tertawa pelan, tangannya mengusap kepala Tara dengan gemas.

"Aku tahu, aku sangat berlebihan." Tara meringis.

"Kapan acara pernikahan temanmu itu diadakan?" Mengalihkan pembicaraan dapat mencairkan suasana. Mulai dari kapan Morrow menjadi pria pengertian?

"Akhir pekan depan." Tara memang kaget mendapati tanggal pernikahan Kettie dan Bastian diajukan lebih cepat. Dan itu pertanda baik.

"Kalau begitu aku akan menemanimu kesana. Oh, apakah pekerjaanmu sudah selesai?"

"Sudah! Aku telah mengirimkan naskahku ke editor. Sangat melegakan akhirnya ini selesai dan cepat atau lambat aku akan mendapatkan gajiku. Besok kita juga sudah bisa pindah rumah." Tara tersenyum puas tanpa kehilangan antusias.

"Kerja yang bagus. Kau hebat..."

"Aku tidak sabar melihat grafik angka penjualan novelku meningkat. Kadang kala aku membaca beberapa komentar baik di media sosial tentang novelku, dan kau tau? Itu berhasil membuat moodku kembali baik. Usahaku seolah terbayar penuh oleh respon mereka." Tara tahu bahwa orang tidak mengerti atas perjuangannya sebagai penulis. Mereka hanya paham hasil dari buah kerja kerasnya. Karir sebagai penulis novel kadang dipandang sebelah mata, bahkan sering dibilang tidak memiliki manfaat selain hanya menghabiskan waktu saja tanpa mendapatkan ilmu bermanfaat. Padahal itu tergantung bagaimana cara orang lain mengambil makna dari novel-novel tersebut. Sebagus apapun seseorang berkarya, dia hanya bisa membahagiakan orang lain dengan caranya sendiri.

"Kenapa kau menangis?" Tara terburu mengusap air matanya, sayangnya Morrow sudah menghapus terlebih dulu buliran air mata tersebut.

"Kupikir-aku tidak bisa menyelesaikan cerita ini dengan kedua tanganku sendiri." Sulit mengira ia benar-benar diberi kesempatan hidup kembali. "Hebat bukan? Tuhan memberikan jalan takdir yang tak pernah disangka oleh manusia manapun."

Morrow menatap lekat mata Tara. Kecelakaan yang menimpa wanita itu adalah takdir, dia yang menetap di tubuh Vanilla itupun juga takdir. Morrow sama sekali tidak bisa berkutik dengan semua ini. Dan malah tembok kukuh penuh yang dibangun kebencian atas takdirnya terdahulu mulai roboh hanya sebuah rasa syukur.