"Kau percaya padakukan? Jika aku bukanlah Vanilla." Tara akhirnya bisa mengungkap kebenaran, perlahan beban hatinya mengikis walaupun ia akan senang jika ada seseorang yang lebih baik dari pada Morrow untuk mendengar sebuah kenyataan tentangnya. Pria itu cukup beresiko sejak awal. Tapi yang terpenting adalah Tara tidak merasakan sesuatu buruk menimpanya seperti gemuruh petir menyambar atau rasa sakit yang menggerogotinya ketika rahasia ini terbongkar.
"Kau adalah Vanilla." Kening Tara berkerut. Ia kemudian terduduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Ucapan Morrow terdengar dingin padahal seharusnya pria itu marah mendengar ia telah membohongi dirinya.
"Tidak. Aku adalah... Tara Lipinski. Ingat siang tadi aku mengajakmu ke rumah sakit, yang terbaring disana adalah tubuhku." Memang benar perkataannya tidak masuk akal tapi Tara bertekat untuk meyakinkan pria itu. Mata Tara terpejam kuat, ia mengacak rambutnya penuh frustasi.
"Kumohon, cukup dengarkan aku Morrow, meskipun kau menganggapku orang gila." Tara bergerak menghadap pria itu yang kini ikut terduduk. Ia mengisyaratkan agar Morrow tenang, nyatanya Tara terlampau gelisah.
"Sehari setelah malam tahun baru aku mengalami kecelakaan mobil. Sebuah truk menabrak mobil yang aku tumpangi, aku sadar ketika itu diriku sekarat. Lalu tiba-tiba aku terbangun di dalam tubuh Vanilla bertempat di sebuah club malam dimana kau juga sedang berada disana. Memang sangat kebetulan, seperti skenario yang telah dibuat sedemikian rupa. Vanilla selalu di hatiku, jadi bila aku melihatmu aku bisa merasakan kesedihannya, rasa rindu yang amat menjengkelkan, bahkan aku sangat... jatuh cinta dengamu dalam pandangan pertama. Padahal aku bukan tipe wanita yang mudah jatuh cinta ataupun percaya pada orang lain. Dan kupikir aku bisa menyelesaikan cerita ini jika memenuhi keinginan Vanilla untuk memilikimu. Tapi setiap aku berbuat demikian rasanya aku ingin mati. Jiwaku perlahan mati rasa kalah dengan jiwa Vanilla." Tara tersengal sampai kepalanya terasa pening.
"Semua kenangan Vanilla bisa kulihat dan kurasakan seolah-olah kita menjadi satu. Aku tahu bagaimana ketika kau mengusir Vanilla dari rumahmu, kalian juga pernah tidur bersama, makan malam bersama di pesisir pantai saat liburan musim panas di Hawai meski samar tapi aku tahu, bahkan aku bisa ingat bagaimana rasanya berciuman serta bercinta denganmu. Lalu bagaimana aku bisa tenang jika semua itu berdatangan seperti teror. Bisakah kau tulus mencintai Vanilla? Aku mohon. Mungkin dia akan membebaskanku setelah kau menerima perasaaannya." Permintaan bodoh. Tara tidak melupakan itu. Seumur hidupnya, mengemis pada orang lain tanpa otak adalah dosa besar.
Morrow terkekeh pelan. Wajah menjengkelkan yang Tara tampilkan begitu berbeda dengan Vanilla yang asli. "Jangan bermimpi." Ucapan Morrow memiliki arti lain, tapi Tara langsung meninggikan suara.
"Aku tidak mengigau atau sejenisnya! Aku serius atas perkataanku dan aku tidak sedang membodohimu." Tara kesal diapun turun dari ranjang berlilitkan selimut lalu mengambil baju dari lemarinya. Jujur dia ingin Morrow sedikit bersimpati pada keadaannya sekarang. Setidaknya pria itu tidak menyindirnya sebagai tukang khayal. "Terserah tentang apa yang kau pikirkan terhadapku, lagi pula aku tidak peduli atas pendapatmu. Kau juga boleh menyebutku wanita aneh, karena aku benar-benar nyaris gila menghadapi cerita dramatis ini. "
Tara mengenakan celana dalamnya serta sebuah kaos kebesaran hingga selutut tanpa menggunakan bra. Dia berjalan ke lemari pendingin untuk mengambil minuman soda sambil berkata. "Bagaimana kau bisa masuk ke apartemenku?"
"Pintunya tadi tidak terkunci."
"Jangan mencoba bergurau di depanku. Tuan Morrow." Tara melirik tajam, dia menjadi sensitif karena emosi dan semua jawaban yang pria itu berikan membuatnya darah tinggi. "Aku bisa melaporkanmu ke polisi."
"Bukan kau seharusnya juga?" Balas Morrow sambil menerima sekaleng soda yang Tara sodorkan. Sekilas dia memperhatikan dada Tara yang tercetak pas tanpa bra. Semua pria menyukai itu.
"Ini rumahku sejak tujuh tahun yang lalu." Tara sengaja menjual rumah ibunya lalu pindah ke apartemen ini. Karena alasan tertentu, ia lebih memilih menciptakan dunianya sendiri di tempat tinggal barunya setelah kematian ibunya tanpa ia harus melanjutkan kehidupannya dengan satupun kenangan masa lalu.
"Tapi sekarang kau tak ada bedanya denganku, seorang penyusup." Morrow lanjut tersenyum miring saat meneguk minumannya. Wajah Vanilla berkombinasi dengan emosi Tara terlihat begitu menarik dan mempesona. Wanita itu berharga diri tinggi dan intelek.
"Itu urusanku." Tara melemparkan pandangan sinis ke arah lain. Iapun mengambil remote tv dan menyalakannya. Tara duduk di atas sofa, menyilakan kakinya sembari mendesah. "Habiskan minumanmu, lalu pergilah dari rumahku." Menyendiri adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Dan sudah lama ia melakuakn itu berulang kali ketika menghadapi tingkat stres cukup tinggi.
Morrow menuntaskan sodanya, ia lantas bergerak ke depan Tara hingga ia menghalau acara tv yang wanita itu tonton. "Lebih baik kau ikut pulang denganku karena kau bisa terjebak masalah." Saran Morrow bukan hanya ucapan ringan, pria itu bersikap serius seolah Tara harus menurutinya.
"Tenang saja, aku akan kembali ke apartemen Vanilla. Aku tau itu. Jadi kau tidak perlu repot-repot mengurusku. Lagi pula aku bukan orang idiot berani melakukan hal yang akan menjerumuskanku pada permasalahan." Tara menengadahkan kepalanya sedikit ke atas untuk melihat wajah pria itu yang menjulang tinggi. Sikapnya yang perhatian membuat Tara goyah. Ia hanya sedikit terpesona tanpa dilebih-lebihkan, ia perlu menjelaskan itu pada batinnya.
Tara melanjutkan ucapannya "Kau tetap orang asing bagiku. Aku tidak tenang bersamamu meski hati Vanilla sangat bahagia, hangat serta nyaman. Bagiku didekatmu dan memikirkan dirimu entah kenapa menjadi beban tersendiri." Tangan Tara menyentuh inti dadanya. "Dan rumah ini adalah tempat yang paling membuatku nyaman, aku hanya butuh waktu sebentar di sini. Jangan khawatir, aku pasti akan menjaga Vanilla." Tara biasa menuntaskan problematik kehidupannya sendiri. Mengandalkan orang lain akan membawanya pada masalah. Namun bukan berarti orang lain telah melakukan kesalahan padanya. Itu hanya presepsi yang ia buat sendiri. Tara adalah wanita berumur dua puluh enam tahun, ia cukup dewasa dan berpengalaman. Membuat orang lain khwatir adalah PR tersendiri baginya.
"Jujur saja, dirimu yang seperti ini lebih membuatku tidak tenang. Kau terlalu banyak melewati hal rumit." Morrow merendahkan kepalanya agar dapat melihat dengan jelas bentuk ekspresi datar Tara. Wanita itu tak berkutik, dia memandang kosong ke dirinya yang sebenarnya di dalamnya adalah hal mengerikan berupa keputusasaan.
"Khawatir padaku? Sebagai seorang manusiakah?"
"Bisa dibilang begitu. Aku memang pria buruk, tapi aku tetaplah manusia yang bisa bersimpati apalagi saat melihat orang lain kesusahan. Karena aku juga banyak melewati hal rumit dan itu cukup merepotkan jika dilakukan sendirian."
"Hemm... Seperti menonton dirimu sendiri yang malang."
"Benar. Maka dari itu aku bisa merasakan kegelisahan luar biasa dalam dirimu. Hingga hampir ingin mati. Saat aku tidak menemukanmu di hotel, kupikir kau akan bunuh diri karena sebuah tekanan besar dari dalam dirimu yang tidak bisa diceritakan oleh siapapun."
"Kau berfikir terlalu ekstrem. Tuan..." Tara tidak menyukai pernyataan itu.
"Tapi terbukti. Kau nyaris pingsan karena berendam terlalu lama."
"Apa kau mau percaya padaku bahwa aku bukan Vanilla?" Tara menatap kukuh sekaligus sendu menjadikan waktu terasa lambat untuk mereka bedua.
"Aku akan mencobanya. Walau aku tidak memiliki alasan pasti untuk melakukan itu. Lagi pula aku hanya perlu percaya pada ucapanmu saja bukan? Tara Lipinski. Asal kau tau, aku ingat sekali bahwa Vanilla tidak akan berani menatapku seperti ini. Apalagi menampilkan wajah menjengkelkan yang jauh dari sifat aslinya."
"Terima kasih." Kedua tangan Tara bergerak menangkup wajah Morrow lalu menempelkan keningnya ke kening pria itu sembari memejamkan mata. "Ya Tuhan aku sangat bersyukur atas ini." Doa itu sejenak membuat Morrow terpaku bersamaan dengan jantungnya mulai berdetak cepat. Perasaan ini sulit untuk digambarkan, hingga Morrow hanya bisa menikmati setiap momen yang dapat ia lewati bersama wanita itu.
"Ayo kita pulang." Bisik Morrow dan Tara segera memberi jarak diantara mereka, lalu mengangguk iya. Ini malam yang panjang bagi mereka.