Chereads / Smooth and Tasty Vanilla / Chapter 18 - Part Seventeen

Chapter 18 - Part Seventeen

Pagi-pagi, Tara berkunjung ke hotel tempat Morrow berada. Ia tidak lupa membawa tas berisi laptopnya, juga beberapa camilan keju yang ia beli di toko kue. Bisa dibilang Tara dalam keadaan baik. Ia bahkan memakai sweter lembut berpadu dengan celana jeans dan jaket senada. Tampilannya memang biasa saja, namun orang disekitarnya bisa merasakan kehangatan dari senyuman tipisnya. Well, ia sekarang sedang duduk di atas sofa sambil melihat Morrow yang bergerak mendekatinya.

Rambut Morrow terlihat berantakan, wajahnya kusut seperti melewati malam yang berat. "Kukira kau tidak mau menemuiku lagi." Morrow duduk disebelah Vanilla, kemudian memeluk pinggang wanita itu. Kemarin ponsel wanita itu mati, bahkan pesan dan panggilan telponnya tidak di jawab. Ketika menghampiri apartemennya, wanita itu tidak ada disana. Dia penasaran semalan wanita itu tidur dimana?

Tara diam sepersekian detik. Lalu ia membelai rambut Morrow meskipun agak ragu. Rambut Morrow hitam, halus dan sedikit ikal, aroma maskulin dari shampo yang pria itu gunakan terasa lumayan. "Aku tidak bisa untuk tidak menemui. Kau sudah tau itu. Dan semalam aku hanya mencoba lagi apakah aku bisa sendirian tanpamu?"

"Ternyata tidak." Ujar Morrow menggeliat saat mencium aroma Vanilla. Menyenangkan bisa merasakan ini di pagi hari.

"Salah. Aku bisa menahannya selama dua puluh jam dari terakhir kita bertemu. Lagi pula selama ini aku pernah melewati hampir itu hampir dua tahun dan mungkin aku bisa bertahan lima tahun hingga sepuluh tahun ke depan jika kau tidak tiba-tiba muncul dihadapanku lagi lalu aku akan menyerah kemudian bisa melupakanmu." Tara tersenyum. Dia bisa melihat Morrow sedang memikirkan ucapannya.

"Apa kau sangat ingin melupakanku?" Ada getir kesedihan walaupun nyaris tak terdengar. Morrow memberi tatapan kaku dan secepatnya ingin keluar dari percakapan ini.

"Entahlah. Jika kau menyuruhku untuk pergi dan melupakanmu. Aku tidak bisa berbuat apapun." Ucapan itu berasal dari hati Vanilla. Tara baru mengerti bahwa Vanilla bukan tidak ingin berjuang tetapi wanita itu sulit memaksakan kehendak. Morrow adalah belahan jiwanya, sebagai kekasih dia mengutamakan kebahagiaan orang yang dikasih. Namun Tara akan bekerja keras untuk mendapatkan Morrow seutuhnya, bukankah itu keinginan terbesar Vanilla. Dia percaya sebuah keajaiban cinta, sebab dirinya ada disini merupakan keajaiban luar biasa.

Tara merengkuh leher Morrow kemudian mengecup keningnya. "Sebaiknya kau mandi lalu sarapan, aku akan mengajakmu pergi." Ini bagian dari rencana. Bukankah pria merasa sedikit senang jika wanita mengawali sesuatu lebih dulu? Sang pria seperti dibutuhkan.

"Kemana?" Morrow mengerutkan keningnya, jarang bahkan belum pernah Vanilla mencoba mengajaknya pergi.

"Menjenguk temanku di rumah sakit lalu kita akan berkunjung ke sebuah pameran buku. Aku tidak tau apa yang kau suka, dan kuharap kau bisa bersabar untukku. Oh ya, apa kau punya acara hari ini?" Tara mendapatkan email dari Jake bahwa ada pameran buku tahunan yang merupakan acara cukup besar.

"Apa kau ingin tinggal bersamaku? Aku tidak keberatan membantumu pindahan dan bersabar untukmu."

"Kenapa kau tiba-tiba berpikiran seperti itu?" Tara terkekeh pelan. Pertanyaan itu seperti lelucon.

Morrow kembali terduduk, ia menarik tubuh Vanilla mendekat ke sisinya. "Kenapa? Kau tidak suka itu. Jika kau tanya apakah aku akan menyuruhmu pergi, lebih baik lupakan pemikiran itu."

Tara semakin ingin tertawa, "apa kau mengharapkanku?"

"Ya." Tara memandang ke dalam mata pekat Morrow, pria itu sangat serius dan tidak terlibat penyesalan atas masa lalu yang pernah dilakukannya pada Vanilla. Ini lebih kepada tanggung jawab yang besar.

"Kau mencoba membuatku goyah lagi. Sayang sekali aku tidak bisa meninggalkan kota ini, meskipun aku ingin."

..//...

Sebelum berlanjut ke rumah sakit, mobil Morrow berhenti di pinghir jalan dimana ada sebuah toko bunga berada. Tara bergerak turun, dan memasuki toko itu dengan langkah cepat. Ia tidak ingin Morrow menunggu terlalu lama, meskipun pria itu terlihat santai jika Tara menghabiskan setengah jam ke depan untuk mencari bunga yang terbaik.

"Jangan kemana-mana, lima menit lagi aku akan kembali. Apa kau ingin menitip sesuatu? Ada mini market di sampingnya."

"Belikan aku air mineral saja."

"Oke."

Tara memasuki toko dan disambut oleh semerbak aroma minyak atsiri dari berbagai bunga. Ini terasa menenangkan, segera Tara mendekati gadis penjual bunga yang tengah menata beberapa buket bunga mawar di dekat lemari etalase.

"Berikan aku bunga Ester putih."

"Tunggu sebentar nona, kami akan ambilkan." Jawab gadis penjual bunga itu sambil tersenyum ramah. "Apa ada lagi yang anda butuhkan?"

"Tidak." Tara tidak begitu tertarik dengan bunga. Ia hanya memesan bunga yang sama seperti minggu lalu. Sebagian besar orang tahu jika bunga memiliki makna yang banyak dan bagus. Namun, "aku lebih suka bunga yang tidak dipetik dari pohonnya." Lirih Tara. Karena bunga itu akan terlihat lebih hidup.

Beberapa saat kemudian pesanannya datang, Tara membayarnya serta mengucapkan terima kasih pada gadis penjual bunga, tanpa lupa ia lanjut menuju ke toko sebelah untuk membeli minuman yang Morrow pinta.

"Nona... Nona..." Panggil gadis penjual bunga itu mengikuti Tara keluar pintu. "Ini hadiah untuk anda. Terima kasih sudah berkunjung." Gadis itu memberikan aksesoris bross bunga berwarna biru laut yang indah.

"Untukku?" Tara terkejut, dia bukan pelanggan tetap apalagi disini dia hanya sebentar.

"Ya, sepertinya itu yang lebih cocok untukmu."

"Terima kasih banyak."

"Dan kau terlihat bahagia bisa bersama pria yang kau idamkan, Tara Lipinski." Seketika gadis itu tersenyum sambil meletakan jari telunjuknya dibibir tanda agar Tara tetap tenang. "Semoga kau bersenang-senang." Gadis itu berjalan masuk tanpa menoleh.

Sedangkan Tara termangu bagaikan terhipnotis. Ia pernah bertemu dengan wanita aneh di club tempat bekerjanya dulu, sekilas mirip dengan gadis penjual bunga itu atau sebaliknya.

Di dunia ini dia benar-benar diawasi.

"Vanilla. Ada apa denganmu?" Tanya Morrow keluar dari mobil lalu mendekati wanita itu. Tangan kanannya meraih buket bunga dari sisi wanita tersebut supaya ia bisa menggenggam tangannya yang terasa dingin.

"Tidak. Aku akan membeli minuman." Jawab Tara kaku.

Tara membiarkan Morrow mengantarnya ke mini market. Iapun membalas genggaman pria itu dengan erat, dirinya masih terasa takut sekaligus bingung. Sebisa mungkin ia meyakinkan diri agar mengejar gadis itu meminta penjelasan atas semua ini, sangat disayangkan tubuhnya seolah tertahan untuk bertindak demikian.

Tara kembali terfokus pada urusannya. Ia dan Morrow membeli beberapa camilan serta air mineral. Kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah sakit yang tak jauh dari toko bunga.

Hari ini Jake dan Nila tidak datang berkunjung. Ketika mamasuki ruang inap, Tara tersenyum pada Morrow lalu memperkenalkan wanita yang terbaring koma di atas ranjang padanya. "Waktu itu aku sangat bersyukur kau mau mengantarku kesini. Aku benar-benar kacau saat mengetahui temanku kecelakaan. Namanya Tara Lipinski, dia sendirian sama sepertiku. Aku tidak bisa meninggalkannya."

Tara merapihkan buket bunga ke dalam vas yang berada di atas nakas. "Jangan tanya apakah dia lebih penting darimu. Karena kalian berdua sangat berharga untukku."

"Aku tidak akan menanyakan hal itu. Lagi pula aku senang kau sekarang bisa memutuskan pilihan yang tepat untuk hidupmu. Aku menghargainya." Morrow menatap wajah pucat wanita yang berbaring di atas ranjang. Dia terlihat sedang tertidur pulas, bukan seperti wanita yang pernah mengalami kecelakaan besar.

"Tara Lipinski dia seorang penulis best seller berbakat. Pernah mengambil studi di Universitas New York sebagai sarjana Politik dengan nilai cukup memuaskan. Dia wanita intelek, pekerja keras, pemberani dan bergairah. Dia memang berharga. Mungkin agak beresiko membawanya keluar dari negara ini secara sah dan mendapatkan surat ijin resmi, karena banyak orang yang menjaganya. Dan aku yakin kau akan melarangku melakukan hal nekat seperti itu." Kening Morrow berkerut kemudian dia terkekeh pelan mendapati Vanilla menatapnya aneh.

"Ya. Kau benar-benar gila. Beraninya kau berbicara seperti itu di depan Tara. Dia akan menghajarmu jika tau kau melakukan hal itu padanya." Tara mengomel sambil tertawa geli. Membayangkan kejadian ini sangat aneh dan lucu bila yang lain mengetahui kenyataannya.

Entah kenapa dia merasa bangga pada penjelasan tentang dirinya. Berarti ia orang yang tidak terlalu buruk. Seketika kepercayaan dirinya terbangun setelah sekian lama. "Bagaimana kau bisa tau banyak tentangnya?"

"Aku membaca profil serta beritanya di internet. Dia populer."

"Dia memang hebat." Tara memuji dirinya sendiri.

"Tapi sepertinya dia introvert. Sayang sekali, dia menolak banyak tawaran kerja sama dengan berbagai perusahan untuk kerja sama membuat film dari novelnya. Padahal dari produksi iklan saja sudah mendapatkan untung besar. Mungkin dia bisa bersaing dengan J.K Rowling."

"Jangan melebih-lebihkan sesuatu. Dia pasti memiliki alasan tersendiri untuk menolak itu." Tara jadi jengkel. Dia benci bila orang memandangnya tambang emas, apalagi kalau sudah membuat kontrak kerja yang mengekang kebebasannya berkarya, dia pasti akan mencabut kontrak itu dan memilih membayar denda.

"Dan kau berusaha menyelamatkannya dengan melanjutkan tulisannya." Morrow mendekat ke sisi Vanilla untuk membelai kepala wanita itu. "Kuharap kau tidak memaksakan diri karena aku mengkhawatirkanmu." Jantung Tara seketika berdebar, dia menjadi salah tingkah.