Pameran buku yang menawan. Mata Tara langsung berbinar melihat betapa banyaknya buku tersusun indah di berbagai sudut ruangan. Ia terasa lupa pada dunia melihat novel dari penulis favoritnya mengeluarkan novel lama yang sulit ditemui lagi. Usai registrasi di stand depan gedung, dia menerima tas berisi brosur acara serta kerenjang belanja, Tara lalu menarik Morrow untuk berkeliling. Hingga tanpa sadar sudah membeli setumpuk buku.
Morrow tidak memperotes mendapati Vanilla menghabiskan waktu banyak sampai sore hari. Dia bisa melihat sisi semangat yang tidak pernah ditunjukan oleh wanita itu, bahkan Vanilla lebih banyak tersenyum padanya.
"Lihat buku ini. Aku sudah membacanya ratusan kali saat aku remaja dan belum pernah bosan. Kau tahu apa yang hebat dari buku ini?" Ujar Tara ketika mereka duduk di salah satu cafe di luar pameran buku.
"Tidak." Morrow memandang cover buku berwarna biru langit malam bertaburan bintang yang berjudul Selfish.
"Jadi, suatu ketika ada seorang laki-laki dia memiliki kecenderungan egois sejak kecil karena faktor keluarganya yang selalu menuruti apa kemauannya, senang berfoya-foya dan sangat pemarah. Tapi dia hebat di bidang akademik, sosial bahkan diusia muda dia sudah berpenghasilan serta mendapatkan berbagai beasiswa, penulis seolah menggambarkan dia sosok yang sempurna dalam satu sisi, maka dari itu sifatnya yang menjengkelkannya tertutup dengan hal tersebut. Suatu ketika dia mengalami kecelakaan mobil dan menabrak mobil yang ditumpangi sebuah keluarga.
"Ya.. ini memang cerita mainstream. Kecelakaan itu mengakibatkan seorang gadis koma selama beberapa bulan dan kedua orang tuanya tewas tak terselamatkan. Disamping itu gadis tersebut mengalami kecacatan akibat gegar otak yang dia derita. Kehidupannya terbalik dari sang laki-laki, gadis itu lemah dalam ingatan maupun fisik, dia terpaksa tinggal kelas dan harus seribu kali lebih keras untuk menutupi kekurangannya. Meskipun keluarga sang laki-laki membayar ganti rugi. Serta sang laki-laki itu sendiripun amat menyesal telah merenggut kehidupan orang lain, tapi dia tidak mau menunjukkan dirinya. Dia selalu merasa bersalah sampai ingin mati jika melihat gadis itu.
"Dan yang paling mengesankan adalah ketika sang laki-laki diam-diam membantu gadis itu. Hingga titik dimana mereka menjadi teman akrab dan laki-laki tersebut mengakui kebenarannya. Kau tau apa yang akan dari gadis itu?"
"Tidak." Morrow tersenyum tipis menyimak cerita Vanilla yang begitu antusias.
"Gadis itu mengatakan. 'Aku sudah tahu sejak awal. Kejadian itu menjadi pengalaman tak terlupakan untukku. Aku harus berusaha mati-matian belajar berjalan usai koma selama hampir setahun hingga otot kakiku menjadi lemah. Lalu mengulang kelas akibat aku tinggal kelas, dan membaca buku pelajaran ratusan kali lebih banyak dari temanku yang lain. Serta aku mungkin akan sulit mendapatkan pekerjaan kalau kau tidak ikut andil membantuku. Walaupun begitu kau tidak perlu khawatir, aku tetap akan memaafkanmu sebab aku tidak memiliki alasan lain untuk memarahimu dan bersikap egois. Kita adalah takdir. Kau duduk didepanku adalah takdir, kita berbincang seperti ini adalah takdir, aku bertemu denganmu adalah takdir. Kecelakaan itupun juga takdir, tapi posisinya kau yang menjadi pelaku dan aku korban. Yang menjadi pertanyaan adalah bukanlah, apakah aku sabar padamu yang sudah membunuh keluargaku dan membuatku seperti ini. Tetapi apakah aku sabar pada Tuhan yang merencanakan takdir itu padaku?'"
Tara menarik napas dalam. "Itu cerita yang sederhana tapi aku suka."
"Aku senang mendengar akhirnya dia mudah untuk memaafkan laki-laki itu." Ucapan Morrow lebih ditunjukan kepada Vanilla.
"Dan kupikir aku sudah memaafkanmu sejak lama... Wah, sebaiknya kita pulang." Tara beranjak dari kursinya diikuti oleh Morrow yang membawa buku belanjaannya. Mereka pulang bersama kembali ke hotel. Dan kisah seperti inilah yang diinginkan oleh Vanilla.
...//...
Semua akan baik-baik saja, pernyataan itu membuat perasaan Tara makin mengeruh. Meski dia sudah bersama Morrow sesuai dengan keinginan Vanilla, masih ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Bukankah ini berjalan lancar?
Malam kian larut, Tara sedang duduk sendirian di kamar hotel mengerjakan tulisannya, karena Morrow pergi beberapa waktu lalu disebabkan urusan mendadak. Pria itu mengatakan akan kembali sebelum pagi sembari mengecup keningnya. Tara tidak terlalu penasaran dengan apa yang menyebabkan pria itu tergesah, dia hanya memandang kosong kepergian Morrow.
Tara bergegas mengambil mantelnya serta dompet. Dia akan pergi dari tempat ini, sekedar berkeliling kota untuk mengurangi beban hatinya. Tara memberhentikan sebuah taxi, dan akhirnyapun tujuan tidak lain adalah apartemen miliknya. Setelah berpikir panjang tentang lubang besar di hatinya. Tara mulai mengerti bahwa ia sulit menanggung beban berat atas rahasia kehidupannya yang sekarang. Ini bukan masalah tentang ia telah membohongi banyak orang, tetapi jati dirinya lama kelamaan menghilang lenyap terganti menjadi Vanilla. Dia adalah palsu. Sungguh dia bisa jadi gila menghadapi masalah yang paling aneh di dunia ini.
Tara membuka pintu apartemennya lalu melepaskan seluruh pakaiannya. Diapun bergegas ke kamar mandi, menyalakan kran air hangat untuk mengisi bathub serta menuang sabun cair kesukaannya ke dalam. Perlahan Tara memasukan kakinya lalu duduk merendamkan seluruh tubuh. Ia bersenandung lirih menghibur diri hingga tanpa sadar air matanya luruh.
"Mama..." Tara teringat sosok ibunya yang muncul ketika dirinya kecelakaan. Tangisan Tara semakin pecah, ia memeluk erat dirinya sendiri menyingkirkan semua kesakitan di sudut hati terdalam.
Siapapun tidak bisa hidup sendirian di dunia ini. Dan meskipun banyak orang berada di dekatnya, Tara selalu merasa terpuruk. Hatinya seolah redup, kejadian ini kerap terjadi jika ia merasa dirinya tidak dibutuhkan. Ia selalu sendirian sejak tragedi ibunya bunuh diri karena menginsumsi obat-obatan berlebih kemudian mati di atas ranjangnya sendiri. Bagaiamanpun ia akan berakhir sendirian, begitu pikir Tara. Meski telah diberi kesempatan kedua untuk hidup, tak satupun ia menemukan kebahagiaan. Menjadi Vanilla baginya hanyalah sebuah ilusi, tidak ada yang berubah dari dirinya. Dia benci in!
"Kukira kau akan melakukan hal aneh." Sosok Morrow masuk ke dalam kamar mandi. Tangannya meraih handuk dekat washtafel lalu mendekat ke sisi Tara. Mengangkat wanita itu ke sisinya. Tara menangis sekeras mungkin, menyembunyikan wajahnya di dekapan Morrow.
Sejak awal bertemu di club malam, Morrow memang sudah merasakan hal aneh dalam diri wanita itu. Dia berbeda meskipun segala bukti menujukkan bahwa itu benar-benar Vanilla Flawrete. Sikap wanita itu terlihat samar, seperti ada kepribadian lain menyatu dengan Vanilla. Mungkin ini tidak masuk akal, tapi Morrow bisa menjamin bahwa ada rahasia besar yang wanita itu sembunyikan. Setiap senyuman yang wanita itu berikan kepadanya terselip kesedihan terdalam.
Siang tadi ketika wanita itu mengajaknya ke rumah sakit tempat Tara Lipinski di rawat. Ia menyadari jika wanita itu memandang sosok Tara seperti menangisi dirinya sendiri. Dan semua petunjuk sudah ada sejak pertama kali wanita itu terlihat frustasi dan memintanya mengantarkan ke rumah sakit lalu mengaku temannya kecelakaan.
Morrow menghela tubuh Tara di atas ranjang kemudian menyelimutinya dengan selimut tebal, ia lalu merengkuh diri wanita itu kembali ke dekapannya.
"Aku... bukanlah Vanilla." Ujar Tara usai ia merasa tenang.
"Lalu Vanilla berada dimana?"
"Di dalam hatiku."
"Begitukah?" Kata-kata Morrow lebih terdengar seperti bahwa pria itu menerima keadaan ini.